Dengan secepat mungkin aku segera menghabiskan sarapanku, malu rasanya malu sekali! Mama selalu kalau bicara begitu, apa adanya, tidak pernah sadar tempat dan waktu.
Wajahku terasa panas, aku menyentuh kedua pipinya dengan kedua tanganku, sepertinya pipinya memerah karena malu.
Aku tak berani menatap Aji bahkan aku makan tanpa dirasa-rasa lagi, yang penting cepat selesai sehingga aku bisa segera naik ke atas.
Aku juga kesal dengan Kak Roni, kalau dia memang dengar suara mama tadi, kenapa dia tidak segera keluar untuk menyelamatkanku? pikirku dengan geram.
Aku naik tangga dengan emosi, Aku sempat melirik Aji sebelum naik tadi, tapi dia diam saja tak berkutik, apakah dia masih sibuk menghabiskan sarapannya? sepertinya tidak mungkin dia tidak mendengar perkataan mama? Ah, sepertinya tak mungkin, dengan suara menggelegar seperti itu, aku tak heran kalau Pak Joko tetangga sebelah ikut menurunkan baju kotornya kebawah.
Aku mendengus kearah sendal merah muda ku. Mungkin Aji hanya pura-pura tidak dengar, baik juga dia! Aku tidak tau harus bagaimana jika dia memberikan respon yang lain.
Sebenarnya Aji itu siapa ya? Wajahnya tidak familiar, sepertinya dia teman kak Roni, tapi aneh, tiba-tiba muncul begitu, sampai menginap di rumah juga.
Aku kemarin tertidur lebih cepat sehingga melewati makan malam, aku pasti tertidur sangat pulas sampai teriakan mama pun tidak bisa membangunkan ku. Kak Roni pasti datang bareng Aji kemarin. Dia tidak pernah cerita punya teman bernama Aji. Aku berpikir sambil memiringkan kepalaku. Kupikir aku mengenal semua teman kakakku.
Secara sekilas aku bisa menilai Aji kalau Aji seorang misterius dan pendiam. Aku sungguh tidak merasa nyaman dengan orang yang selalu diam. Aku selalu penasaran dengan apa yang mereka pikirkan. Aku menjadi merasa harus berbicara terus sepanjang waktu untuk menghilangkan kecanggungan itu.
Aji sekilas tadi seperti sibuk dengan pikirannya sendiri. Untuk melihat wajahnya saja aku kesulitan karena dia lebih sering menunduk dan sebagian wajahnya selalu tertutup oleh poninya yang tebal, kecuali sekejap saat kenalan tadi.
Poninya panjang bergelombang, terbelah di samping kanan wajahnya yang tirus jatuh sebagian menutupi matanya, Rambutnya hitam legam dan tebal. Badannya kurus, terlalu kurus malahan agak melengkung saat berdiri, mungkin kebiasaan karena tubuhnya yang kelewat jangkung.
Kulitnya juga pucat tidak sehat, tapi semua itu tidak bisa menutupi bahwa Aji itu tampan, tulang hidungnya tinggi, matanya besar dengan alis tebal. Rahangnya kokoh, walau agak cekung pipinya. Bibirnya penuh, tadi sekilas saat ia tersenyum kaku, ada lesung pipit di pipinya. Badannya yang kurus malah lebih tinggi dari kakaknya. Secara keseluruhan aku mengakui kalau dia tampan.
Aku tak menyadari kalau sudah menginjak anak tangga yang terakhir, karena terus memikirkan Aji. Aku segera masuk ke dalam kamarku. Pintu kamarku masih terbuka lebar karena tadi aku turun terburu-buru. Aku langsung menutup pintu. Jendela kamarku terbuka lebar sehingga sinar matahari masuk dengan bebas, memberi kehangatan di kamarku yang berantakan. Mama selalu membuka jendela kamarnya besar-besar dan mengikat tirainya dengan ikatannya yang senada.
Aku melangkah kearah jendela kamarku. Aku memandang keluar, menikmati hangatnya sinar mentari mengenai wajahnya. Komplek perumahannya selalu sepi karena merupakan komplek perumahan tua. Disini jarang ada anak-anak, lebih banyak anjing dan kucing disini.
Dia menghirup aroma rumput yang baru dipotong, pasti Pak Joko tetangganya sedang memotong rumputnya. Dia menarik napas panjang, sambil tersenyum. Ah dia suka wangi rumput yang baru dipotong.
Tanpa aku mau, mataku melirik ke sisi sebelah yang lain. Hatiku bergetar, rumah itu masih sama, tidak ada perubahan sejak ditinggal lima tahun yang lalu.
Jendela-jendelanya masih tertutup rapat, gelap, tidak terlihat dalamnya. Cat temboknya sudah mengelupas di sana-sini dan banyak tertutup lumut. Walau matahari bersinar terik tapi rumah itu masih berkesan gelap dan dingin. Pepohonan dan rumput mulai mengambil alih rumah itu.
Seingatku ada pohon mangga besar di tengah halaman depan. Aku mencoba mencari pohon mangga itu dengan mataku, tetapi pohon itu tak lagi terlihat, sudah tertutup dengan pepohonan yang lain.
Lalu datanglah sekelebat bayangan aku semasa kecil berlari dihalaman rumah itu kejar-kejaran sambil tertawa riang, rambutku yang panjang tergerai dengan bando pita kebanggaanku Kenangan yang aku tidak mau ingat lagi, tapi terus terulang di mataku. Aku langsung membuang bayangan itu daripadaku.
Aku membalikan badan dan kembali menatap kamarku yang berantakan. Aku menghela napas panjang, andai aku bisa sihir, dengan hanya menjentikkan jari semua barang kembali ke raknya masing-masing.
Aku menghempaskan diriku ke kasurku yang nyaman, aku menutup wajahku dengan bantal. Tempat tidurku sudah tua terbuat dari kayu cemara. Sepraiku sudah empat minggu belum ganti. Hampir tiap pagi, mamaku terus mengingatkanku untuk mengganti seprai dari dua minggu lalu. Tapi rasanya masih nyaman, aku menggosok-gosokkan kakinya ke sepraiku yang halus.
Aku diam sejenak menutup mataku dalam keheningan dibawah bantal, mencoba melupakan bayangan tadi, tetapi bayangan itu malah semakin menari-nari dalam pikiranku.
Aku kesal dengan diriku sendiri, karena mengingat hal-hal yang tidak penting. Aku berguling untuk mencari handphone-nya, Aku mencari-cari disekitar tempat tidurku, seharusnya ada disini. Aku merogoh-rogoh sekitar bantalku, tidak ada. Aku melongok kebawah tempat tidurnya, tetap tidak ada. Memang kamar ini seperti berteriak kepadanya, 'Rapihkan aku!'
Aku duduk bersandar diujung tempat tidurku, Aku hampir menyerah pada saat mataku melihatnya menyembul disela-sela kasur dan kayu tempat tidur. Aku melihat ujung keemasan casing handphone-nya, Aku merogoh untuk mengambil handphone-ku pelan-pelan tetapi sepertinya ada yang ikut tertarik oleh jemarinya.
Sehelai foto terjatuh ditelapak tanganku. Aku terkesiap melihat foto itu. Aku segera menepiskan foto itu dengan kaget, foto itu terbang jatuh ke lantai samping tempat tidurku dengan pelan.
Foto yang sudah lima tahun tidak pernah aku lihat lagi, aku menatap foto itu dari jauh, seakan tidak percaya. Itu foto diriku semasa kecil, aku tersenyum lebar bangga dengan bando pita kebanggaanku waktu itu. Aku merangkul dia, sahabatku yang juga tersenyum bangga kearah kamera. Kami berdua memegang piala berwarna emas kecil hasil perlombaan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 186 Episodes
Comments
Jujuk
aku kasih 10 bom like
2021-05-02
1
Diah Fiana
like mampir lagi 👍👍
semangat kak 😉
2021-04-04
1
Bayangan Ilusi
Visualnya Aji emejing Thorr..
Menggapai Asa hadir lagii🥰
2021-04-03
1