"Malam banget pulangnya?" mama menatap khawatir pada wajah lelah putri sulungnya.
Perasaan bersalah selalu memenuhi rongga dadanya saat melihat putrinya yang harus bekerja keras.
"Banyak banget, mam, kerjaannya," sahut Mikayla setelah menyalim tangannya.
"Mama belum tidur? Mika bawa kunci, kan."
Mamanya tersenyum.
"Mandi dulu baru tidur."
"Iya, mam."
Capek banget, keluh Mikayla setelah memanjakan tubuhnya dengan air hangat. Sekarang dia sudah terkapar di atas spring bednya.
TOK TOK TOK
Mikayla yang ngga pernah mengunci pintu kamarnya hanya melirik ketika pintunya sudah dibuka
"Baru pulang, kak? Malam banget ?" Samira seperti biasa masuk ke kamarnya dan sekarang berbaring di sampingnya.
"Tadi Om Arman datang sama istri dan anaknya. Dia mau minta mama bantu biayai kuliah perawat anaknya."
"Haaah....." Kantuk Mikayla langsung hilang.
"Tapi mama tolak. Memangnya kita donatur," cerita Samira masih emosi.
"Kamu tau dari mana?"
"Tadi siang aku pas pulang bentar. Kaget aku melihat mereka bawa koper pengen tinggal di sini. Kita aja masih ngontrak," gerutu Samira lagi.
"Padahal ada rumah Om Alwi yang lebih besar. Kenapa harus ke rumah kita," lanjutnya lagi, masih dengan kekesalan yang nyata.
"Maksud kamu anak Om Arman, Mawar yang baru lulus SMA bareng Okta?"
"Iya, siapa lagi."
"Mereka, kok, bisa pergi?" Seingatnya adik papanya agak ngeyelan.
"Diusir mama secara halus. Di rumah, kan, masih ada Okta. Bukan muhrim. Untung Om Arman ngga maksa. Aku udah geregetan banget," masih emosi Samira melanjutkan ceritanya
Mikayla menghembuskan nafasnya. Om Arman adik papanya.
"Tadi mama ngga cerita." Mikayla teringat wajah mamanya yang menyambut kedatangannya yang biasa saja. Seolah ngga ada pencari dana yang datang.
"Mama ngga mau kakak kepikiranlah dengan kejadian ngga penting ini."
"Trus kenapa kamu cerita,," kekeh Mikayla sambil menoyor kening adiknya yang membalasnya dengan tawa.
"Aku kadung kesal, kak."
"Dasar."
*
*
*
"Nichooo.......," seruan maminya saat melihat kedatangan putra tunggalnya. Dia langsung memeluk, kemudian memukul keras punggung putranya dengan gemas.
"Kalo ngga gini kamu ngga mau pulang, ya," omel maminya sambil terus memukul punggung putranya lebih keras.
"Mami.... sakit, kan....." Nicholas tertawa mendapat sambutan khas maminya.
Maminya pun melepaskan pelukannya. Ganti neneknya yang memeluk cucunya.
Papinya sudah dipindahkan dari ruang ICU ke ruang rawat inap super vip.
"Besok ngga usah masuk kerja dulu. Kamu masih jetlag, kan?" ucap opanya saat Nicholas ganti memeluknya.
"Ngga apa, opa. Aku sudah tidur lama banget di pesawat."
Kemudian Nicholas menghampiri papinya yang berusaha tersenyum.
Efek stroke papinya membuatnya sulit menggerakkan mulutnya, juga tubuh sebelah kirinya.
"Papi pasti bisa melewatinya," ucaonya sambil memegang jari jari tangan papinya yang kaku.
Papinya menganggukkan kepalanya perlahan. Dalam hati dia merasa bersyukur. Musibah yang dia alami membawa hikmah. Putranya akhirnya mau pulang dan mengurus perusahaan.
Setelah lulus kuliah, putranya mencoba berbisnis di Paris. Ternyata dia cukup berhasil dan bisa mendirikan perusahaan bersama temannya. Setelah itu tambah sulit disuruh pulang.
Beliau bersama istri dan orang tuanya yang lebih sering menjenguknya.
"Sudah saatnya kamu ngurus perusahaan keluarga. Perusahaan di sana serahkan pada Ben, kamu tinggal nunggu kiriman keuntungan saja," omel maminya.
Padahal perusahaan putranya ngga ada dua puluh persen gedenya dari perusahaan keluarganya yang sudah menggurita.
"Jangan sok idealis, Nic. Kalo papimu ngga sampai begini, kamu pasti menolak, kan? Kamu i----."
"Sudah, Nastiti. Sudaah..... Yang penting anakmu sudah mau pulang," potong oma kemudian tersenyum lebar.
"Iya.... Mungkin ini sudah jalannya," sambung opa dalam kekehannya.
"Yang bikin oma kesal, kenapa calon istrimu ngga ikut pulang, malah mentingin pagelaran." Ganti omanya yang mengomel.
Dia kurang setuju pada pilihan besannya. Orang tua Nastiti, mantunya. Tapi karena Nicholas ngga menolak, beliau tidak bisa berbuat apa apa.
"Tadi Liza sudah telpon, ma, katanya minggu depan baru bisa datang. Ya kasian, ma. Kan, susah untuk menjadi terkenal di sana," bela Nastiti-mami Nicholas.
"Intinya aku ngga mau setelah nikah, mereka tinggal di luar negeri. Berkarir di sini juga bagus, anak itu juga sudah punya nama," ketus oma lagi. Oma Suci Pujiharti-orang tua suaminya.
"Nanti saja, ma, dipikirkan. Mereka juga belum menikah," Opa Rangga-suaminya Oma Suci menenangkan istrinya.
"Iya, ma. Anak mama masih sakit, kan. Tunggu sembuh dulu mas Rudinya, ma," ucap Nastiti lembut.
"Iya, sayang. Rudi harus sembuh dulu," ujar Opa Rangga sambil mengedipkan sebelah matanya pada Nicholas.
"Iya iya."
Nicholas merasa lega karena pernikahannya akan diundur ntah sampai kapan.
Rudi-papanya juga berusaha mengukirkan senyum tipisnya.
*
*
*
"Katanya hari ini anak pak bos datang," tukas Alea setelah menjemput ketiga temannya. Mereka baru saja memasuki area parkiran.
"Katanya, sih. Tapi apa dia ngga capek. Terbang dari Paris ke sini, kan, lama banget," bantah Nala ngga yakin.
"Ngga tau juga, sih," balas Alea menyahut lagi.
"Kalo jadi anak pak bos, harusnya bebas, kan, mau kerja kapan," sambung Rumi.
"Beda dengan kita yang hanya jadi kuli," kekeh Rumi melanjutkan.
Mereka dikejutkan oleh deruman motor balap yang melewati depan mobil mereka.
Keempatnya menoleh saling tatap.
"Itu tadi siapa?" tanya Rumi
"Staf, 'kali," sahut Mikayla ngga mau mikir. Dia mulai membuka pintu mobilnya.
"Tapi motornya terlalu keren, Mika," sangkal Alea berusaha menatap lebih tajam pada motor yang berhenti ngga jauh di depan mereka.
"Kelihatan keren, ya, padahal baru dilihat dari belakang," puji Rumi kagum. Tatapnya masih tertuju oada sosok laki laki yang baru turun dari motor balapnya.
Laki laki itu yang memunggungi mereka kini melepas helmnya, kemudian mengibaskan rambut hitamnya yang agak panjang sebahu.
"Seperti iklan shampo aja," kikik Nala pelan.
Rumi yang masih terpesona juga tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
"Siapa tau dia anak pak bos," cuit Rumi.
"Mungkin aja, sih." Laki laki yang mengenakan jaket kulitnya itu bergerak ke arah lift para petinggi.
"Jadi pengen lihat wajahnya," tukas Alea jadi penasaran.
Mikayla jadi ikutan menatap punggung laki laki itu.
"Ntar, setelah masuk ke dalam lift, kita akan bisa melihat wajahnya," ucap Nala juga penasaran.
Dan benar saja. Laki laki itu berbalik setelah berada di dalam lift.
"Gilaaak..... Tampan banget," seru Rumi tertahan. Jantungnya seakan berhenti berdetak
Walau laki laki itu masih menunduk dan mereka hanya melihat wajah laki laki itu sebagian saja, itupun agak tertutup rambut gondrongnya, sinar ketampanan laki laki itu terlihat nyata.
Done! Sangat tampan!
Apalagi kalo melihat wajahnya secara utuh.
"Wow...... kalo bosnya setampan ini, aku rela lembur sampai malam tiap hari. Iklas." Alea ngga berkedip menatap laki laki itu sampai pintu lift tertutup. Begitu juga Nala dan Rumi. Dan Mikayla.
"Sadar, Lea. Kamu udah punya calon suami," kekeh Nala mengingatkan.
"Kamu juga, Nala. Kamu juga, kan, udah punya pacar nakes," lanjut Rumi mengingatkan.
"Iya, ya," sahut Nala masih dengan tawa kekehannya.
"Loh, ngga apa, kan. Buat vitamin nambah semangat kerja," kekeh Alea cuek.
Rumi mencibirkan bibirnya.
"Yang masih boleh, tuh, cuma aku sama Mika... Weeekkk....." Rumi mengakhiri ucapannya dengan menjulurkan lidahnya mengejek Alea dan Nala.
"Segitunya," kecam Nala bercanda.
"Mika, kok, diam aja. Komen, dong," senggol Rumi.
"Jangan bilang kamu juga suka kayak Rumi," ejek Nala.
Tapi Mikayla hanya menampilkan wajah lempengnya.
"Nggak. Aku nggak akan suka sama laki laki begitu."
"HAAAHHH....! Serius....?!" Ketiganya bengong menatap MIkayla.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Tri Handayani
Next thorrr,,,d tunggu double up'nya
semangat up thorrr
2025-04-07
1
Kim nara
Aigo mika ketemu mantan
2025-04-07
1
allabout_AZ♥️
okeeeeeee
omegaaatttt,,, lanjut thooorrr
2025-04-07
1