"Kamu akan tinggal di kamar ini lagi sampai kakimu pulih kembali." ucap Angkasa setelah meletakkan tas berisi baju - baju Binar kedalam lemari.
Setelah kedatangan ayah dan ibu tiri Angkasa siang tadi, Binar sudah dapat meninggalkan rumah sakit pada sore harinya. Dan disinilah dia sekarang di kamar yang pernah ia tinggali selama satu malam. Jujur, jika ingin mengingat kembali Binar sangat malu sebenarnya. Bagaimana tidak, dengan berani Binar datang kesini dan meminta Angkasa menikahinya.
"Kenapa bengong?" tanya Angkasa sembari mendekati Binar yang masih duduk di kursi rodanya.
"Tidak, tidak ada apa - apa." jawab Binar
"Mengingat masa lalu?"
"Masa lalu apa?"
"Apa lagi, masa awal kamu datang ke sinilah."
Binar yang merasa malu pun mencoba mengalihkan pembicaraan, "Ahh aku haus boleh minta air, air yang dingin."
"Tunggulah sebentar, akan ku ambilkan."
Setelah melihat Angkasa yang berjalan keluar kamar Binar pun mendesah lega.
"Akhirnya, kenapa dia itu suka sekali membuat orang malu." gerutu Binar
~tingg
Suara pesan masuk di ponsel Binar. Binar segera membuka pesan tersebut.
"Kamu sudah sampai di rumah? Maaf aku tidak bisa menjengukmu di rumah sakit, kemungkinan juga tidak akan bisa menjengukmu di rumah Angkasa."
Pesan tersebut berasal dari Hadrian. Binar tau Hadrian pasti masih merasa bersalah dengannya, namun karena keadaan Hadrian tidak bisa menjenguk Binar. Dan Binar bisa memaklumi itu.
"Iya aku sudah sampai di rumah Angkasa. Tidak apa, aku sudah jauh lebih baik. Bagaimana keadaanmu?" balas Binar
~tingg
Suara pesan masuk kembali terdengar.
"Aku juga sudah jauh lebih membaik. Aku doakan semoga kamu cepat kembali pulih dan kita bisa makan siang buatan ibuku kembali."
Binar tersenyum, "Tentu, you too. Cepatlah pulih. Terima kasih untuk doanya."
"Apa yang begitu menarik? Sampai membuatmu tersenyum seperti itu?" suara Angkasa yang baru saja masuk ke dalam ruangan mengalihkan perhatian Binar dari layar ponselnya.
"Kamu ingin tau?" tanya Binar
Angkasa menyerahkan segelas air dingin pada Binar yang langsung diterima dan diteguk oleh Binar.
"Apa?"
"Hadrian" jawab Binar
"Kalian masih berhubungan?" tanya Angkasa
"Tentu, kami kan berteman. Ingat waktu itu kamu sudah memberi izin."
Angkasa mensejajarkan tubuhnya dengan Binar yang duduk di kursi roda.
"Iya aku ingat, boleh aku bertanya?"
Binar mengangguk
"Kamu tidak takut denganku?"
Binar mengangguk lalu menunjukkan jari jempolnya yang menyentuh jari kelingking, "Sedikit"
Angkasa mengeryitkan dahinya, "Sedikit?"
"Hmm sedikit, bohong jika aku mengatakan tidak. Terkadang kamu begitu menakutkan."
Angkasa terkekeh kecil, "Baru kali ada yang hanya sedikit takut denganku."
Binar mendengus sebal, "Kenapa? Kamu berharap aku akan takut denganmu?"
Angkasa menatap Binar dalam, "Ya, dan sepertinya aku harus bekerja keras untuk mewujudkannya."
Binar menggeleng, "Jangan berharap"
Angkasa tersenyum lalu menepuk pelan kepala binar.
"Sekarang istirahatlah, nanti aku akan kesini lagi membawakanmu makan malam."
Binar mengangguk.
Lalu Angkasa berdiri dan melangkah keluar kamar.
"Angkasa tunggu" panggil Binar ketika Angkasa baru mau keluar dari kamar.
"Kenapa lagi?" tanyanya.
"Itu, bisa bantu aku untuk naik ke tempat tidur?" tanya Binar malu - malu.
Angkasa pun nampak baru menyadarinya, bagaimana mungkin dia bisa melupakan keadaan Binar yang sedang sakit kakinya.
Angkasa kembali mendekati Binar, diangkatnya Binar dari kursi roda lalu menggendongnya menuju kasur. Diletakkannya secara perlahan dan pelan Binar diatas kasur, Binar memeluk leher Angkasa untuk menjaga keseimbangan.
Binar telah berada di atas kasurnya namun Angkasa belum juga beralih dari atasnya, wajah mereka begitu dekat hingga bisa merasakan hembusan napas satu sama lain menerpa wajah mereka.
"Kenapa?" tanya Binar bingung, dan sebenarnya untuk menghilangkan kegugupan yang melanda ketika Angkasa terus menatapnya sedekat ini.
Angkasa hanya diam dan menelusuri wajah yang ada di hadapannya saat ini. Hingga kemudian Angkasa memajukan wajahnya mendekati Binar. Binar kaget dan hanya bisa diam dengan mata yang terbelalak kaget ketika Angkasa memberikan kecupan kilat di atas hidungnya.
"Istirahatlah" ucap Angkasa lalu menjauhkan wajahnya dari wajah Binar.
"Aku keluar" lanjutnya lagi dan Binar menjawab dengan anggukan.
Setelah itu Angkasa kembali melangkah keluar dari kamar itu.
Sementara Binar sibuk memegangi pipinya yang bersemu merah.
***
"Sepertinya seluruh aset milik Burhan akan segera jatuh ketangan Angkasa. Lalu apa yang akan kita lakukan selanjutnya?" tanya seseorang pada atasannya yang tengah duduk menatap layar laptop yang berisi grafik pertumbuhan perusahaan.
"Biarkan saja. Untuk saat ini kita ikuti saja permainannya. Kita biarkan Angkasa menguasai perusahaan. Dia tidak begitu paham akan perusahaan jadi kita bisa memanfaatkan kelemahannya itu." ucap seorang lelaki tua pada bawahannya itu.
"Bagaimana dengan Hadrian?" bahawannya bertanya lagi.
Lelaki tua itu menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan.
"Dia masih harus tetap kita awasi, dia memang cukup berbahaya karena cakap dan handal dibidang ini. Tapi apalah gunanya itu jika statusnya tidak mendukung."
Lelaki tua itu diam kembali.
"Tetap awasi setiap gerak - geriknya, jangan biarkan dia berbuat sesuatu yang bisa merugikan kita."
Bawahannya pun menganggu mengerti lalu izin untuk meninggalkan ruangan. Sementara lelaki tua itu masih menatap penuh arti layar laptop yang berisi grafik tersebut.
"Aku tidak akan mengalah lagi, kali ini." ucapnya.
***
Binar diam tidak banyak suara ketika makan malam berlangsung. Binar hanya fokus pada makan malamnya hingga makanan diatas piringnya itu kosong berpindah ke dalam perutnya.
Sementara Angkasa memperhatikan setiap gerakan Binar hingga memastikan makanan Binar habis sepenuhnya.
"Minum" ucap Angkasa ketika menyerahkan air minum kepada Binar.
Binar menerima dengan patuh. Angkasa lalu membereskan seluruh peralatan bekas makan Binar ke atas meja lalu kembali duduk di atas kasur berhadapan dengan Binar.
"Kenapa?" tanya Binar setelah dari tadi hanya diam tak bersuara.
"Akhirnya suara itu muncul kembali, aku khawatir kamu sakit atau kenapa. Dari tadi kamu hanya diam tidak bersuara."
Binar memberengut, "Kamu ini tidak peka atau apa?"
"Tidak peka apa?"
"Aku malu" dan akhirnya Binar pun mengakui apa yang sedang dia rasakan saat ini.
Angkasa yang mendengar pengakuan Binar pun hanya bisa tertawa geli.
"Malu kenapa?"
Binar masih memberengut, "Tadi"
"Tadi apa?" tanya Angkasa lagi
Binar pun kesal dibuatnya, "Sudahlah, lupakan saja"
Angkasa menatap lucu ketika melihat Binar yang memberengut karen kesal terhadapnya.
Angkasa lalu mendekati Binar, ditariknya tangan Binar pelan hingga membuat Binar tertarik kedepan dan wajah mereka pun menjadi lebih dekat.
"Malu kenapa?" tanya Angkasa
~cupp
Satu kecupan kecil mendarat diujung hidung Binar
"Karena ini?" tanya Angkasa lagi
~cupp
~cupp
~cupp
Tiga kecupan kilat kembali mendarat di hidung Binar.
"Atau ini?" Angkasa kembali mendekatkan wajahnya dengan Binar, hingga hidung mereka bersentuhan. Angkasa memiringkan wajahnya siap untuk semakin memisahkan jarak diantara mereka hingga,
Tok tok tok
Suara ketukan pintu mengejutkan Angkasa dan Binar yang langsung menjauhkan diri.
"Ohh maaf tuan, saya hanya mau mengambil bekas makanan non Binar." ucap mbok Sri merasa bersalah ketika melihat posisi Angkasa dan Binar.
Sementara Binar hanya tertawa kecil, menertawakan Angkasa yang nampak cukup kesal karena kegiatannya terganggu.
Tbc.
like, komen dan votenya jangan lupa ya teman - teman 😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Sunarti
lelaki tua itu apakah paman angkada, sok baik ada maksud terselubung ya
2021-02-24
2
Aldy Yhla
pasti paman angkasa yg mengiginkan perusahaan
2021-01-31
3
Elly Az
baper
2021-01-29
2