"Kamu lagi dimana, Nic?"
"Udah di rumah sakit, mam."
"Cepat ke ruang papimu. Jangan mampir mampir ke tempat lain."
"Memangnya mau mampir kemana, mam? Yang sakit, kan, cuma papi."
"Ya, sudah jangan bawel. Cepat ke sini. Langung lewat lorong utama aja."
"Iya, mam."
Tanpa kata penutup, maminya langsung memutuskan sambungan telponnya.
Nicholas menyimpan ponselnya dengan perasaan aneh.
Mami kenapa, sih. Memangnya aku mau mampir kemana? Ke kamar jenazah.
Setelah membatin begitu Nicholas jadi merinding ngeri. Sekarang hampir tengah malam.
Untung saja lorong yang dia lewati terang benderang dan masih ada beberapa perawat maupun keluarga pasien yang berlalu lalang.
Rumah sakit ini memang didesain seperti hotel, hingga jauh dari kesan angker. Tapi tetap aja ada sisi lain yang membuat dia melangkahkan kakinya panjang panjang.
Nicholas terus melangkah. Setelah belok ke kiri, dia akan tiba di ruang rawat inap kakeknya.
Tapi matanya terpaku saat melihat sosok yang ingin dia hindari tapi juga sangat ingin dia temui.
Aneh, kan.
Dia memang sudah gila.
Mikayla masih belum menyadari kehadirannya. Mantannya itu masih sibuk dengan ponselnya.
Dia sedang baca pesan dari siapa?
Pacarnya? Nicholas membatin sinis.
Mereka semakin dekat. Dekat. Dan tambah dekat.
Nicholas bingung bagaimana membuat mantannya menyadari kehadirannya.
Akhirnya ketika dua langkah lagi mereka bersisian, Nicholas mengeluarkan suaranya.
"Siapa yang sakit?".
Efeknya memang luar biasa.
Mikayla mengangkat wajahnya.
Plastik obat yang dipegangnya terlepas dari genggamannya. Tapi Nicholas dengan cepat meraihnya agar ngga sampai jatuh ke lantai.
Mikayla tertegun.
Nicho!
Harusnya dia ngga perlu seterkejut ini. Bukannya tadi dia sudah bertemu maminya?
Mika menyalahkan reaksi berlebihannya.
"Ini."
"Thank's," ucapnya sambil menyambut plastik obat yang diberikan Nicholas
Langkah keduanya sudah sama sama terhenti di jarak yang cukup dekat.
Nicholas pun ngga bisa mengalihkan sorot matanya dari Mika. Pertemuan ini tak terduga, walau bagaimana pun dia sudah lebih siap, karena sudah melihat Mika lebih dulu tadi.
Mereka sama sama mematung.
Ada kenangan yang lewat begitu saja.
Tapi Mikayla merusaknya. Dia ngga ingin mengingatnya lagi
Tanpa kata dia melangkah melewati Nicho.
"Susah, ya, bagimu untuk kasih tau siapa yang sakit." Nicho jadi merasa kesal karena Mika sama sekali ngga menganggapnya.
Aku sekarang bosmu. Mau dipecat? Batinnya menyadarkan akan kekuasaannya atas mantannya.
"Bukan urusanmu."
"Jangan lupa aku bosmu."
Mika menghentikan langkahnya, berbalik menghadap tubuh kekar yang menjulang di depannya, yang masih bekum juga bergerak.
"Sekarang sudah lewat jam kantor." Setelah mengatakan itu Mikayla langsung berbalik dan melangkah pergi.
Nicholas mengeratkan kepalan tangannya.
Selalu begitu. Gadis itu selalu punya alasan yang sulit dia bantah.
Nicholas hanya bisa menatap kepergian mantannya sampai jauh dan jauh.
Jantungnya masih berdebar kencang.
Kemapa Mika masih bisa mempengaruhinya?
Nicholas menghembuskan nafas perlahan. Saat itu dia baru menyadari ada beberapa pasang mata yang terarah padanya.
Si alan. Lagi lagi dia tampak seperti laki laki yang habis dicampakkan oleh wanitanya.
Dengan wajah masam, Nicholas berbalik dan berjalan cepat menuju kamar papinya.
Dalam hati terus merutuk.
Besok kamu ngga akan aman, Mika, janjinya dalam hati.
Saat maminya membuka pintu kamar papinya, matanya menyorot tajam saat melihat wajah keruh putra semata wayangnya
Suami dan mertuanya sudah tidur.
"Kamu kenapa?"
"Ngga apa apa, mi." Nicholas berjalan cepat ke arah sofa panjang. Bermaksud tiduran di sana. Efek ketemu Mika dalam jarak sedekat tadi sangat mengganggu kesehatan organ vitalnya.
"Sudah mami bilang jangan mampir mampir." Suara maminya terdengar kesal.
"Memangnya aku mau mampir kemana, mam?" tanya Nicholas sambil memejamkan mata. Suaranya tetap sabar.
"Mana mami tau," dengus maminya tambah kesal.
Nicholas ngga menjawab lagi pertanyaaan aneh maminya.
Pasti sudah ketemu, Mika, batin maminya kesal.
Sementara itu Mikayla terus melangkah cepat, menghindari Nicho dan tatapan ingin tau orang orang yang sudah melihat kejadian tadi.
Degup jantungnya lebih cepat, begitu juga aliran darahnya, terasa lebih deras mengalir.
Begini rasanya ketemu mantan setelah delapan tahun ngga bertemu?
Harusnya biasa saja.
Laki laki kurang ajar itu pun sebentar lagi akan menikah.
Mikayla menghembuskan nafasnya dengan kasar.
Dimana mana memang perempuan yang selalu rugi, karena ada bekas yang tertinggal.
Sedangkan laki laki, dia akan sebebas bebasnya mencari mangsa yang lain.
Perasaan sedih mengungkungi hati dan pikirannya sekarang.
Dia langsung masuk saja begitu pintu rawat inap adiknya terbuka.
Matanya menatap aneh pada seorang laki laki muda, yang mungkin lebih tua beberapa tahun saja dari dirinya sedang mengobrol bersama mamanya.
"Itu putri pertama saya, Mika," ucap mama mengenalkan ketika Mikayla mendekat.
Mikayla membalas senyum laki laki itu dengan sopan. Dia mendekati mamanya dan Samira.
""Saya Ringgo. Maaf, saya ngga sengaja sudah menabrak adik kamu."
"Oh...." Mikayla melirik adiknya Okta yang sibuk dengan ponselnya.
"Saya yang memesan kamar ini agar adik kamu merasa nyaman."
Mikayla mengangguk dan tersenyum lagi.
Ooh, bukan adiknya, atau Mina, atau teman temannya rupanya, batin Mikayla.
"Kata tante, kamu ambil obat, ya?"
"Iya."
"Kamu sudah bayar biaya hari ini? Saya dapat pesan dari bagian keuangan. Maaf, ya, saya akan menggantinya."
Mikayla diam, haruskah dia basa basi menolaknya?
Tapi biaya yang dikeluarkan terlalu besar, batinnya menyanggah kebaikan hatinya.
Laki laki muda itu mengeluarkan ponselnya.
"Nomer rekening kamu berapa?"
Mika agak sungkan menyebutkannya. Tapi ada suara lain yang memjawab
"4345xxxxxx." Samira yang hapal di luar kepala yang mengatakannya.
Samira tau kalo kakaknya pasti sok sokan ngga mau menerima pengembalian uangnya.
"Banknya b**, ya," tebak laki laki itu dengan senyun di wajahnya.
"Iya." Lagi lagi Samira yang menjawabnya.
"Oke. Sudah saya transfer, ya."
"Terimakasih," ucao Mikayla. Dia ngga mermeriksa ponselnya. Selain percaya, dia juga merasa ngga enak melakukannya di depan laki laki itu.
"Di cek, Kak," bisik Samira.
"Nanti aja," sahut Mikayla balas berbisik.
Sementara Okta hanya diam saja.
"Untuk biaya selanjutnya sudah dicover, ya, sampai adik kalian sembuh."
"Paling dua hari lagi sudah bisa pulang, pak," ucap Samira.
"Belum sembuhlah. Pak, jangan dengarkan, dia," bantah Okta ngga terima.
"Dirawat di rumah aja, nanti datang lagi ke sini waktu nyabut pennya," tukas Samira sambil melototkan matanya.
Kasian orang yang bayarin be go, batinnya kesal.
"Nggak. Aku maunya sampai sembuh," ngotot Okta.
"Kasian masnya, Okta. Nanti biayanya tambah gede," nasihat mamanya agar anak bungsunya menurut.
"Tapi, mami, kalo dua hari aku yakin belum bisa ngapa ngapa in. Tiga hari, ya, mami," tawar Okta.
Hampir saja Samira mengetok jidat adiknya.
Laki laki muda itu tersenyum.
"Ngga apa apa, tante. Sampai Okta sembuh saja. Jangan pikirkan biayanya."
"Tuh, bapaknya aja ngga apa apa," ejek Okta pada Samira yang membalas dengan delikan matanya.
"Panggil saya Bang Ringgo saja, jangan bapak, ya," tawanya pelan.
Aku tampak tua, ya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Tri Handayani
kayanya mas ringgo bakal jdi saingan nicolas nich,,pepet aja mika'nya biar nico'nya hareudang
2025-04-11
3
Sunaryati
Mika jangan takut memulai hubungan dengan pria asal jujur tentang dirimu. Nicho kamu punya saingan yg lebih darimu, sepertinya
2025-04-12
1
Susma Wati
Bener kan maminya nicho gak ngasih restu, ada bang ringgo bisa mengobati luka hati mika
2025-04-12
1