Tap tap tap
Suara langkah kaki terdengar dari sepasang sepatu berwarna coklat muda dengan heels tiga sentimeter. Langkah santai yang menggema di sepanjang lorong lantai 7. Langkah tersebut membawanya masuk ke sebuah ruangan bertuliskan Creative Department di pintunya.
Tepat saat beberapa pasang mata melihat ke arahnya. Mereka saling bertukar sapaan dengan diiringi senyuman kecil, wanita itu terus berjalan. Dia berhenti disebuah meja diujung ruangan dengan papan nama Calya Shalitta Creative Director terpajang disana.
Meletakkan Givenchi berwarna beige miliknya diatas meja. Mengeluarkan smartphone dan beralih ke sebuah komputer disebelah kiri meja. Wanita lain datang menghampiri meja itu. Wanita berusia sekitar 27 tahun dengan tinggi 160cm, duduk di sebuah kursi di seberang meja dan mulai berbicara.
“Did you see?” tanyanya. Calya melirik kearah wanita itu sambil kembali bertanya “See what?” Wanita itu, Qeiza terlihat sangat bersemangat saat menjawab “LOVATY.”
Namun sang lawan bicara tidak terlihat terlalu bersemangat dengan topik yang mereka bicarakan, terdengar dari nada bicaranya saat menjawab “Yeah. Mereka menolak proposal kita dan memilih menggunakan iklan yang sederhana itu. Such a wise decision, doesn’t it?”
“Really!” Qeiza menghela nafas. Menyadari bahwa mereka membahas topik yang sama tapi dengan poin yang berbeda. Sementara Calya tidak menyadari perbedaan itu dan terus berbicara
“Mungkin Klandestin menghabiskan hampir seluruh anggaran pada LOVATY, makanya mereka menghemat anggaran untuk iklan?” dia bersandar pada kursi sambil meletakkan lengan kiri diatas pegangan kursi.
“Yah, siapa peduli dengan anggaran mereka. Hey Cal! Bukan itu yang aku maksud!” wanita itu menjawab sekenanya, sungguh tidak tertarik dengan kata – kata Calya yang berbau kerja.
Mendengar respon Qeiza membuat Calya kembali bertanya “So?” katanya sambil menengadahkan tangan kirinya. Mulai tak mengerti dengan arah pembicaraan rekan kerjanya ini.
“LOVATY!” Qeiza kembali menegaskan, berharap Calya mengerti. Tapi tidak “Ya, lalu?” wanita itu mulai terlihat tidak sabar.
Qeiza menyondongkan badannya kearah meja. Mengangkat kedua tangan dengan kedua siku menempel di atas meja dan melanjutkan pembicaraan.
“Udah liat di sosial media? Instagram, Twitter, Facebook, semuanya pada rame bahas LOVATY. Ni ya pokoknya kita.. kamu dan aku.. kita.. itu nga boleh ketinggalan,” dia terus berbicara sambil menggerak – gerakkan kedua tangannya, terlalu bersemangat.
“Seriously? Kamu masih bisa bahas itu sementara kita udah gagal satu tender sama perusahaan lawan?” kali ini Calya yang dibuat kesal, sepertinya hanya dia yang menanggapi pekerjaan ini dengan sungguh – sungguh.
“Kita baru kalah satu kan, perusahaan belum runtuh. Lagi pula proyek kita juga masih banyak,” Qeiza menyandarkan kembali punggungnya ke kursi, terlalu santai.
“Oke. Karena poject kita masih banyak, Art Director ibu Qeiza Oksana silahkan kembali bekerja,” Calya mengakhiri perbincangan mereka dengan sebuah perintah. Qeiza sangat mengerti dengan aba – aba yang diberikan, dengan cepat ia menjawab “Oke bos!” dia beranjak dari kursi dan kembali ke meja kerjanya.
Setiap suasana pagi di Creative Department selalu diawali dengan obrolan tentang topik - topik hangat. Mengapa? Pertama, sebagai karyawan yang bekerja di sebuah perusahaan periklanan sangat penting bagi mereka untuk tahu perkembangan trend yang terjadi di sekitar mereka.
Kedua, sebagai manusia biasa yang normal mereka pasti butuh komunikasi atau lebih tepat disebut –ngerumpi-. Tapi itu hanya terjadi di sela – sela jam kerja mereka. Sementara untuk perusahaan sekelas Parama Ad, sela – sela jam kerja tersebut terkadang bisa sangat sedikit.
“Semuanya kita meeting 10 menit lagi.”
Kalimat yang sudah sering kali didengar oleh para staf itu menjadi pertanda bagi mereka untuk mempercepat apapun yang sedang mereka lakukan. Mengetik lebih cepat, mencetak lebih cepat, menggandakan lebih cepat, atau atau apapun itu semua dilakukan lebih cepat.
Tak terkecuali untuk Calya sendiri, ia sibuk menyiapkan semua berkas – berkas yang akan dibahas saat rapat. Ia tak sadar sepuluh menit telah berlalu dan semua orang sudah meninggalkan ruangan kecuali dirinya.
Di ruang rapat semua staf bergantian menyampaikan ide yang sudah mereka persiapkan untuk proyek – proyek mendatang. Saat semua sudah selesai suasana berubah menjadi hening.
Mereka semua secara gugup melihat kearah seseorang yang ekspresi wajahnya terlihat datar. Calya, sang Creative Director. Wanita itu menghela nafas berat.
“Di awal bulan saya sudah umumkan daftar proyek yang harus kita menangkan, sekarang sudah hampir dua minggu dan dimana progress-nya? Layout yang kalian serahkan ke saya dikritik habis – habisan oleh manajemen.”
kalimat awal yang ia ucapkan menjelaskan suasana hening yang telah terjadi.
“Sekarang tolong jelaskan kenapa sembilan orang staf di Creative Department hanya bisa menyerahkan satu ide untuk masing–masing proyek?”
Semua staf terdiam dan hanya menunduk. Beberapa terlihat curi pandang ke sisi kiri dan kanannya.
“Haruskah saya ulangi lagi apa hal terpenting yang harus kita lakukan agar dapat memenangkan klien?” Calya yang tidak direspon kembali berbicara “Davidya, sudah berapa lama kamu intern disini?”
Semua staf sudah paham arah pembicaraan ini, itulah mengapa mereka hanya diam. Keheningan yang membuat Davidya semakin gugup, dengan ragu – ragu dia menjawab “Tiga bulan mbak.”
Calya kembali bertanya “Apa jawaban kamu?”
Davidya mencoba menjawab “Ide segar yang sesuai dengan keinginan klien.”
“Ide – ide segar yang sesuai dengan keinginan klien. Hal paling penting yang harus diingat untuk memenangkan klien adalah ide, lebih dari satu ide. Jika bukan ide yang pertama mereka bisa pilih ide yang kedua atau seterusnya, intinya adalah tidak membiarkan klien tersebut lolos ke perusahaan lain. Tapi bukan berarti karena kuantitas kalian melupakan kualitas idenya!”
Dengan cepat Calya menambahkan jawaban Davidya yang tidak sepenuhnya salah itu. pertanyaan itu bukan tes tapi jembatan untuk menghubungkan kalimat selanjutnya yang akan dia katakan.
“Wikan, ide seperti apa yang harus kita berikan?” jembatan selanjutnya ia tujukan kepada karyawan magang lainnya.
“Ide yang unik, sesuai dengan trend dan dapat menarik minat pasar,” Wikan menjawab secepat mungkin.
“Bukankah orang – orang di ruangan ini punya kualifikasi yang sesuai untuk itu? Atau saya salah menilai kalian?”
Calya mengakhiri rangkaian pembicaraan panjangnya dengan sebuah kalimat penegasan. Itu mungkin terdengar seperti pertanyaan, tapi tak ada satupun di ruangan itu yang ingin menjawabnya.
“Ingat bahwa department kita adalah mesin dari perusahaan. Jika kita bergerak lambat perusahaan akan jatuh. Jika kinerja kita tidak maksimal perusahaan akan jatuh. Kita punya tugas penting untuk menjaga perusahaan tetap unggul, dan itu bukan hanya tugas untuk beberapa orang tapi semua. Mau itu staf lama atau intern, kalian semua wajib kerja secara aktif disini. Mengerti?”
Entah untuk keberapa kalinya Calya harus mengingatkan mereka tentang hal ini dan dia sangat berharap ini akan menjadi yang terakhir kalinya.
“Mengerti!” jawaban semua staf itu membuat wanita itu menghela napas lagi. Rapat kali ini juga berat untuknya. Dengan beban kerja yang mereka miliki ditambah dengan nama besar perusahaan mereka, dia tidak ingin membiarkan para stafnya mengalami penurunan kinerja. Memastikan semua orang tetap bekerja sebagaimana mestinya adalah tugasnya sebagai Creative Director.
“Kalau begitu silahkan kembali bekerja dan saya ingin lihat progress kalian akhir minggu ini.”
Semua staf keluar dari ruang rapat dengan suasana hati yang tidak baik. Semua orang tidak akan merasa senang setelah menghadiri rapat yang dipenuhi dengan -kicauan-.
Setidaknya sebagian mengerti, para staf lama yang sudah sering menghadapi situasi seperti ini. Tapi tidak bagi para karyawan magang, mereka berkumpul dan mulai mengeluh. Satu diantaranya mulai menghela nafas yang panjang.
“Suasana rapat yang buruk!” Davidya mulai mengeluh.
“Mereka bilang hal seperti ini sudah biasa terjadi, terutama saat kita kehilangan proyek,” Rana menanggapi keluhan Davidya dengan memberinya informasi, mungkin saja temannya itu akan mengerti.
“Bukannya kita cuma hilang satu proyek ya? LOVATY itu kan?” tanya Davidya yang masih belum memahami situasinya.
“Tetap aja, she’s not gonna miss even one small thing!” jawab Rana menegaskan.
“Emangnya mbak Calya selalu se-strict itu ya?”
"Kalian mau dengar sesuatu?” Satu – satunya karyawan magang pria itu mulai menyela pembicaraan mereka.
Satu kalimat dari Wikan berhasil membuat kedua gadis itu tertarik “Apa?”tanya mereka berdua.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
savage me
👍
2023-11-13
0
pinnacullata pinna
halo thor aku datang dan memberikan like this,
dukung juga novelku cinta adalah sebuah perjalanan yang indah 🙏☺️
2020-12-14
2