Chapter 5 Penyesalan Anarya

Pagi yang cerah, mentari tak berselimut awan sedikitpun. Sinar hangat memancar menyentuh alam semesta. Kicauan burung menambah syahdunya suasana pagi itu tatkala sesosok pria jangkung sedang berjongkok di depan pusara.

Lama ia terpegun di hadapan batu nisan bertuliskan sebuah nama 'Daneesa Khaerani'. Bulir bening mengalir dari sudut matanya yang terpejam seakan menahan rasa sakit serta kehilangan yang mendalam.

Berkali-kali ia memeluk dan mencium batu nisan itu seraya memanggil nama yang tertera. Kian nampak rasa bersalah di netranya, ucapan penyesalan terus saja mengalir dari mulut yang tak berhenti meminta maaf.

"Neesa, maafkan abang, ya. Abang memang tak berguna. Abang tak bisa menjaga kamu dengan baik." Kembali ia tersedu sedan, ia pukul-pukul kepalanya, menjambak rambutnya.

"Abang menyesal, Neesa. Sangat, sangat, sangat menyesal. Tak seharusnya abang pergi saat itu. Tak seharusnya abang biarkan kamu melewati semuanya sendirian." Narya mengusap kasar airmata, tatapannya beralih ke langit.

"Lihatlah, Neesa. Tuhan telah menghukumku sekarang. Tuhan tak mengijinkanku untuk bertemu dan bersimpuh di kakimu. Tuhan tak mengijinkanku lagi untuk memelukmu. Lihatlah, Neesa." Suara Narya terdengar bergetar. Dadanya semakin menyesak dengan semua penyesalan.

"Delapan tahun ini aku tersiksa, Nees. Sangat tersiksa karena selalu merindumu. Entah sampai kapan perasaan ini akan terus menyiksaku."

"Maafkan aku, Daneesa. Abang akan selalu mencintaimu." Narya menjatuhkan kepalanya ke batu nisan.

Lama Narya meletakkan kepala, tanpa ia sadari di hadapannya telah berdiri sesosok wanita manis yang sedari tadi menyaksikan tangisan pilunya. Tampak wanita itu memandang dengan tatapan sinis.

"Apa yang kamu tangisi, Anarya?"

Anarya yang sedari tadi sibuk dengan penyesalannya terperanjat. Kepala yang sedari tadi tertunduk kini langsung mendongak memandang ke arah sumber suara.

Anarya semakin terperanjat lagi ketika mengetahui siapa yang datang. Ia sampai mundur jatuh terjengkang. Berkali-kali ia kucek mata untuk meyakinkan apa yang ia lihat.

"Da-Da-Daneesa?" Wajah Anarya berubah pias melihat sosok wanita yang begitu ia kenal.

Wanita itu masih tersenyum dengan tatapan sinis, menatap lekat penuh kebencian pada Anarya.

"Aku Daneela, bukan Daneesa."

"Tapi ...."

"Ya, aku kembaran Daneesa. Adik kembarku yang kamu hamili dan setelahnya kamu tinggal pergi."

"Tapi Daneesa tak pernah cerita kalau memiliki saudara kembar."

"Apa kamu pernah bertanya?"

"Tidak." Narya menggeleng lemas.

"Tentu saja tak akan pernah bertanya karena kamu hanya sibuk merayunya saja. Apa kamu juga mencoba mengenali keluarga Daneesa?"

Kembali Anarya hanya menggeleng. Ia merasa bodoh selama ini. Selama mengenal Daneesa tak pernah sekalipun ia berusaha mengenal keluarga dari wanita yang hingga kini tak mampu ia singkirkan dari hatinya.

Hanya dua kali ia berani masuk ke rumah Daneesa. Saat ijin ingin menikahi Daneesa dan terakhir ketika seminggu setelah kematian Daneesa.

Kunjungan terakhir menyisakan sejuta penyesalan bagi Anarya. Ia tak memiliki kesempatan lagi untuk memandang kekasih hatinya.

Bahkan kabar meninggalnya Daneesa pun ia terlambat mengetahui, jika bukan dari sahabat Daneesa yang memberikan kabar, mungkin ia tak akan pernah tahu bahwa Daneesa meninggal setelah melahirkan bayi kecil yang sekarang menjadi penyemangat hidup Anarya.

"Aku tak bermaksud meninggalkannya," sanggah Anarya.

"Pengecut tak akan pernah bisa mengakui kesalahannya. Kamu pikir apa yang kamu lakukan itu benar?"

Anarya masih tampak bingung, bingung bagaimana harus menjelaskan bahwa ia tak seperti yang wanita itu sangkakan. Ada banyak penyebab yang saat itu membuat ia harus pergi, tak pernah terbersit ingin menjauhi Daneesa.

"Kepergianku bukan untuk meninggalkan Daneesa, melainkan karena ...."

"Tak ada alasan yang bisa mengubah pandanganku terhadapmu. Bagiku kamu adalah pria yang tak bertanggungjawab."

Anarya kembali mengusap kasar wajah dan menghela napas kuat-kuat. Ada rasa yang ingin ia lepas agar tak terus menghimpit di dada.

"Kenapa diam? Penyesalanmu tak ada gunanya. Tidak hanya Tuhan yang akan menghukummu, tapi aku juga akan memberimu rasa yang lebih sakit lagi!" ucap Daneela penuh tekanan dan ancaman. Sorot matanya tajam menghujam ke arah Anarya.

"Apa yang akan kamu lakukan? Membunuhku? Aku ikhlas jika itu bisa menebus rasa bersalahku pada Daneesa."

"Hahaha ... itu terlalu ringan bagimu, Anarya."

"Lalu apa yang kamu mau?"

"Aku akan mengambil anakmu!"

Anarya terhenyak, ia bangkit dari tempat ia duduk. Ia pandangi wanita di hadapannya kembali. Wajah wanita yang pernah ia kagumi, bahkan teramat ia cintai. Namun sayang, wajah memang sama persis tapi tidak dengan hatinya.

Dia bukan Daneesa, melainkan Daneela. Wanita yang penuh kebencian dan dendam. Tatapan netra itu sungguh jauh berbeda dengan milik Daneesa.

"Daneela, tolong jangan hukum aku seperti itu. Itu sama saja kamu akan membunuhku secara perlahan."

"Itu yang kumau."

"Selama ini aku sudah cukup tersiksa dengan penyesalan ini. Jangan kau tambah lagi dengan mengambil Nesa dariku. Hanya dia yang aku miliki." Mata Anarya kembali tergenang airmata.

"Bukankah kamu sudah menikah dan memiliki anak?"

Anarya tertunduk. Kembali ia menjatuhkan diri ke pusara Daneesa. Tampak kekalutan memenuhi wajah tampannya itu. Ia seperti kehilangan kekuatan, hati yang sudah tak berbentuk itu kini makin kehilangan asa.

"Aku tak pernah mencintainya. Aku hanya mencintai Daneesa, dan aku tak pernah punya niatan meninggalkan Daneesa. Semua karena mamaku." Masih dengan wajah tertunduk dalam, tetes bening itu kembali jatuh.

Kembali ia pandangi batu nisan, kemudian memeluk pusara itu kembali. Bak dihantam ribuan batu di tubuhnya, begitu berat beban yang ia rasa.

"Aku akan mengambil Nesa darimu," ucap Daneela sambil berlalu meninggalkan Anarya.

"Kamu boleh membunuhku, tapi tak akan aku ijinkan kamu mengambil anakku!" teriak Anarya, namun wanita itu telah menjauh pergi.

Ucapan Daneela menyisakan rasa takut pada Anarya. Segera ia bangkit dan mencoba mengejar wanita itu, namun terlambat. Daneela telah masuk ke mobil dan menghilang di tikungan jalan.

Anarya melangkah gontai, sesekali ia menjambak rambut. Ia merasa benci dengan dirinya sendiri yang tak pernah mampu bersikap tegas terhadap sikap mama yang terus mengatur kehidupannya.

Kini, ia merasa takut jika Daneela benar-benar mengambil Nesa. Ia tak sanggup kehilangan untuk kali kedua. Ketakutan mulai menyeruak di hati. Segera ia masuk ke mobil dan menuju rumah, berharap Nesa masih di sana dan menghambur ke pelukannya.

"Nesa, jangan tinggalkan ayah, Nak," pintanya dalam hati. Selama perjalanan, Anarya hanya mampu berdoa agar kali ini Tuhan tidak menghukum dirinya lagi, ia ingin Tuhan memberikan kesempatan untuk menebus setiap kesalahan yang pernah ia lakukan.

Dalam hati Anarya hanya ada satu keinginan, yaitu diberi kesempatan untuk selalu menjaga Nesa. Gadis kecil itu satu-satunya semangat ia menjalani kehidupannya. Buah hati yang selalu mengingatkannya akan kenangan bersama Daneesa.

Terpopuler

Comments

Mikaila Dira Khodijahatika

Mikaila Dira Khodijahatika

lebih baik dgn danela drpd mak tiri kejam

2021-11-20

0

Tirai Berduri

Tirai Berduri

ambil anesa..biarka arya ..dasar ayah bodoh...anknya di sikda dia gk tau..katanya syg tpingk peka..ayah mcm apa kmu arya

2020-12-10

2

Susanna Ibrohim

Susanna Ibrohim

narya km ga tau anakmu terlalu tersiksa

2020-11-28

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!