Ini bukan dia, kalian atau mereka, kami ataupun kita. Ini tentang aku yang bukan pengidap penyakit clastrophobia atau pun nytophobia. Jika ke dua penyakit itu phobia pada ruang sempit dan kegelapan, justru aku sebaliknya. Aku menyukai ruang yang tak luas dan berteman dengan gelap.
Gelap bagiku adalah sebuah ruang untukku bisa menyelamatkan diri, bebas berekspresi tanpa takut ada yang melihat ataupun menganggu.
Bagiku ruang gelap adalah tempat persembunyian terbaik, yang membuatku nyaman, tenang tanpa ada yang mengusik. Aku laksana seorang yang buta, tapi aku mampu melihat dengan jelas apa-apa yang ada di sekelilingku.
Aku juga bukan seorang yang buta, tapi aku seolah membutakan mataku, dan saat berjalan di ruang terang aku menyukai mataku yang tertutup, aneh bukan. Tapi tidak aneh untukku dan duniaku.
Pada orang yang bisa melihat sepertiku, area otak yang disebut dengan medial occipital memainkan peran yang penting dalam mendaftar sinyal secara visual.
Pada orang yang mengalami kebutaan sejak awal kehidupan akan mengoperasikan daerah otak ini untuk mendeteksi suara. Hal ini yang membuat seseorang bisa mendengar lebih baik dibandingkan dengan orang normal.
Selain itu saat lahir atau berusia muda, pusat otak yang mengatur penglihatan, pendengaran dan indera lainnya semua masih terhubung. Koneksi yang ada ini kemungkinan terus dipertahankan dan digunakan untuk memproses suara pada orang yang mengalami kebutaan.
Karena itu terkadang diketahui orang yang mengalami kebutaan tidak hanya bisa mendengar lebih baik, tapi juga memiliki indera sentuhan yang lebih baik dan penciuman yang lebih kuat.
Dan aku melatih diriku sejak kecil untuk tak tergantung pada indra penglihatanku. Aku belajar untuk menajamkan indra pendengaran, penciuman dan sentuhan layaknya orang buta.
Pribadi introvert bisa jadi, karena aku juga menyukai kesendirian. Keramaian bagiku bagai musuh, yang menganggu ketenangan. Bagiku gelap tak hanya sekedar teman setia, kesunyian juga bukan sekedar ruang hampa, tapi aku membentuk dan membangun keindahan dan pesonanya.
Di sinilah aku sekarang berada, memakai perlengkapan baju karate, dan berlatih seorang diri dengan mata tertutup. Aku selalu berusaha melatih pendengaranku dengan sistem deteksi echolocation.
Sebuah sistem laksana kelelawar dan lumba-lumba, yang tanpa melihat namun mampu mendeteksi benda-benda di sekitarnya melalui pantulan suara.
"Buk-buk".
Aku mengarahkan pukulan Oi zuki chudan, pukulan ke arah kepala pada samsak yang ada di depanku, dan Kisame zuki yang memukul tanpa melangkahkan kaki.
Hampir setiap hari aku berlatih, dan hanya satu orang yang melatihku sejak dahulu. Tapi karena diriku dianggap sudah cukup mampu, maka aku lebih banyak berlatih sendiri.
"Ceklek"
Suara pintu terbuka dan lampu dihidupkan, seseorang masuk mendekatiku, tercium aroma tubuhnya dari saat ia melangkah, hingga cukup dekat denganku.
"Maaf menganggu Tuan, saatnya anda mempersiapkan diri bertemu dengan Tuan Besar, karena beliau sebentar lagi akan datang".
Aku mendengarkan tanpa berbalik,
"Paman, adakah sesuatu yang ingin Ayah katakan, mengapa ia datang tiba-tiba?".
"Maaf Tuan Muda, saya tidak mengetahuinya. Bukankah hal wajar jika seorang Ayah menemui putranya".
"Ya memang sesuatu yang wajar, tapi menjadi tidak wajar jika kemudian ia mengatakan ingin bertemu setelah bertahun-tahun tidak mau menemuiku. Bukankah ia membenci keadaanku dan setiap apa yang kulakukan?".
"Seorang Ayah selalu punya tempat di hatinya untuk setiap anak-anaknya. Kerinduan itu pasti ada terlepas dari semua tindakan dan sikapnya yang menurut Tuan adalah tindakan kebencian akan keadaan anda".
"Baiklah, aku juga ingin tau seberapa besar tempat untukku di hatinya, dan seberapa besar kerinduannya untukku, atau mungkin malah sebaliknya. Ia hanya datang untuk sebuah kepentingan, bukan sebuah kepedulian".
"Kita lihat saja Tuan, apa yang Tuan Muda ucapkan benar atau tidak, saat Ayah Tuan sudah datang dan berbicara pada Anda".
"Baiklah, persiapkan segala sesuatunya, anggap saja aku sedang kedatangan tamu istimewa".
"Baik Tuan saya permisi".
"Hemm"
Lampu dimatikan, menjadi gelap kembali. Aku langkahkan kaki ke kamar dengan mata masih tertutup kain pengikat. Mandi dan berganti baju, lalu duduk di ruang santai dengan mendengarkan berita-berita terbaru.
Tak lama sebuah langkah kaki yang terseret, dengan tongkat di tangan terdengar mendekatiku. Tanpa melihat aku tahu, laki-laki yang kusebut Ayah itu sedang menatapku, menghela nafas berat dan duduk di sampingku meski terhalang meja di antara bangku yang kami duduki.
"Kau masih bertahan seolah Tuhan menakdirkanmu buta. Padahal Dia memberikanmu indra penglihatan yang sangat baik".
Aku tersenyum, vidio yang kudengarkan ku matikan. Suara yang kudengar adalah suara yang telah lama hilang, tak hanya satu atau dua tahun saja, tapi sudah dua puluh tahun lamanya tak kudengar.
Suara yang katanya sosok Ayah yang merindukan anaknya, tapi nyatanya suara itu tetap tak berubah seperti dulu, hanya nada suaranya saja yang semakin berat karena terpengaruh usia.
"Bagaimana kabar Ayah, sungguh kejutan di hari yang tak terduga. Seolah suasana mendukung, hawa yang sejuk kini menjadi panas dengan kedatangan Ayah yang tiba-tiba".
Laki-laki berusia enam puluh tahun itu menghela nafas, putranya ini sudah pandai bermain kata dengannya. Putra yang tak pernah ia temui karena sebuah alasan.
Putra satu-satunya dari wanita yang sangat ia cintai, namun kemudian ia asingkan dari kehidupannya.
"Aku datang untuk melihatmu, apakah kau sudah berubah atau tidak termasuk keanehan yang dulu mengikutimu".
"Dua puluh tahun tidak bertemu, jelas berubah. Bukankah sudah terlihat jelas dari fisikku kini yang terlihat gagah. Putramu ini bukan pria lemah, meski keanehan yang ayah sebutkan itu masih melekat dalam diriku".
"Kau makin percaya diri anak muda, bagus aku menyukainya. Tapi sayang, mengapa keanehan dalam dirimu juga tak hilang seiring berjalannya waktu. Padahal sudah terlalu banyak psikiater yang membimbingmu, tapi selalu saja mereka mengatakan kau menikmati keadaanmu ini".
"Keanehanku bagi ayah, adalah keunikan dan anugrah bagiku. Kau tak perlu lagi menghabiskan uangmu untuk menghilangkan keunikanku. Karena aku tak akan melakukannya, meski kau membawa ribuan psikiater di hadapanku".
"Baiklah, aku tak memaksamu untuk menemui psikiater yang selalu menjadi musuhmu. Tapi kau boleh menolak keinginanku menikahkanmu dengan wanita pilihan Ayah.
Usiamu sudah cukup untuk memberikan aku cucu, sehingga kelak ia bisa jadi penerusku bukan sepertimu yang menghabiskan masa mudamu dengan kehidupan yang tersembunyi".
"Aku fikir kau datang karena merindukanku, atau peduli padaku. Tapi nyatanya kau tidak berubah Tuan Jared Putratama".
"Aku melakukan ini karena peduli, mau sampai kapan kau bersembunyi. Dunia ini tak hanya hitam seperti duniamu saat ini, tapi juga ada merah, putih, hijau, kuning dan warna lainnya.
Usiamu sudah tiga puluh tahun, bukan lagi usia yang mengharuskan dirimu tetap bersembunyi dalam ruang sempit dan gelap. Bukalah matamu, gunakan indra penglihatanmu dan lihatlah dunia.
Ayah tidak mau tahu, satu minggu dari hari ini kau menikah dan tak ada bantahan, paham".
Laki-laki itu mengepalkan tangan, bukan ini yang dia harapkan dari kedatangan seorang Ayah yang telah lama tak dijumpainya itu. Tapi orang yang disebut Ayah olehnya pergi begitu saja setelah menyampaikan maksudnya, membuatnya jengah.
############
Alhamdulillah chapter 1 dari karya baruku done.
Selamat membaca, semoga memberi ilmu dan makna. ❤❤❤❤❤❤❤❤❤
artikel tentang kebutaan diambil dari lifestyle.okezone.com
"Tuan..."
"Paman salah, ia datang bukan karena ada rindu di hatinya, tapi dia datang untuk memaksakan kehendaknya untuk mewujudkan keinginannya.
Bagaimana menurut Paman, haruskah aku pergi dan kembali bersembunyi seperti dulu ataukah menerima permintaan orang tua itu. Kau tau benar Paman bagaimana diriku, kau sudah bersamaku sejak dua puluh tahun lalu".
"Maafkan saya Tuan, jika selama ini saya mengikuti kemauan anda, tapi kali ini saya menyetujui keinginan Tuan Besar untuk memiliki seseorang yang akan menemani hari-hari anda. Bukan sebagai pelayan seperti saya, tapi sebagai seorang istri yang akan jauh mengenal anda.
Bukan tidak mungkin, istri anda kelak mampu mengubah kegelapan yang menyelimuti anda selama ini, menjadi terang dengan anda menggunakan indra penglihatan yang anda miliki".
"Jadi kau menyetujuinya Paman, tidakkah kau tau kegelapan bagiku bagai nyawa yang tak bisa dipisah apalagi diubah. Baiklah, bukankah dia hanya mengharapkan cucu dariku, maka aku akan melakukan tugasku.
Setelah itu, kau bisa mengembalikan wanita itu pada tempat asalnya. Jangan berharap lebih Paman, karena aku takkan bisa melakukan lebih dari itu".
"Baiklah Tuan, akan saya sampaikan pada Tuan Besar syarat dari anda. Kalau begitu saya permisi dulu".
"Hemm"
Paman Jamil laki-laki yang merawatku adalah saudara jauh Ayah. Ia begitu sabar mengurusku, tanpa mengeluh, selain setia ia juga cukup patuh selama ini.
Aku kembali ke kamar, memainkan gerakan tanganku di atas kanfas. Tanpa melihat aku bermain dengan warna, menarikan kuas di atas kain kanvas dan memberikan jejak-jejaknya di sana.
Seperti apa kemudian hasilnya, aku tak pernah tau dan peduli. Apa yang terbanyang di otakku itulah yang kucoba lukiskan. Selain karate, dunia lukisan cukup menarik perhatianku untuk menemani hari-hariku dalam ruang gelap dan kesendirian.
Waktu bergulir dengan cepat, menggilas orang-orang yang malas dan lambat. Dini hari aku sudah terbangun, membersihkan dan mempersiapkan diri untuk datang ke suatu tempat yang sudah disiapkan oleh orang yang kupanggil Ayah.
Tuksedo hitam, kaca mata hitam yang menjadi penghalang mataku untuk melihat. Ya, kaca mata itu adalah kaca mata khusus yang kuminta saat aku dipaksa untuk keluar dari ruanganku.
Bukan kaca mata untuk sebuah aksesoris semata, tapi kaca mata yang kugunakan adalah kaca mata berlensa gelap sehingga meskipun mataku terbuka tapi takkan melihat apapun di depannya.
Aku sudah menaiki mobil yang dikendarai oleh Paman, jalanan masih cukup legang. Efek masih pagi, seperti biasa mataku setia terpejam. Bukan tidur, tapi menguatkan indra pendengaran dan penciumanku pada jalanan yang ku lalui.
Aku akan membebat telingaku dengan sapu tangan ataupun earphone yang setia menemaniku jika suara terlalu bising dan ramai terdengar di telingaku.
Paman berhenti di sebuah gedung tinggi, keramaian sudah terdengar di telingaku, penciumanku pun sudah bekerja. Aku muak mencium bau-bau aneh dari sekitarku saat ini, ditambah suara-suara yang memekakkan telinga hingga aku tetap enggan turun meski Paman sudah membukakan pintu untukku.
"Katakan pada laki-laki itu, suruh mereka diam dan bawa aku ke ruangan sunyi. Nikahkan aku di ruangan itu, dan cukup orang-orang yang terlibat dalam akadku yang ada di sana. Selebihnya suruh diam dan pergi dari ruangan itu.
Jika dia tak mau menurutiku, aku akan tinggalkan pernikahan ini dan membuatnya malu".
"Baik Tuan, akan saya sampaikan pada Tuan Besar".
Cukup lama, aku berada di dalam mobil dengan telinga yang ku sumbat tentunya, dan hidung yang kupakaikan masker. Hingga suara ramai itu seketika hening, meski masih tercium dan terdengar gerakan-gerakan kaki-kaki yang berdiri di sekitarku.
"Semua sudah dikondisikan sesuai permintaan anda Tuan, silahkan ikuti saya".
Aku keluar setelah Paman membukakan pintu mobil untukku, masker dan headshet masih bertengger di teliga dan mulutku. Helaan nafas dari Ayah terdengar jelas di telingaku, memandangku tak suka.
Aku masuk dalam sebuah ruangan yang cukup terang.
"Paman, matikan lampunya dan ganti dengan lilin. Ruangan ini menyilaukanku, segera lakukanlah Paman. Dan sebelum kau pergi mengambil lilin, matikan dulu lampunya".
"Baik Tuan".
Paman Jamil pergi namun beberapa orang datang memasuki ruanganku.
"Kenapa gelap sekali, di mana lampunya?". Ucap suara wanita, gerakannya ku dengar meraba-raba.
"Jangan dihidupkan, jika kalian hidupkan maka pernikahan ini akan batal".
"Maafkan kami Tuan, karena kami tak tahu Tuan berada di ruangan segelap ini". Ucap suara wanita itu gugup dan takut.
"Ada perlu apa kalian masuk ke ruanganku"
"Kami hanya diperintahkan untuk mendandani Anda Tuan, lebh tepatnya merias Anda agar lebih tampan".
"Tak perlu, pergilah sebelum aku pergi meninggalkan tempat ini".
"Tapi Tuan, kami sudah dibayar mahal ini melakukan ini".
"Ambil saja bayarannya, dan tak perlu lakukan tugas. Keluarlah, atau benda yang ada di genggamanku ini akan melayang padamu dan orang-orang yang ada di belakangmu".
"Ba..baiklah Tuan, kami permisi".
Tak lama Paman Jamil datang membawa lilin, dan menghidupkannya di sudut ruangan. Tentu saja gelap masih saja menjadi dominan di ruangan itu.
"Berapa lama lagi acara di mulai Paman, jika masih lama lebih baik kita pulang".
"Sebentar lagi Tuan, sedang menunggu penghulunya datang, sebentar lagi kemari".
"Berapa orang yang akan memasuki ruangan ini?".
"Sekitar tujuh orang Tuan".
"Terlalu banyak Paman, kurangi".
"Mereka orang-orang penting Tuan, ada Ayah anda, ayah dari wanita yang akan anda nikahi, dua orang saksi, penghulu, dan tentu saja saya sendiri Tuan, dan seorang fotografer".
"Keluarkan dua orang saksi dan fotografer, aku tak membutuhkan mereka".
"Tapi Tuan, saksi penting dalam sebuah pernikahan, tanpa ada saksi pernikahan tidak akan sah".
"Jadikan penghulu dan Paman sebagai saksinya, jika penghulu tidak bisa biarkan ayah yang menjadi saksinya".
Derap langkah orang-orang di luar ruanganku saat ini terdengar, riuh suara mereka membuatku pusing.
"Lakukan saja Paman, sebelum aku berubah pikiran dengan menolak menikah". Lanjatku.
"Baiklah Tuan, saya akan bicarakan ini dengan Tuan Besar. Mohon tunggu sebentar".
Paman Jamil keluar dan bertemu Tuan Jared, ia mengatakan apa yang diminta Tuan Mudanya itu. Tuan Jared mengeram tapi tak bisa berbuat apa-apa.
"Turuti maunya, yang penting ia menikah hari ini".
"Baik Tuan Besar".
Pamanpun meminta pada dua orang saksi yang juga kerabat Ayah dan wanita, serta seorang fotografer itu pergi. Setelah itu, empat orang masuk ke ruangan yang pencahayaannya hanya dua batang lilin.
Mereka semua duduk di sofa, Ayah wanita itu dan penghulu sudah duduk berdampingan, sedangkan ayah sebelah kanannya, paman jamil sebelah kiri, dan aku di hadapan mereka.
Rentetan acara akad pernikahan ini pun di mulai. Tak lama suara sah dari saksi terdengar di ruangan ini, aku tau mereka menggunakan microphone untuk mengeraskan suara dan memberitahu para tamu jika proses akad telah selesai.
"Nak Zaki andrean putratama mohon jaga putriku dengan baik, meski kalian tak saling kenal tapi saya mohon janganlah sekali-kali menyakiti hatinya".
"Ayahku hanya ingin cucu dari putrimu, jika sudah lahir maka dia akan kukembalikan padamu. Ayo Paman kita pulang".
"Tidakkah kau ingin bertemu istrimu dulu".
"Tidak Ayah, antarkan saja ke rumah di sana kami akan bertemu".
"Kau..."
"Jangan mendebatku, karena aku sudah penuhi permintaanmu. Ayo Paman".
Aku melangkah meninggalkan keramaian itu kembali pada tempat yang kusukai.
########
Alhamdulillah chapter 2 done
Happy reading guys dan mampir di karya pertamaku Arindra...ya
Jejak kalian membuatku semangat terus untuk berkarya❤❤❤❤❤❤❤
"Sarah Sulintya Jasmine, itukah namamu?"
Tanya laki-laki tua pada sosok gadis muda yang berusia dua puluh tahunan yang kini sedang duduk di hadapannya.
"Benar Opa"
"Ahh, kenapa baru sekarang aku mengetahui nama lengkapmu padahal sudah lama kita saling kenal".
"Ya Opa, tidak pernah bertanya nama lengkapku, bahkan opa selalu memanggilku mien, atau mimien hehehe".
"Maafkan Opa sayang, tapi taukah kau Opa memanggilmu kemari untuk apa?".
"Opa kan kangen padaku, kan sudah cukup lama kita tidak bertemu hehee".
"Kau selalu tertawa dan periang, sungguh membuatku senang dekat-dekat denganmu".
"Eits, Opa tidak berharap menjadikanku sugar baby kan 😄"
"Hahahaa kau lucu sekali, apa kau mau, jika kau mau opamu ini tak masalah".
"Hahaha opa becanda, kau opaku selamanya menjadi opaku okeh".
"Hahaha baiklah, baiklah. Aku takkan menjadikan sugar baby tapi opa ingin menjadikanmu menantuku. Apakah kau mau?.
"Hehee Opa lagi ngeprang ya, kan Opa g punya anak laki-laki. Mana bisa Mien jadi menantu Opa".
"Opa tidak becanda sayang, Opa serius dan sudah membicarakan ini dengan ayahmu. Ayahmu tergantung padamu, jika kau setuju maka minggu depan kalian menikah".
Raut wajah laki-laki yang dipanggil Opa ini serius, menunjukkan bahwa ia tidak sedang bercanda.
"Opa tidak bercanda?".
"Tidak sayang, Opa serius".
"Tapi kenapa harus aku Opa, dan Opa memiliki anak laki-laki tapi tak pernah aku lihat".
"Dia memiliki rumah sendiri sejak usia sepuluh tahun, dia tinggal di rumahnya dan dia tidak mau kemari makanya kau tak melihat atau mengenalnya".
"Oh pantas saja aku tak pernah melihatnya".
"Bagaimana apakah kau setuju Miennya Opa?"
"Opa Jared, Mien masih dua puluh tahun dan Mien juga masih kuliah. Maksud Mien...".
"Kau menolak?"
Jasmine tertunduk, ada sorot mata kecewa di wajah teduh orang yang selama ia panggil Opa. Opa Jared, seorang tetangga baik menurut jasmine selama ini.
Meski bukan cucu kandungnya, tapi Opa Jared selalu memberi perhatian, kasih sayang dan hadiah padanya. Ia sering bermain menemani Opa yang sering sendirian. Dari itulah kedekatan kami terbangun tak hanya antar kami berdua tapi Ayah, Ibuku juga kemudian mengabdikan diri pada Opa.
Lebih tepatnya menjadi karyawan di rumah Opa, Ibu yang menjadi juru masak di rumah besar milik Opa, sedangkan Ayah menjadi orang kepercayaan Opa.
Dulu Ayah dan Ibu bekerja di sebuah perusahaan yang sama, namun seiring berjalannya waktu mereka di phk karena perusahaan dinyatakan pailit. Saat itulah Opa menawarkan pekerjaan pada ke dua orang tuaku dan mereka menerimanya dengan senang hati.
Karena ke dua orang tuaku bekerja di rumah Opa Jared, sejak kecil aku dibawa hingga sampai kami dekat seperti ini.
"Opa tidak bisakah rencana ini di tunda, atau berikan waktu untuk Mien mengenal anak Opa. Siapa tau anak Opa memiliki seorang kekasih".
Jasmine sebenarnya menolak, tapi tidak enak dengan Opa mengingat kedekatan dan kebaikan yang sudah terjalin selama ini.
"Jadi kau tidak menolak bukan, sekarang atau nanti akan sama saja. Opa jamin anak Opa perjaka ting-ting hehee".
"Iya okelah, tapi apakah Opa tidak malu memiliki calon menantu sepertiku. Aku bukan gadis baik, tidak juga cantik, pintar standar, tinggi standar juga. Lalu apa yang Opa lihat dariku".
"Karena kau cucuku anak manis"
"Lalu kenapa Opa mau menjadikan menantu jika aku ini cucumu. Aku tidak mau Opa, aku ingin tetap jadi cucu kesayangamu bukan menantu hehee".
"Menjadi menantu juga tetap jadi kesayangan Opa, naim status dari cucu jadi menantu kan judulnya jadi begitu".
"Tapi Opa, jika aku sudah punya seseorang di hatiku bagaimana?".
"Apakah kau memilikinya saat ini?".
"Ya akukan sedang berkata andai opa, jadi bagaimana apakah Opa tidak akan mengubah statusku dari cucu jadi menantu kan?".
"Keputusan Opa tidak berubah sayang, meskipun kau memiliki kekasih sekalipun".
"Oppaaa, tidakkah opa kasihan melihatku yang masih terlalu muda untuk menikah".
Rengek jasmine pada Opa Jared, iya masih berharap jika rencana pernikahannya tidak dilanjutkan.
"Meskipun kau merengek dengan air mata darah keputusan Opa tidak berubah. Tidakkah kau iba pada opamu ini hemm, lihat Opa sudah enam puluh tahu. Tapi jangankan cucu, menantu saja belum punya. Kau ingin Opa mati tanpa cucu begitu?".
"Oppaaa, g boleh ngomong gitu, kalo Opa mati Mien minta uang sama siapa, kan Opa yang banyak uangnya heheee".
"Dasar manja, sejak kapan kau jadi matre begini, tapi baiklah jika kau menjadi menantu Opa dan melahirkan cucu untuk Opa, maka perusahaan itu akan jadi milik cucu Opa".
"Kok jadi milik cucu sih, kan aku ibunya masak yang dapet cucunya".
"Makanya nikah, maka kau bisa menikmati hartaku bersama cucuku".
"Opaaaa apa tidak ada cara lain".
"Ada"
"Apa Opaa?".
"Berikan aku Cucu, sebelum itu menikah dengan Drean".
"Itu mah sama aja Opaa, Mien sebel sama Opa. Mien g mau nikah sama anak Opa".
"Baiklah kalau tidak mau, mulai hari ini jangan panggil Opa lagi, jangan pernah kemari lagi dan orang tuamu akan Opa pecat".
"Opaaa jahat".
"Hahaaa, manja sekali cucu Opa ini. Sudah, tidak perlu menolak kalian akan tetap menikah minggu depan".
"Huaahuaaa Ayah, Ibu Opa Jared jahat masa anak kecil disuruh nikah sih".
Mien lari mencari Ayah dan Ibunya yang berada di dalam, tingkah Mien yang manja membuat Opa menyukainya. Menurutnya Mien adalah sosok lucu dan menggemaskan yang sangat cocok untuk Andrean yang penyendiri dan tertutup.
Tapi pada akhirnya Mien pun menerima pernikahannya dengan Andrean. Sosok laki-laki yang tak pernah ia lihat, bahkan Opa Jared tak memberikan foto wajah Andrean.
Lebih sadisnya lagi di hari pernikahan mereka, Mien yang sendirian berdiri di pelaminan setelah sosok laki-laki yang menikahinya mengucap ijab kabul di ruang gelap. Bahkan ia tak sempat melihat wajah yang disebut suaminya itu.
"Ahhh begini amat nasib idup, ini mah nikah tapi kayak g nikah. Suami di mana istri jadi pajangan di pelaminan sendirian. Apes banget nasibku ya Allah. Apalagi ini hah, masa langsung aja di suruh ke rumahnya. Apa ga ada waktu besok apa, aku kan cape udah itu dah malem lagi. Dasar suamiiii".
Gerutuan Jasmine menggema di kamar yang seharusnya menjadi kamar pengantin mereka. Ia membereskan barang-barangnya setelah jemputan tiba untuk bertemu dengan orang yang dikatakan suami.
Dengan tergesa-gesa ia bereskan barang-barang yang dianggap penting saja. Ia bertekad akan pulang, jika orang yang disebut suami itu melakukan penganiayaan. Heh, siapa tau kan, setidaknya ia harus memiliki rencana pikirnya.
#########
Alhamdulillah chapter 3 done
jejak-jejaknya ya guys..
Dang lupa ...mampir juga di karya perdanaku Arindra❤❤❤❤😄😄😄😄
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!