Jasmine & Prodeo Andrean
Ini bukan dia, kalian atau mereka, kami ataupun kita. Ini tentang aku yang bukan pengidap penyakit clastrophobia atau pun nytophobia. Jika ke dua penyakit itu phobia pada ruang sempit dan kegelapan, justru aku sebaliknya. Aku menyukai ruang yang tak luas dan berteman dengan gelap.
Gelap bagiku adalah sebuah ruang untukku bisa menyelamatkan diri, bebas berekspresi tanpa takut ada yang melihat ataupun menganggu.
Bagiku ruang gelap adalah tempat persembunyian terbaik, yang membuatku nyaman, tenang tanpa ada yang mengusik. Aku laksana seorang yang buta, tapi aku mampu melihat dengan jelas apa-apa yang ada di sekelilingku.
Aku juga bukan seorang yang buta, tapi aku seolah membutakan mataku, dan saat berjalan di ruang terang aku menyukai mataku yang tertutup, aneh bukan. Tapi tidak aneh untukku dan duniaku.
Pada orang yang bisa melihat sepertiku, area otak yang disebut dengan medial occipital memainkan peran yang penting dalam mendaftar sinyal secara visual.
Pada orang yang mengalami kebutaan sejak awal kehidupan akan mengoperasikan daerah otak ini untuk mendeteksi suara. Hal ini yang membuat seseorang bisa mendengar lebih baik dibandingkan dengan orang normal.
Selain itu saat lahir atau berusia muda, pusat otak yang mengatur penglihatan, pendengaran dan indera lainnya semua masih terhubung. Koneksi yang ada ini kemungkinan terus dipertahankan dan digunakan untuk memproses suara pada orang yang mengalami kebutaan.
Karena itu terkadang diketahui orang yang mengalami kebutaan tidak hanya bisa mendengar lebih baik, tapi juga memiliki indera sentuhan yang lebih baik dan penciuman yang lebih kuat.
Dan aku melatih diriku sejak kecil untuk tak tergantung pada indra penglihatanku. Aku belajar untuk menajamkan indra pendengaran, penciuman dan sentuhan layaknya orang buta.
Pribadi introvert bisa jadi, karena aku juga menyukai kesendirian. Keramaian bagiku bagai musuh, yang menganggu ketenangan. Bagiku gelap tak hanya sekedar teman setia, kesunyian juga bukan sekedar ruang hampa, tapi aku membentuk dan membangun keindahan dan pesonanya.
Di sinilah aku sekarang berada, memakai perlengkapan baju karate, dan berlatih seorang diri dengan mata tertutup. Aku selalu berusaha melatih pendengaranku dengan sistem deteksi echolocation.
Sebuah sistem laksana kelelawar dan lumba-lumba, yang tanpa melihat namun mampu mendeteksi benda-benda di sekitarnya melalui pantulan suara.
"Buk-buk".
Aku mengarahkan pukulan Oi zuki chudan, pukulan ke arah kepala pada samsak yang ada di depanku, dan Kisame zuki yang memukul tanpa melangkahkan kaki.
Hampir setiap hari aku berlatih, dan hanya satu orang yang melatihku sejak dahulu. Tapi karena diriku dianggap sudah cukup mampu, maka aku lebih banyak berlatih sendiri.
"Ceklek"
Suara pintu terbuka dan lampu dihidupkan, seseorang masuk mendekatiku, tercium aroma tubuhnya dari saat ia melangkah, hingga cukup dekat denganku.
"Maaf menganggu Tuan, saatnya anda mempersiapkan diri bertemu dengan Tuan Besar, karena beliau sebentar lagi akan datang".
Aku mendengarkan tanpa berbalik,
"Paman, adakah sesuatu yang ingin Ayah katakan, mengapa ia datang tiba-tiba?".
"Maaf Tuan Muda, saya tidak mengetahuinya. Bukankah hal wajar jika seorang Ayah menemui putranya".
"Ya memang sesuatu yang wajar, tapi menjadi tidak wajar jika kemudian ia mengatakan ingin bertemu setelah bertahun-tahun tidak mau menemuiku. Bukankah ia membenci keadaanku dan setiap apa yang kulakukan?".
"Seorang Ayah selalu punya tempat di hatinya untuk setiap anak-anaknya. Kerinduan itu pasti ada terlepas dari semua tindakan dan sikapnya yang menurut Tuan adalah tindakan kebencian akan keadaan anda".
"Baiklah, aku juga ingin tau seberapa besar tempat untukku di hatinya, dan seberapa besar kerinduannya untukku, atau mungkin malah sebaliknya. Ia hanya datang untuk sebuah kepentingan, bukan sebuah kepedulian".
"Kita lihat saja Tuan, apa yang Tuan Muda ucapkan benar atau tidak, saat Ayah Tuan sudah datang dan berbicara pada Anda".
"Baiklah, persiapkan segala sesuatunya, anggap saja aku sedang kedatangan tamu istimewa".
"Baik Tuan saya permisi".
"Hemm"
Lampu dimatikan, menjadi gelap kembali. Aku langkahkan kaki ke kamar dengan mata masih tertutup kain pengikat. Mandi dan berganti baju, lalu duduk di ruang santai dengan mendengarkan berita-berita terbaru.
Tak lama sebuah langkah kaki yang terseret, dengan tongkat di tangan terdengar mendekatiku. Tanpa melihat aku tahu, laki-laki yang kusebut Ayah itu sedang menatapku, menghela nafas berat dan duduk di sampingku meski terhalang meja di antara bangku yang kami duduki.
"Kau masih bertahan seolah Tuhan menakdirkanmu buta. Padahal Dia memberikanmu indra penglihatan yang sangat baik".
Aku tersenyum, vidio yang kudengarkan ku matikan. Suara yang kudengar adalah suara yang telah lama hilang, tak hanya satu atau dua tahun saja, tapi sudah dua puluh tahun lamanya tak kudengar.
Suara yang katanya sosok Ayah yang merindukan anaknya, tapi nyatanya suara itu tetap tak berubah seperti dulu, hanya nada suaranya saja yang semakin berat karena terpengaruh usia.
"Bagaimana kabar Ayah, sungguh kejutan di hari yang tak terduga. Seolah suasana mendukung, hawa yang sejuk kini menjadi panas dengan kedatangan Ayah yang tiba-tiba".
Laki-laki berusia enam puluh tahun itu menghela nafas, putranya ini sudah pandai bermain kata dengannya. Putra yang tak pernah ia temui karena sebuah alasan.
Putra satu-satunya dari wanita yang sangat ia cintai, namun kemudian ia asingkan dari kehidupannya.
"Aku datang untuk melihatmu, apakah kau sudah berubah atau tidak termasuk keanehan yang dulu mengikutimu".
"Dua puluh tahun tidak bertemu, jelas berubah. Bukankah sudah terlihat jelas dari fisikku kini yang terlihat gagah. Putramu ini bukan pria lemah, meski keanehan yang ayah sebutkan itu masih melekat dalam diriku".
"Kau makin percaya diri anak muda, bagus aku menyukainya. Tapi sayang, mengapa keanehan dalam dirimu juga tak hilang seiring berjalannya waktu. Padahal sudah terlalu banyak psikiater yang membimbingmu, tapi selalu saja mereka mengatakan kau menikmati keadaanmu ini".
"Keanehanku bagi ayah, adalah keunikan dan anugrah bagiku. Kau tak perlu lagi menghabiskan uangmu untuk menghilangkan keunikanku. Karena aku tak akan melakukannya, meski kau membawa ribuan psikiater di hadapanku".
"Baiklah, aku tak memaksamu untuk menemui psikiater yang selalu menjadi musuhmu. Tapi kau boleh menolak keinginanku menikahkanmu dengan wanita pilihan Ayah.
Usiamu sudah cukup untuk memberikan aku cucu, sehingga kelak ia bisa jadi penerusku bukan sepertimu yang menghabiskan masa mudamu dengan kehidupan yang tersembunyi".
"Aku fikir kau datang karena merindukanku, atau peduli padaku. Tapi nyatanya kau tidak berubah Tuan Jared Putratama".
"Aku melakukan ini karena peduli, mau sampai kapan kau bersembunyi. Dunia ini tak hanya hitam seperti duniamu saat ini, tapi juga ada merah, putih, hijau, kuning dan warna lainnya.
Usiamu sudah tiga puluh tahun, bukan lagi usia yang mengharuskan dirimu tetap bersembunyi dalam ruang sempit dan gelap. Bukalah matamu, gunakan indra penglihatanmu dan lihatlah dunia.
Ayah tidak mau tahu, satu minggu dari hari ini kau menikah dan tak ada bantahan, paham".
Laki-laki itu mengepalkan tangan, bukan ini yang dia harapkan dari kedatangan seorang Ayah yang telah lama tak dijumpainya itu. Tapi orang yang disebut Ayah olehnya pergi begitu saja setelah menyampaikan maksudnya, membuatnya jengah.
############
Alhamdulillah chapter 1 dari karya baruku done.
Selamat membaca, semoga memberi ilmu dan makna. ❤❤❤❤❤❤❤❤❤
artikel tentang kebutaan diambil dari lifestyle.okezone.com
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
ummy setiawati
unik nih
2021-08-07
0
Cahya
Hadir untuk dukung balik
2021-01-20
0
Sekapuk Berduri
like awal disni
2020-12-22
0