"Tuan..."
"Paman salah, ia datang bukan karena ada rindu di hatinya, tapi dia datang untuk memaksakan kehendaknya untuk mewujudkan keinginannya.
Bagaimana menurut Paman, haruskah aku pergi dan kembali bersembunyi seperti dulu ataukah menerima permintaan orang tua itu. Kau tau benar Paman bagaimana diriku, kau sudah bersamaku sejak dua puluh tahun lalu".
"Maafkan saya Tuan, jika selama ini saya mengikuti kemauan anda, tapi kali ini saya menyetujui keinginan Tuan Besar untuk memiliki seseorang yang akan menemani hari-hari anda. Bukan sebagai pelayan seperti saya, tapi sebagai seorang istri yang akan jauh mengenal anda.
Bukan tidak mungkin, istri anda kelak mampu mengubah kegelapan yang menyelimuti anda selama ini, menjadi terang dengan anda menggunakan indra penglihatan yang anda miliki".
"Jadi kau menyetujuinya Paman, tidakkah kau tau kegelapan bagiku bagai nyawa yang tak bisa dipisah apalagi diubah. Baiklah, bukankah dia hanya mengharapkan cucu dariku, maka aku akan melakukan tugasku.
Setelah itu, kau bisa mengembalikan wanita itu pada tempat asalnya. Jangan berharap lebih Paman, karena aku takkan bisa melakukan lebih dari itu".
"Baiklah Tuan, akan saya sampaikan pada Tuan Besar syarat dari anda. Kalau begitu saya permisi dulu".
"Hemm"
Paman Jamil laki-laki yang merawatku adalah saudara jauh Ayah. Ia begitu sabar mengurusku, tanpa mengeluh, selain setia ia juga cukup patuh selama ini.
Aku kembali ke kamar, memainkan gerakan tanganku di atas kanfas. Tanpa melihat aku bermain dengan warna, menarikan kuas di atas kain kanvas dan memberikan jejak-jejaknya di sana.
Seperti apa kemudian hasilnya, aku tak pernah tau dan peduli. Apa yang terbanyang di otakku itulah yang kucoba lukiskan. Selain karate, dunia lukisan cukup menarik perhatianku untuk menemani hari-hariku dalam ruang gelap dan kesendirian.
Waktu bergulir dengan cepat, menggilas orang-orang yang malas dan lambat. Dini hari aku sudah terbangun, membersihkan dan mempersiapkan diri untuk datang ke suatu tempat yang sudah disiapkan oleh orang yang kupanggil Ayah.
Tuksedo hitam, kaca mata hitam yang menjadi penghalang mataku untuk melihat. Ya, kaca mata itu adalah kaca mata khusus yang kuminta saat aku dipaksa untuk keluar dari ruanganku.
Bukan kaca mata untuk sebuah aksesoris semata, tapi kaca mata yang kugunakan adalah kaca mata berlensa gelap sehingga meskipun mataku terbuka tapi takkan melihat apapun di depannya.
Aku sudah menaiki mobil yang dikendarai oleh Paman, jalanan masih cukup legang. Efek masih pagi, seperti biasa mataku setia terpejam. Bukan tidur, tapi menguatkan indra pendengaran dan penciumanku pada jalanan yang ku lalui.
Aku akan membebat telingaku dengan sapu tangan ataupun earphone yang setia menemaniku jika suara terlalu bising dan ramai terdengar di telingaku.
Paman berhenti di sebuah gedung tinggi, keramaian sudah terdengar di telingaku, penciumanku pun sudah bekerja. Aku muak mencium bau-bau aneh dari sekitarku saat ini, ditambah suara-suara yang memekakkan telinga hingga aku tetap enggan turun meski Paman sudah membukakan pintu untukku.
"Katakan pada laki-laki itu, suruh mereka diam dan bawa aku ke ruangan sunyi. Nikahkan aku di ruangan itu, dan cukup orang-orang yang terlibat dalam akadku yang ada di sana. Selebihnya suruh diam dan pergi dari ruangan itu.
Jika dia tak mau menurutiku, aku akan tinggalkan pernikahan ini dan membuatnya malu".
"Baik Tuan, akan saya sampaikan pada Tuan Besar".
Cukup lama, aku berada di dalam mobil dengan telinga yang ku sumbat tentunya, dan hidung yang kupakaikan masker. Hingga suara ramai itu seketika hening, meski masih tercium dan terdengar gerakan-gerakan kaki-kaki yang berdiri di sekitarku.
"Semua sudah dikondisikan sesuai permintaan anda Tuan, silahkan ikuti saya".
Aku keluar setelah Paman membukakan pintu mobil untukku, masker dan headshet masih bertengger di teliga dan mulutku. Helaan nafas dari Ayah terdengar jelas di telingaku, memandangku tak suka.
Aku masuk dalam sebuah ruangan yang cukup terang.
"Paman, matikan lampunya dan ganti dengan lilin. Ruangan ini menyilaukanku, segera lakukanlah Paman. Dan sebelum kau pergi mengambil lilin, matikan dulu lampunya".
"Baik Tuan".
Paman Jamil pergi namun beberapa orang datang memasuki ruanganku.
"Kenapa gelap sekali, di mana lampunya?". Ucap suara wanita, gerakannya ku dengar meraba-raba.
"Jangan dihidupkan, jika kalian hidupkan maka pernikahan ini akan batal".
"Maafkan kami Tuan, karena kami tak tahu Tuan berada di ruangan segelap ini". Ucap suara wanita itu gugup dan takut.
"Ada perlu apa kalian masuk ke ruanganku"
"Kami hanya diperintahkan untuk mendandani Anda Tuan, lebh tepatnya merias Anda agar lebih tampan".
"Tak perlu, pergilah sebelum aku pergi meninggalkan tempat ini".
"Tapi Tuan, kami sudah dibayar mahal ini melakukan ini".
"Ambil saja bayarannya, dan tak perlu lakukan tugas. Keluarlah, atau benda yang ada di genggamanku ini akan melayang padamu dan orang-orang yang ada di belakangmu".
"Ba..baiklah Tuan, kami permisi".
Tak lama Paman Jamil datang membawa lilin, dan menghidupkannya di sudut ruangan. Tentu saja gelap masih saja menjadi dominan di ruangan itu.
"Berapa lama lagi acara di mulai Paman, jika masih lama lebih baik kita pulang".
"Sebentar lagi Tuan, sedang menunggu penghulunya datang, sebentar lagi kemari".
"Berapa orang yang akan memasuki ruangan ini?".
"Sekitar tujuh orang Tuan".
"Terlalu banyak Paman, kurangi".
"Mereka orang-orang penting Tuan, ada Ayah anda, ayah dari wanita yang akan anda nikahi, dua orang saksi, penghulu, dan tentu saja saya sendiri Tuan, dan seorang fotografer".
"Keluarkan dua orang saksi dan fotografer, aku tak membutuhkan mereka".
"Tapi Tuan, saksi penting dalam sebuah pernikahan, tanpa ada saksi pernikahan tidak akan sah".
"Jadikan penghulu dan Paman sebagai saksinya, jika penghulu tidak bisa biarkan ayah yang menjadi saksinya".
Derap langkah orang-orang di luar ruanganku saat ini terdengar, riuh suara mereka membuatku pusing.
"Lakukan saja Paman, sebelum aku berubah pikiran dengan menolak menikah". Lanjatku.
"Baiklah Tuan, saya akan bicarakan ini dengan Tuan Besar. Mohon tunggu sebentar".
Paman Jamil keluar dan bertemu Tuan Jared, ia mengatakan apa yang diminta Tuan Mudanya itu. Tuan Jared mengeram tapi tak bisa berbuat apa-apa.
"Turuti maunya, yang penting ia menikah hari ini".
"Baik Tuan Besar".
Pamanpun meminta pada dua orang saksi yang juga kerabat Ayah dan wanita, serta seorang fotografer itu pergi. Setelah itu, empat orang masuk ke ruangan yang pencahayaannya hanya dua batang lilin.
Mereka semua duduk di sofa, Ayah wanita itu dan penghulu sudah duduk berdampingan, sedangkan ayah sebelah kanannya, paman jamil sebelah kiri, dan aku di hadapan mereka.
Rentetan acara akad pernikahan ini pun di mulai. Tak lama suara sah dari saksi terdengar di ruangan ini, aku tau mereka menggunakan microphone untuk mengeraskan suara dan memberitahu para tamu jika proses akad telah selesai.
"Nak Zaki andrean putratama mohon jaga putriku dengan baik, meski kalian tak saling kenal tapi saya mohon janganlah sekali-kali menyakiti hatinya".
"Ayahku hanya ingin cucu dari putrimu, jika sudah lahir maka dia akan kukembalikan padamu. Ayo Paman kita pulang".
"Tidakkah kau ingin bertemu istrimu dulu".
"Tidak Ayah, antarkan saja ke rumah di sana kami akan bertemu".
"Kau..."
"Jangan mendebatku, karena aku sudah penuhi permintaanmu. Ayo Paman".
Aku melangkah meninggalkan keramaian itu kembali pada tempat yang kusukai.
########
Alhamdulillah chapter 2 done
Happy reading guys dan mampir di karya pertamaku Arindra...ya
Jejak kalian membuatku semangat terus untuk berkarya❤❤❤❤❤❤❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
Sekapuk Berduri
next..
2020-12-22
0
Lux Pras
Lanjut
2020-12-03
1
Ruby_
lanjut baca
2020-11-18
0