Dua puluh menit terlampaui untuk menempuh jarak ke rumah Pak Karmin. Ada banyak tanya di hati Bu Bram. Rasa penasaran yang tak terelakkan memenuhi ruang nalarnya.
Mobil berhenti menepi di depan sebuah rumah sederhana bercat hijau pupus. Rumah yang tampak asri dengan begitu banyak tanaman tertata rapi. Ada suara gemiricik air dari sebuah pipa besar yang berderet tanaman selada dan bayam merah.
"Rumah saya yang cat biru, Nyonya. Sedangkan yang hijau ini milik Tuan Bramantyo," ujar Pak Karmin membuat mata sang nyonya membeliak kaget.
"Suamiku tinggal di rumah kecil ini?" Bu Bram mencoba meyakinkan.
"Setiap akhir pekan Tuan Bram berkunjung kesini, Nyonya."
"Apa dia punya selingkuhan?" tanya Bu Bram menyelidik seraya mencondongkan kepalanya ke Pak Karmin, ada kekhawatiran dalam nada suaranya.
Pak Karmin tertawa kecil mendengar pertanyaan majikannya. Ia tahu betul sifat Bu Bramantyo yang sering tak peduli dengan Tuannya, bahkan sedikit rasa cemburu pun hampir tak pernah ia tunjukkan. Dalam pandangan Pak Karmin, Bu Bramantyo hanya sibuk dengan urusannya, terlebih ketika masalah Anarya dengan Daneesa menyita banyak waktunya.
"Karmin, jawab donk!" seru Bu Bram sambil memukul bahu sopirnya dengan kipas kayu cendana yang sedari tadi ia gunakan untuk menyejukkan tubuh. Entah mengapa ia menjadi gerah meskipun AC dalam mobil menyala.
"Kita turun, Nyonya," ajak Pak Karmin seraya turun dan membukakan pintu mobil untuk Bu Bram.
Ada keraguan ketika hendak turun dan memasuki pekarangan rumah itu. Berkali-kali netranya mengedar menelisik sekitar, mencoba mencari tahu sesuatu untuk mengusir rasa penasaran yang membuncah sedari tadi.
"Kok, kamu pegang kuncinya?" selidik Bu Bram ketika melihat sopir pribadinya itu membuka pintu rumah.
"Silahkan masuk, Nyonya." Lelaki setengah baya itu sedikit membungkuk mempersilahkan nyonyanya masuk. Pak Karmin sengaja membiarkan majikannya dalam rasa penasaran.
Dengan langkah yang sedikit ragu, Bu Bram melangkahkan kaki memasuki rumah yang di dalamnya begitu tertata apik. Ia dapati ruang tamu yang tak terlalu besar dengan sofa sudut dan meja kaca berisi pasir dan manik-manik hiasan laut. Di dinding tergantung foto-foto keluarga yang tersusun secara diagonal.
Bu Bram terpegun tatkala kedua maniknya menatap deretan gambar yang membawanya ke masa lalu, di mana ia menemukan kebahagiaan yang sangat luar biasa dan tak pernah ia duga. Tak terasa bulir bening menggenang di sudut netra dan jatuh tak tertahan.
Ia dekati foto pertama, kemudian mengusapnya. Tampak dalam gambar seorang lelaki begitu tampan dan berkharisma yang sedang bersanding dengannya dalam balutan busana pengantin berwarna putih. Klise masa lalu hadir dalam slide memori memutar kenangan saat ia dilamar oleh Pak Bramantyo, anak tunggal dari pengusaha properti yang cukup terkenal di kotanya.
Ya, 33 tahun yang lalu hanya dengan modal kecantikan yang dimiliki, ia berhasil menakhlukkan hati Bramantyo Pamungkas yang kala itu berkunjung ke perumahan kumuh yang akan terkena gusur akibat proyek pembangunan perumahan elite.
Kala itu, ia termasuk salah satu warga yang juga kebingungan untuk menemukan tempat tinggal bagi dirinya dan juga keluarga. Namun, pertemuannya dengan Bramantyo mengubah segalanya. Kehidupan yang selama ini serba kekurangan berubah drastis setelah Bramantyo membawa dirinya ke rumah mewah keluarga Bramantyo.
Dengan perlahan Bu Bram menyeka bulir bening di pipi. Dadanya terlihat naik turun tak teratur, ada rasa bersalah yang tiba-tiba menghimpit dada.
"Terimakasih, Pa. Karenamu aku mendapatkan kehidupanku."
Pandangannya kini tertuju pada gambar berikutnya, raut muka bahagia begitu jelas terlukis dalam foto itu. Ya, teramat bahagia karena kehadiran Anarya kecil yang begitu lucu. Penantian setelah dua tahun pernikahan terbayar sudah dengan lahirnya bayi tampan dan menggemaskan. Seulas senyum menyembul dari bibir Bu Bram melihat foto penuh suka cita itu.
Gambar demi gambar ia pandangi dengan penuh rasa campur aduk. Entah rasa apa yang ia rasa, ada rasa bersalah, ada rasa sesal, semuanya campur aduk. Namun, tangisnya terhenti ketika netra itu menatap foto dalam bingkai terakhir.
"Kenapa foto ini di sini?" tanya Bu Bram ketika melihat foto Pak Bramantyo hanya dengan Nesa, gadis kecil yang baru saja berhasil ia singkirkan.
Pak Karmin yang sedari tadi berdiri di dekat pintu tergagap kaget dengan pertanyaan Bu Bram.
"Karmin, buang foto itu!" perintah Bu Bram sambil menunjuk foto terakhir.
"Maaf, nyonya. Itu semua yang memasang adalah Tuan. Saya tidak berani. Selama ini Tuan sangat menyayangi Neng Nesa."
Bu Bram terhenyak mendengar perkataan sopir pribadinya itu. Ia terduduk di sofa, tetiba kepalanya berasa dipenuhi kunang-kunang. Ia pijat pelipisnya untuk mengurangi rasa pusing.
"Minum dulu, Nyonya." Pak Karmin menyodorkan air putih yang diterima dengan lemah oleh Bu Bram.
"Sejak kapan suamiku menyayangi anak itu?"
"Sejak mengetahui Non Lasmi sering menyiksa Neng Nesa, Nyonya."
"Apa maksudmu?"
"Non Lasmi tidak pernah memperlakukan Neng Nesa dengan baik. Neng Nesa sering menahan lapar, bahkan sering dibedakan dalam hal makanan."
"Darimana suamiku tahu? Nesa mengadu?"
"Tidak, Nyonya. Tuan melihat sendiri tanpa sengaja saat bertandang ke rumah Non Lasmi untuk menjenguk Resti. Non Lasmi mengatakan kalau Neng Nisa adalah anak haram. Padahal nyonya tahu sendiri kalau Den Anarya .... "
"Cukup!" Potong Bu Bramantyo.
"Sekarang antarkan aku pulang!" Perintah Bu Bram seraya berdiri.
Baru saja kakinya melangkah menuju pintu, muncul Pak Bram yang tak kalah terkejut melihat istrinya telah ada di rumah yang selama ini ia persiapkan untuk Nesa.
"Mama di sini?"
"Pa, jelaskan apa maksud dari semua ini?"
"Tak perlu dijelaskan. Aku melakukan ini semua demi cucuku, darah daging Anarya."
"Tapi, Pa-"
"Gunakan hati nuranimu yang selama ini mati, Ma. Ingat kembali kamu dulu itu siapa. Jangan karena harta kamu lupa bahwa kamu dulu lebih hina dari keluarga Daneesa."
Bu Bram tercekat, kerongkongannya tak mampu bersuara. Kata-kata Pak Bramantyo begitu menohok hati. Tak disangka suaminya tega mengatakan hal tersebut, sudah pasti sakit yang teramat ia rasakan kini. Kembali bulir bening menganak sungai tanpa mampu ditahan. Berkali-kali Bu Bram berusaha menyeka, namun justru isakan tangisnya semakin tak terelak.
"Maaf, Ma. Aku sudah lelah melihat tingkah lakumu. Apalagi dengan menantu kesayanganmu itu. Sadarlah bahwa sebenarnya Lasmi hanya memanfaatkanmu untuk mendapatkan Anarya."
Netra Bu Bram membeliak semakin tak percaya bahwa yang berdiri di hadapannya adalah suami yang telah mengangkat derajat kehidupan keluarganya, ia hampir tak percaya bahwa lelaki yang memuliakannya sebagai seorang istri mampu berkata demikian.
"Aku sengaja diam saat kalian mengirim Nesa ke rumah Daneela, karena bagiku itu jauh lebih baik untuknya. Dia bisa bahagia disana. Tapi kamu, kamu yang akan menderita karena sebentar lagi akan melihat anakmu menjadi gila karena harus kehilangan penyemangat hidupnya." Dengan nada sinis Pak Bram berujar.
Bu Bram semakin terhenyak. Ia pikir selama ini tak ada yang tahu rencana dia dan Lasmi untuk menyingkirkan Nesa.
"Karmin, bawa nyonya kembali ke rumah. Aku ingin menenangkan diri di sini. Aku sudah lelah dengan wanita yang tega merusak kebahagiaan anaknya sendiri."
"Baik, Tuan. Mari nyonya saya antar pulang."
Tanpa dapat berkata-kata lagi, Bu Bram melangkah keluar dengan gontai. Ia masih syok dengan perkataan suaminya yang selama ini tak pernah melawan setiap kemauannya.
"Karmin, antarkan aku ke rumah Daneela," kata Bu Bram setelah duduk di jok mobil.
"Tapi, Nyonya-"
"Turuti saja apa kataku, harus ada yang aku urus di sana."
Akhirnya Pak Karmin menuruti perintah dari Bu Bram yang masih berurai airmata. Ia melajukan mobil keluar kota menuju tempat dimana Nesa disingkirkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
💞N⃟ʲᵃᵃ࿐yENni💖
Bu Bram seperti kacang yang lupa kulitnya...
2023-03-04
0
Tirai Berduri
sama kere aja songong...kaya juga suami..tpi gayanya pingin tak remes mukutnya😈😈
2020-12-10
1
Shin Gao
iya sendiri org miskin dan kumuh.
2020-11-14
1