Mama meninggalkan rumah dengan cepat, kunci mobil ditangan, list belanjaan sudah ada di tas. Aman kah Bella ditinggal dengan Aji? Tetapi Bella juga biasanya hanya di kamar saja, Aji terlihat seperti anak yang baik-baik, dia sopan walau cenderung pendiam.
Kemarin malam saat Roni pulang kerja, tiba-tiba saja membawa teman untuk menginap, katanya teman SMA nya, dulu seingat mama, Roni memang banyak teman.
Tapi sepertinya yang bernama Aji ini baru pertama kali main ke rumah. Kemarin, Aji seperti linglung dan bingung, Mama membayangkan jika Roni seperti itu, jauh dari rumah, kebingungan, sungguh kasihan sekali anak ini. Sepertinya Aji kabur dari rumah, atau malah diusir dari rumah? Mama bertanya-tanya dalam hati.
Roni berumur 27 tahun, berati Aji seumuran, seharusnya dia sudah bekerja seperti Roni, tapi kalau mama perhatikan sepertinya Aji tidak berkerja.
Roni hanya bercerita kalau Aji perlu bermalam dalam beberapa hari, untung kamar depan sudah di rapihkan. Mama masuk kedalam mobilnya dan mulai konsentrasi menyetir.
Cuaca sangat cerah, baguslah cuciannya akan kering semua, Ia baru mengganti seprai di ruang depan dan mencuci selimutnya untuk kedatangan Aji.
Mama termasuk mahir dalam menyetir, mama sudah menyetir sejak masa mudanya. Dalam waktu singkat mama sudah sampai ke pasar. Dengan cepat ia sudah membeli semua barang-barang yang ada di daftarnya tadi.
Tiba-tiba terdengar bunyi petir, dan hujan turun dengan cepat. Mama tidak bisa kembali ke mobilnya yang diparkir diluar. Dengan kesal dia masuk ke salah satu kedai kopi susu sambil menunggu hujan reda.
Dia masuk sambil menepiskan rambutnya yang terjatuh di keningnya. Plastik belanjaan penuh ditangan kanan kirinya. Kedai kopi itu cukup penuh, sepertinya banyak yang terperangkap tidak bisa pulang seperti mama. Mama memperhatikan sekelilingnya, tidak ada meja kosong. Tiba-tiba ada yang memanggil.
“Ibu Rudi, ibu Rudi kan?” panggil sekelompok ibu-ibu di pojok ruangan. Aduh itu ibu Sabine, mama mencoba menghindar, pura-pura tidak lihat. Tetapi malang, Ibu Sabine malah berdiri menghampirinya.
“Bu Rudi, waduuh sudah lama ga ketemu ya buk.” tegur nya dengan keramahan yang berlebihan. Matanya berbinar-binar karena menemukan bahan gossip baru. Di meja belakang ada ibu Toni dan Ibu Rangga. Trio gosip di komplek mereka. Mama sekarang benar-benar tertangkap tanpa persiapan.
“Hujan deras ya bu?" tanya bu sabine basa basi.
"Jaman sekarang cuaca ga bisa di tebak ya bu, tadi terik sekarang hujan badai, sini duduk bareng sama kami, capek kan tuuh berdiri bawa belanjaan segitu banyak.” lanjutnya lagi melirik ke belanjaan di tangan mama sambil mendorong halus tapi pasti, mama ke mejanya.
“Hayuk, bu duduk dulu, ngopi dulu yuk, hujannya seperti nya awet lho bu.” sapa ibu Toni tersenyum lebar.
“Duduk sini bu.” ajak bu Rangga menepuk kursi disampingnya, Ibu Sabine duduk didepannya persis. Dengan pasrah mama duduk dan meletakkan belanjaan di lantai, tangannya memang agak pegal, belanjaannya tadi cukup banyak.
“Mba, tolong ya teman saya mau pesan” Bu Sabine memanggil pelayan dengan suara yang cukup keras, membuat beberapa orang di dalam café memperhatikan dia. Menyadari banyak yang memperhatikan, Bu Sabine semakin menjadi-jadi.
“Cepat ya mba, kasihan nih sudah haus” pekiknya memandang mama dengan penuh arti.
Mama tersenyum kecut, sangat menyesal sekarang masuk ke kedai kopi ini. Di pasar ini ada banyak kedai kopi dan restoran, kenapa dia tadi harus melangkah ke kedai kopi yang ini, pikir mama sambil mendesah panjang tanpa dia sadari.
“Ada apa Bu Rudi? Capek yah, begitulah anak jaman sekarang yah, mamanya kok dibiarin sendirian, anak suka lupa yak kalo kita semakin tua ya bu.” ujar Bu Toni sok tau. Mama menoleh ke arah Bu Toni cepat sekali sampai lehernya agak sakit.
“Waduh Bu Toni bisa aja gosipnya” balasnya dengan agak ketus. Bu Toni melihat mama agak emosi malah makin semangat.
“Jangan malu lah bu, sama kita-kita ini, anak -anak kalau sudah makin besar memang suka lupa sama orang tua.“ kemarin ya saya minta tolong buat Janice untuk membukakan pintu garasi aja ga mau lho bu, malah sibuk tiktokan tu anak. " balas Bu Rangga membenarkan bu Toni, yang mengangguk - angguk dengan semangat. Mama baru saja mau membalas tapi pelayan datang.
“Maaf, mau pesan apa?” katanya sopan.
“Waduh lama sekali ya baru datang” tegur Bu Sabine ketus. Gadis malang itu kaget tiba-tiba dimarahi.
“Maaf bu, saya kemari secepat mungkin.“ jawabnya pelan membela diri.
“Eh masi ngejawab lagi. Temen saya mau pesan tau!” balas Bu Sabine tidak mau kalah. Gadis itu menunduk diam. Mata orang-orang yang duduk sekitar mereka mulai memperhatikan lagi.
“Saya mau es kopi saja nak” kata mama dengan ramah. Gadis itu tersenyum terima kasih ke mama.
“Baik akan saya siapkan segera” ucapnya kembali ke belakang.
“Tuh seperti itu deh anak jaman sekarang, sudah ga ada sopan santunnya. Berani balas omongan orang tua” dengus Bu Sabine membenarkan tindakannya, teman-temannya ikut-ikutan mengangguk.
Mama melihat arah luar, kenapa sih masih hujan, rasanya jadi ingin hujan-hujanan saja tadi, pikirnya dengan merana.
“Bu Rudi, gini lho, kita punya arisan kita-kita, sedikit ajah, tapi yang penting kumpul lho, kan enak lho sambil nabung kita bisa bisa kumpul-kumpul begini, enak kan bisa ‘me-time’ begini. Jarang lho mommies seperti kita bisa kumpul-kumpul, tapi wajib bu biar ga gila kita di rumah, ya kan ibu-ibu.“ seru Bu Sabine panjang lebar tanpa mengambil napas.
“Iya bu Rudi, ga usah gede-gede, kecil-kecilan ajah cuma jadi alasan kita kumpul ajah, lima juta bisa kan ya Bu ibu?" ajak Bu Rangga.
“Eh eh, maaf ya bu ibu, sepertinya kalau cuma lima juta saja ga seru lah ya, moso siy totalnya hanya dua puluh juta saja. Tambahin Lah, atau ajak lagi biar banyak, siapa ya? ada ide?” timpal bu Toni melempar poni dengan jarinya seraya memperlihatkan cincinnya yang berkilauan.
“Bu Toni jangan begitu dong, kan ga semuanya bisa kek Bu Toni, bulanannya gede dari si bapak. Kalo suami saya mah cuma bisa kasih pas-pasan, lima juta dah berat loh buat saya bu” protes Bu Rangga dengan wajah dikerucutkan.
“Lihat tuh, cincinnya baru lagi loh Bu Rudi” sambung Bu Rangga mengambil jari bu Toni yang kegirangan memperlihatkan cincin berkilauan itu ke mama. Mama rasanya mau teriak saya tidak peduli, lalu lari ke pintu keluar. Tapi yang dia lakukan hanya mengangguk, karena si gadis pelayan sudah datang membawa es kopinya, syukurlah.
“Lama sekali datangnya. Service café ini kurang ya” ujar bu Sabine, ketika si Gadis menaruh es kopi mama.
“Keknya lebih oke café yang diujung sana tuh, lain kali kita ke sana saja yuk.” ajak Bu Sabine berbisik ke bu Toni dengan suara keras agar gadis itu mendengar. Gadis itu pura-pura tidak dengar hanya tersenyum sedih kearah mama.
“Silahkan diminum ibu” ujarnya segera pergi. Mama mengangguk meminta maaf.
Mama segera meminum es kopinya, rasanya segar mendinginkan tubuhnya, dengan duduk sebentar disitu badannya langsung terasa panas.
“Jadi gimana nih, mau berapa kita arisannya? Kalau lima juta sudah oke, orangnya aja kita tambah, ada yang bisa diajak ga?” Ajak bu Rangga masih semangat. Mama sebenarnya tidak mau ikutan tapi bingung mencari alasan.
“Waduh arisan ya? saya sudah ikut banyak arisan.” tolaknya secara halus lalu menyeruput kopinya yang manis. Matanya melirik hujan yang masih deras.
“Wah, jangan gitu dong bu, kita kan dah lama nih ga kumpul-kumpul sejak anak-anak lulus-lulusan. Walau rumah kita berdekatan, tapi susah kalau ga ada alasan buat kumpul, pasti nanti ada aja alasan biar ga jadi ketemu.” balas bu Rangga tidak terima penolakan mama.
“Iya bu, kan cuma lima juta saja, apalah artinya buat Bu Rudi, ye kaaan.“ timpal Bu Sabine sambil menepuk pundak mama, yang lain langsung tertawa dibuat-buat. Hujan cepatlah selesai, baru sebentar duduk disini, mama merasa lelahnya sudah seharian.
“Bu Putra aja gimana, dia kan orangnya asik juga tuh!” ajak Bu Rangga tiba-tiba. Mama terkesiap mendengar nama itu. Ia segera menyeruput es kopinya pura-pura tidak dengar.
“Bu Putra kan tinggal di sebelah Ibu Rudi persis kan ya bu." Bu Sabine bertanya dengan mata berbinar-binar. mama masih sibuk dengan es kopinya, dia dengan sengaja berlambat-lambat meminumnya.
"Coba di kontek-kontek bu, kan dulu ibu dekat dengan Bu Putra?” desis Bu Sabine memandangi mama menunggu jawaban.
"Eh Iya bener, bukanya dulu calon besan tuh?" balas Bu Toni tersenyum penuh arti sambil menyikut Bu Rangga yang tertawa kecil. Mama memandangnya dengan kesal tidak siap menjawab.
“Eh, mereka kan sudah pindah.” dia menjawab singkat lalu menyeruput lagi kopinya tanpa sadar menghabiskan kopinya.
“Waduh, Bu Rudi haus sekali ya, mau pesan lagi bu? tanya Bu Toni lambat-lambat. Mama menggeleng cepat. Hujan mulai mereda seharusnya ataupun jika belum mama sudah tidak tahan lagi, dia harus segera pergi.
“Saya harus pergi, ada yang saya lupa beli nih, haduh bagaimana siy saya nih makin pelupa saja, padahal saya kemari buat beli itu eh malah itu yang kelupaan. Tolong ya, saya titip bayar.” serunya cepat sambil melempar uang lima puluh ribuan ke meja, lalu segera mengambil belanjaannya di lantai.
“Wah jangan pergi dulu bu Rudi kita belum fix nih tentang arisannya. Lima juta ibu oke kan?” panggil bu Rangga memohon. Bu Sabine tersenyum sinis.
"Mau beli apa lagi siy, itu belanjaannya dah banyak, nanti bawanya susah lho ibu, titip sini saja, nanti balik kesini, saya jagain, amaaan" ujar Bu Toni melihat ke arah belanjaan mama. Bu Sabine mengangguk-angguk semangat.
“Atau mau diturunkan bu jadi satu juta aja, biar ga berasa keluarin nya, anggap aja makan siang? Bu Sabine berkata dengan cepat tangannya menahan tangan mama.
“Aduh saya bener-bener harus pergi nih, nanti takut saya lupa lagi.” alasan mama memaksa melepaskan tangannya dari jepitan tangan Bu Sabine, tapi Bu Sabine malah mencekram tangganya lebih kuat lagi sambil terus memandang mama.
"Saya ga mo ngerepotin, saya bawa aja belanjaannya, ga apa-apa, nanti langsung taruh di mobil." gumamnya sambil menarik lagi tangannya.
“Jadi mau ya bu, satu juta saja deh, nanti saya invite WA grup nya yah. Jangan lupa ya bu. Nanti saya ajak yang lain juga deh biar banyakan.” ujarnya masih memandangi mama.
Mama dengan berat hati terpaksa mengangguk. Ia sekarang ingin kabur secepat mungkin dari situ. Bu Sabine tersenyum senang lalu melambaikan tangannya yang bercat merah tua.
“Iyah, nanti undang aja ya.” serunya cepat, berpikir untuk mengganti nomor hapenya, separuh berlari menuju pintu keluar. Mama lega sekali begitu menghirup udara luar.
Ternyata masih hujan deras dengan petir yang menggelegar, tapi mama lega, akhirnya lepas juga dari sarang ular. Ia melirik kedalam dimana ibu-ibu tadi masih duduk. Ibu- Ibu itu melambaikan tangan nya dengan penuh semangat.
“Nanti saya japri ya bu.“ jerit Bu Sabine yang terdengar jelas, padahal pintu kedai kopi itu sudah tertutup. Mama segera sengaja masuk ke dalam pasar lagi agar tidak dipikir bohong, lebih baik dia berjalan-jalan saja didalam sampai hujan reda.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 186 Episodes
Comments
Bayangan Ilusi
Haduuh.. ibu² dimana² memang kek gitu ya..😆
2021-04-12
1
Diah Fiana
like hadir lagi👍
semangat kak 😉
2021-04-06
1
Fira Ummu Arfi
lanjuuuttt kak
salam ASIYAH AKHIR ZAMAN 💃💃💃💃
2021-03-21
1