Di rumah yang menjadi saksi setiap tetes airmata Nesa, Lasmi tampak gelisah. Berkali-kali ia mencoba menghubungi ponsel Anarya, namun selalu diabaikan. Pesan yang ia kirim pun tak kunjung dibaca.
Kembali Lasmi melangkah keluar menuju pagar. Entah sudah kali keberapa ia mencoba melongok keluar, berharap mobil Anarya yang muncul.
Kekhawatiran tersirat jelas dalam bias wajahnya. Segala rencana yang ia rancang berakhir dengan sebuah hal yang justru malah mengancam keberadaannya sebagai istri Anarya. Sungguh di luar perkiraan.
Lasmi tak pernah menyangka, Anarya yang selama ini tak pernah protes dengan semua yang ia lakukan, ternyata tak mampu ia miliki sepenuhnya. Bahkan Anarya yang begitu penurut dengan setiap perkataan Bu Bram, kini tak peduli lagi dengan ultimatum yang keluar dari mulut wanita yang telah melahirkannya.
Lasmi kembali masuk ke rumah. Ia terduduk di sofa ruang tamu. Betisnya terasa pegal akibat berulangkali keluar masuk rumah, tangan kanannya beberapa kali memijit betis. Kepala ia sandarkan ke sofa karena terasa begitu berat.
Beberapa menit berlalu, ia akhirnya berbaring di sofa panjang untuk menghilangkan lelah. Jemarinya memijat pelipis untuk meredakan rasa pusing yang menyerang.
Sudah dua malam semenjak kepergian Anarya, Lasmi tak bisa tidur nyenyak. Ketenangannya terenggut oleh rasa takut akan kehilangan Anarya, pria yang teramat ia cintai. Mimpi buruk terus saja bermunculan setiap ia memejamkan netra.
Brak!
Lasmi sontak terbangun dari posisi rebahan. Dilihatnya Anarya yang datang dengan membanting pintu dengan penuh emosi. Langkah Anarya tergesa, ia segera menuju kamar dan sengaja mengabaikan Lasmi.
"Mas, kamu darimana saja?"
"Mas," panggil Lasmi seraya berdiri dan menyusul Anarya.
"Mas, bukan aku yang salah. Jadi, tolong jangan bersikap seperti ini ke aku."
Anarya yang sedari tadi sibuk melepas sepatu dan kaos kaki, kini menoleh dan menatap tajam pada Lasmi. Sorot penuh kemarahan dan sakit hati.
"Mas, cobalah mengerti. Daneela yang mengambil Nesa. Aku sudah berusaha memintanya, tapi Nesa justru memilih wanita itu."
Anarya berdiri, membalik badan dan menghampiri Lasmi. Giginya gemerutuk, tangannya mengepal keras menahan emosi.
"Masih saja kamu berbohong!" Tamparan keras hampir saja ia layangkan ke wajah Lasmi, namun ia tahan.
"Apa? Mas mau tampar aku? Mas tidak percaya? Tanya Mama kamu, Mas!"
"Sudahlah, Lasmi. Aku lelah, kita bicara nanti setelah aku istirahat." Anarya berbalik dan merebahkan tubuh ke atas ranjang.
"Aku buatkan teh hangat, ya?" tawar Lasmi.
"Tinggalkan aku."
"Atau aku buatkan nasi goreng?"
"Tinggalkan aku." Nada suara Anarya mulai meninggi.
"Mas,-"
"Cukup! Keluar kamu dari sini!" Emosi Anarya semakin membuncah, ia bangkit dan mendorong tubuh Lasmi agar keluar dari kamar.
Lasmi tertegun. Namun ia tak mampu berkata-kata lagi. Tubuhnya yang di dorong oleh Anarya hampir saja terjungkal. Dengan terpaksa ia keluar mengikuti perkataan Anarya.
Setelah memaksa keluar Lasmi, Anarya mengunci diri di kamar hingga malam hari. Kegelisahan menaungi pikiran. Entah apa yang ingin ia lakukan, ia merasa dalam sebuah persimpangan. Jika ia harus meninggalkan Lasmi, ada Resti yang membutuhkan kasih sayang darinya sebagai ayah.
"Baiklah, aku harus memutuskan. Semua demi Nesa. Tapi Resti ...."
Kembali Anarya menimbang. Ia tak ingin langkah yang ia ambil melukai putri kecilnya, karena bagaimana pun Resti adalah darah daging hasil pernikahan dia dengan Lasmi. Pernikahan yang dipaksakan, dan ia hanya sekedar kompromi dengan takdir.
"Mas ... makanlah dulu. Aku nggak mau kamu sakit," rayu Lasmi dari balik pintu.
Anarya bergeming. Rasa muak kepada wanita licik itu benar-benar membuat Anarya antipati.
"Mas, maafin Lasmi, ya? Lasmi sudah berusaha menjaga Nesa, tapi maaf jika gagal."
Darah Anarya makin mendidih. Kenapa wanita culas itu belum juga menyadari kesalahannya? Masih saja Lasmi berbohong dan berusaha membalikkan fakta. Tangan Anarya kembali mengepal.
"Mas ... Sayang ... keluar, donk. Kita bisa bicarakan baik-baik.'
"Jangan seperti anak kecil begini, donk, Mas. Ngambek sampai nggak mau makan."
"Sa-yang,-" ucapan Lasmi terhenti ketika pintu terbuka.
Sorot kebencian Anarya makin terlihat, ada kilatan api amarah dalam netranya.
"Cukup sandiwaramu, Lasmi! Aku sudah tahu semuanya." Telunjuk Anarya sedikit bergetar tatkala menunjuk ke wajah Lasmi, begitu besar emosi yang ia tahan.
"Apa perlu kutelpon Mama agar kamu tak mengelak lagi?"
"Apa maksudmu, Mas?"
"Cukup aku bilang!" Anarya kini tak bisa menguasai amarah yang meledak-ledak, ia cengkeram bahu Lasmi kuat-kuat.
"Kamu sengaja mengirim Nesa ke sana, kamu sengaja menyingkirkan anakku karena kamu membencinya! Kenapa kamu jahat? Kenapa?" Teriak Anarya tak terkendali, ia hempaskan tubuh Lasmi hingga jatuh ke lantai.
Ia kembali dekati Lasmi dan menjambak rambut panjang berwarna ombre maroon coklat itu. Ingin sekali rasanya ia menghajar wanita licik nan culas yang terus saja bersandiwara tanpa mau menyadari kesalahannya, namun sebuah suara membuatnya mengurungkan niat.
"Ayah," panggil resti dari ambang pintu.
Anarya berhenti, melepaskan cengkraman pada rambut Lasmi. Ia tak ingin Resti menyaksikan kekerasan yang ia lakukan. Bagaimana pun ia masih kecil untuk melihat hal buruk yang terjadi pada orang tuanya.
"Ayah, jangan pukul Ibu. Ada adik kecil di perutnya, Yah." tutur Resti dengan polos.
"A-apa? Ka-kamu hamil?" tanya Anarya tak yakin, Lasmi hanya mengangguk lemah.
"Argh!" teriak Anarya seraya berdiri dan menendang kursi yang ada di dekatnya.
Tanpa suara Anarya melangkah keluar rumah, pergi meninggalkan Lasmi yang masih bersandar di dinding. Resti berusaha mengejar Anarya hingga ke pintu depan.
"Ayah! Ayah mau ke mana? Kasihan Ibu, Yah." rengek Resti seraya menarik tangan kiri Anarya.
Anarya menghentikan langkah, kemudian mengangsurkan badan ke arah Resti. Ia elus puncak kepala putri keduanya dengan lembut.
"Resti, tolong jaga Ibu, ya? Ayah mau jemput Kak Nesa."
"Tapi Ayah harus janji nanti pulang dengan Kak Nesa, Ayah nggak boleh lama-lama, harus cepet pulang."
"Iya, Sayang. Ya sudah, sekarang Ayah berangkat dulu, ya. Resti jagain Ibu."
"Iya, Yah." Resti menganggukkan kepala dengan lemah.
"Baiklah, Ayah pergi dulu." Anarya mengecup dahi Resti, ada rasa sakit yang menghunjam dada. Apakah Resti, balita yang belum tahu apa-apa ini harus merasakan sakit akibat dari ulah Lasmi? Ah, sungguh Anarya dalam dilema.
Resti memandang kepergian ayahnya. Pandangan gadis kecil itu menyiratkan kesedihan, seolah ia tak rela jika sang ayah pergi lagi. Ia tak mengerti kenapa Ayah yang selama ini sangat penyayang dan hampir tidak pernah marah kini berubah kasar dan pemarah.
Resti kembali masuk ke rumah dan tak menemukan Lasmi di tempat semula. Ia segera ke kamar, tampak ibunya sedang menyandarkan kepala ke sandaran ranjang.
"Bu, kenapa Ayah marah?" tanya Resti itu seraya mendekat ke ibunya.
"Ke sini, Sayang. Temani ibu, ya?" Lasmi menepuk kasur mengisyaratkan agar Resti duduk di sebelahnya.
Resti mendekat kemudian menyandarkan kepala ke dada Lasmi. Ia mendongak menatap wajah Lasmi, tangan kecilnya mengusap bulir bening yang bergulir di pipi putih Lasmi.
"Kenapa Ayah marah, Bu?"
Lasmi tak mampu menjawab, ia rengkuh tubuh putri kecilnya dalam dekapan. Sangat erat.
"Ibu janji, Nak, tak akan membiarkan kamu kehilangan Ayahmu," bisik Lasmi dalam hati.
Hati Lasmi kini hancur, menyisakan rasa sakit yang teramat sangat. Namun ia bertekad tak akan pernah membiarkan Anarya pergi darinya, demi Resti dan juga ambisi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Mikaila Dira Khodijahatika
sex gak butuh cnta
2021-11-20
0
Tirai Berduri
hamil lagi...narya gak ada cinta tpi nyosor juga😡😡
2020-12-11
1
Eti Guslidar
anarya nggak Cinta tp bikin. lasmi hml....
2020-07-28
3