“Qei!” panggil Rezvan sambil menghampiri meja kerja Qeiza. Gadis itu baru sampai di kantor pada jam yang bisa dikatakan hampir terlambat.
Dia langsuk duduk dikursinya dan menoleh ke arah rekan kerja yang telah menunggunya sejak tadi “Kenapa?”
Rezvan juga ikut duduk dikursi depan meja kerja Qeiza “Ada apa sama Niskala? Kenapa tiba - tiba minta pertemuan mendadak? Bukannya kemarin udah fix?"
Qeiza dengan wajah kusutnya langsung menata meja kerjanya dengan barang – barang dari tasnya, “Mereka bilang ada penyesuaian dengan kriteria artisnya. Jadi mereka mau list artis - artis yang baru.”
Rezvan sedikit kaget “Berarti kita harus buat ulang list nya dan meeting lagi dengan mereka?” dia bertanya.
“Don’t worry. We don’t have to remake it cause i did it last night dan kita juga nga perlu meeting dengan mereka karena Calya yang bakal meeting dengan mereka,” jelas wanita itu panjang lebar.
“Is she?” tanya Rezvan tak percaya.
“Yeah,” jawab Qeiza malas.
“Alone?” pria itu masih saja bertanya.
“Yeah..” jawab wanita itu lagi.
“*When?”
"NOW! Can you just leave me alone, cause i need a time to refresh my mind*.”
Rezvan meninggalkan Qeiza yang sedang kesal dan meja kerjanya. Qeiza yang malang belum pulih dari kejadian tadi malam. Saat dia sedang bersiap untuk istirahat, smartphone nya berdering dengan menunjukkan nama Calya disana.
Temannya itu menelpon dengan rasa kesal. Bercerita panjang lebar hingga menghabiskan waktu berjam - jam. Tidak berhenti sampai disitu, sebelum mengakhiri panggilannya dia meminta Qeiza untuk membuat kembali list artis dan harus dikirim malam itu juga.
Qeiza nyaris tak punya waktu tidur, sesuatu yang selalu dia miliki setiap malamnya. Membuatnya berada pada suasana hati yang buruk sekarang.
Tapi Qeiza bukanlah satu - satunya yang memiliki suasana hari yang buruk hari itu. Di tempat yang berbeda, Calya juga sedang memiliki suasana hati yang sama buruknya. Dia berpikir apa yang terjadi tadi malam sudah buruk, tapi yang terjadi hari ini lebih buruk dan mungkin akan menjadi lebih buruk lagi nanti.
Duduk di sebuah kafe pagi ini bukanlah sesuatu yang buruk bagi Calya, tapi pria di depannya yang menjadi penyebabnya. Pria yang tiba - tiba menelponnya tadi malam, mengatakan bahwa kriteria artist yang mereka butuhkan telah berubah dan menyuruhnya untuk mempersiapkan list artist yang baru untuk dibicarakan lagi besok pagi.
Pria yang saat ini sedang membaca beberapa lembar kertas yang dibawa oleh Calya dengan tampang seriusnya. Dia Ray, pria dari Niskala yang saat ini adalah klien nya.
***
Lihat dia. Pasti dia merasa saat ini dia terlihat keren dengan tampang serius itu. Entah benar dia sedang membaca kata - kata dari kertas itu atau tidak. Dia bahkan tidak memberitahuku kenapa kriteria itu bisa berubah dan bagian mana yang berubah lebih tepatnya. Sekarang dia juga membuatku datang ke kafe ini pagi – pagi.
Lebih dari 25 menit sudah berlalu tanpa petunjuk apapun. Kalau sampai dia tiba - tiba membatalkan perubahan kriteria yang dia bilang atau menyuruhku membuat ulang daftar artis dengan alasan yang aneh, awas saja aku tidak akan tinggal diam. Jelas dia sedang merencanakan sesuatu sekarang.
“Oke!” Tiba - tiba di berbicara, membuatku sedikit kaget.
“Maaf?”, aku masih mencoba bersikap sopan. “Jumlah artist dalam list nya cukup,” ucapnya lagi, aku mulai tak mengerti.
“Oke, jadi?”. Aku menunggunya menyelesaikan kalimatnya, tapi dia malah bertanya balik seperti tak mengerti maksud ucapanku “Ya?”
Jadi kuubah pertanyaanku “Siapa yang akan anda pilih?”
“Belum,” jawabnya, mungkin aku salah dengar
“Maaf, saya pikir anda sudah memutuskan”.
“Tidak sebelum kita lakukan wawancara,” untuk kedua kalinya kupikir aku salah dengar.
“Wawancara? Kapan?” tanyaku.
“Hari ini,” jawabnya santai.
“Hari ini? Tapi kita belum membuat janji?” aku tidak percaya apa yang baru saja dia ucapkan.
“Itu bisa diurus sekarang. Kira - kira satu - dua jam cukup kan? Kita masih bisa menunggu disini dulu selama janjinya diurus.”
Luar biasa... Pria ini memang luar biasa.. menyebalkan. Entah apa yang harus aku katakan, aku ingin mengutuknya sekarang. Jika tidak mengingat statusnya sebagai klien, sudah kutinggalkan dia disini sejak tadi.
Tidak ada pilihan lain selain menuruti perintahnya. Dengan berat hati mengeluarkan smartphone-ku untuk menghubungi tim di kantor, meminta mereka untuk menyelesaikannya secepat mungkin karena aku ingin secepatnya pergi dari tempat ini.
Aku menutup sambungan telepon dan kembali ke meja tanpa sepatah kata. Bahkan senyum bisnis yang biasa kugunakan di setiap pertemuan enggan ku tunjukan sekarang.
“Sambil menunggu mungkin mau pesan sesuatu?” dia mulai berbasa – basi sekarang.
“Tidak, terima kasih!” jawabku. Mungkin aku terdengar ketus barusan, terserahlah aku tidak peduli. Kulihat dia meninggalkan meja, akhirnya sedikit ruang napas untukku.
Tak lama smartphone ku berdering, anggota tim ku menelpon. Mereka menyelesaikan pekerjaan lebih cepat dari dugaan, pikirku.
Namun, setelah kuangkat sambungan telepon itu ternyata kabar buruk yang kudengar. Haaahh.. Aku menghela napas panjang. Disaat yang bersamaan pria itu kembali kemeja dan bertanya kepadaku ada apa. Langsung saja ku jelaskan padanya kabar yang baru saja kudengar.
“Tim mengatakan tidak mungkin untuk mengumpulkan semua list artist di satu tempat hari ini?” aku berharap dia berubah pikiran dan menarik kata – katanya tadi.
“Kita tidak harus mengumpulkan mereka di satu tempat,” tapi itu sia – sia.
“Apa?” Entah mengapa aku tidak bisa mengerti apa yang sedang dia katakana. Mungkin otakku sudah mulai lelah atau aku hanya tak mengharapkan jawaban itu darinya.
Sepertinya dia bisa membaca itu dari ekspresiku dengan tindakannya yang mengambil smartphone ku dan menjelaskannya langsung kepada anggota timku di sambungan telepon yang memang belum diputus sedari tadi. Sungguh pria yang berkemauan keras, mungkin aku agak bersyukur untuk yang satu ini.
“Ayo pergi!” tiba – tiba dia beranjak dari kursinya, membuatku bingung.
“Apa? Kemana?”
“Interview para artist di list. Daftar kita panjang sebaiknya kita mulai sekarang,” tunggu dulu biarkan aku mencerna kata – katanya.
“Sekarang? Bukannya sekarang belum bisa?” aku berusaha membuat dia mengerti bahwa sarannya tadi terdengar mustahil.
“Bisa, kalau kita ganti caranya,” tapi tentu saja tidak berhasil.
“Ganti gimana?” semoga saja dia tidak sedang bermain – main sekarang.
“Daripada nunggu kesempatan untuk ngumpulin para artist di satu tempat, lebih cepat kalau kita yang hampiri mereka,” mungkin dia memang sedang main – main sekarang.
“Hampiri mereka? Maksudnya satu persatu?” bagaimana mungkin.
“Satu persatu!” aku menghela napasku, tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.
“Anda sedang bercanda?”
Mungkin ini memang kebiasaanya, benar kan?
“Kenapa harus bercanda untuk urusan pekerjaan. Ada apa? Keberatan? Tidak masalah kalau tidak setuju, kita bisa melakukan interview beberapa kali. Berarti kita harus ketemu besok, dan besoknya dan besoknya lagi…”
“Kita berangkat sekarang! ” Ucapku memotong kalimatnya. Sudah kuduga aku terlalu cepat memujinya tadi.
‘Apakah aku telah mengutuk diriku sendiri?’
Dari tadi kata – kata itu yang terlintas - dibenakku. Mungkin kata – kata yang ku ucapkan pada diriku tadi pagi menjadi kenyataan. ‘Keadaan akan menjadi lebih buruk lagi’ dan itu memang yang terjadi padaku saat ini.
Terjebak bersama pria ini saat ini dengan alasan pekerjaan. Sekarang sudah lewat tengah hari, kuhabiskan lebih dari setengah hari bersama dengannya. Apa yang kami maksudku pria ini lakukan setelah meninggalkan kafe adalah tur keliling agensi artist. Dari satu agensi ke agensi lainnya, artist satu ke artist lainnya, interview satu ke interview lainnya.
Aku tidak akan mempermasalahkan interview ini, karena ini adalah jalan keluar yang dia pikirkan atas masalah yang kami hadapi. Hanya saja, apa saja yang dia lakukan selama interview benar – bernar tidak bisa aku mengerti.
Pertama, dia tidak memberitahukku apa yang harus ku lakukan selama interview ini. Kedua dia tidak memiliki setidaknya acuan pertanyaan untuk interview ini. Ya, pertanyaan. Itu yang aku tidak aku mengerti disini.
Kenapa ada begitu banyak pertanyaan aneh di interview ini? Ada apa dengan nya? Maksudku kenapa dia menanyakan pertanyaan – pertanyaan seperti ‘Apakah anda tergabung dalam klub olahraga tertentu? Olahraga apa yang anda sukai? Berapa kali anda olahraga dalam seminggu? Berapa pasang sepatu olahraga yang anda miliki? Bagaimana anda merawat sepatu olahraga anda? Apakah dia Reporter Chanel Celebrities & Sport? Jika dia adalah anggota timku, sudah pasti aku akan marah – marah sekarang. Tapi mengingat dia siapa, aku lebih baik diam.
Benar – benar diam. Selama interview dan selama di dalam mobil. Tidak ada satu percakapan pun yang kulakukan dengannya. Meskipun dia mencoba memulai percakapan seperti ‘jam berapa sekarang?’ atau ‘apakah kita melewati jalan yang benar?’ hanya kujawab sekedarnya. Entah berapa lama lagi aku harus terjebak pada situasi seperti ini.
“Ayo!” ucapnya. Aku melihat keluar jendela, bukan agensi tapi restaurant yang tertulis di sana.
“Ini restoran?” tanyaku.
“Iya,” jawabnya.
“Kenapa kita kesini?” tunggu, kenapa aku bertanya seperti itu.
“Buat apa lagi? Tentu saja untuk makan” dia menjawab sambil tersenyum kecil.
“Kenapa kita harus makan?” momen ini terasa aneh.
“Kita bukan mesin, manusia perlu makan,” sekarang dia malah membuat pertanyaanku terdengar lebih aneh.
“Ya tapi interview nya?” kucoba mengarahkan pembicaraan kembali kejalurnya.
“Makan siang nga akan habisin waktu setahun. Ayo!” sekali lagi dia membuat pertanyaanku terdengar bodoh. Jelas sekali aku ingin cepat – cepat pergi dari sini. Dia juga pasti berpikir begitu.
Kalau diingat – ingat memang kami belum makan siang sementara saat ini sudah lewat jam makan siang. Pantas saja perutku sudah mengirim sinyal dari tadi. Tunggu dulu, apa dia juga mendengar suara perutku? Jangan – jangan itu sebabnya dia tiba – tiba mampir ke restaurant. Hah.. kalau memang iya, artinya bertambah satu lagi poin untuk mempermalukan diriku didepannya.
“Jadi?” ucapnya tiba – tiba, “Apa?” aku hampir tak mendengarnya.
“Mau pesan apa?” apakah dari tadi aku mengabaikannya berbicara.
“Oh, ayam bakar, nasi sama orange jus. Terimakasih” ucapku pada si waitress yang entah sejak kapan ada didekat kami. Pelayan itu mengulangi pesanan kami sebelum kembali ke dapur.
“Siapa sebenarnya kamu?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments