Sabtu sore semburat jingga mewarnai langit senja di bagian barat. Tampak dua bocah sedang duduk di atas tumpukan buis beton yang ada di area terbuka.
Gadis kecil dengan rambut tergerai sepanjang pinggang terlihat menikmati pemandangan layang-layang yang terbang di awan. Sesekali ia membetulkan anak rambutnya yang tertiup lembut angin sore itu.
Di sampingnya duduk anak laki-laki seusianya, berbadan sedikit tambun, berkulit putih bersih, dan berlesung pipit. Tampak tawa suka cita selalu hadir di wajah pria kecil itu. Tangannya asyik menarik ulur tali senar yang terkait pada layangan miliknya, layangan yang telah membumbung tinggi dengan ekor panjang.
"Nesa, kamu suka layanganku?" tanya Asril sambil menoleh ke arah Nesa.
"Ya, aku suka. Kamu pandai membuat dan menghias layangan," jawab Nesa sambil tersenyum manis pada kawan baiknya itu.
"Kalau kamu suka, besok akan aku buatkan untuk kamu. Jadi, kamu bisa main bareng denganku."
Nesa hanya menggangguk dan tersenyum. Pandangannya kembali ke layangan milik Asril yang bergambarkan robot transformer kesukaannya. Disana ia lihat sebaris tulisan nama Asril dan Nesa.
"Asril, kamu tahu nggak apa itu anak haram?"
"Hm ...." Nampak Asril berfikir, jari telunjuknya menggaruk hidung tanda ia sedang mengingat sesuatu.
"Kamu dapat kata-kata itu dari siapa?" tanya Asril menyerah karena tak menemukan jawaban.
"Dari ibu. Ibu sering bilang aku ini anak haram."
"Coba kamu tanya ke ibu kamu."
Nesa hanya terdiam. Tatapannya kembali ke matahari yang bersiap-siap kembali ke peraduan.
"Asril, udah sore. Kita pulang, yuk!" ajak Nesa seraya berdiri.
Tanpa diminta lagi, Asril pun menggulung layangan dan mengantar Nesa pulang ke rumah dengan naik sepeda miliknya .
"Nesa, besok kita ke sekolah bareng, ya. Kamu nggak usah naik sepeda sendiri. Biar aku saja yang jemput," anjur Asril sesampai di depan rumah Nesa.
"Kamu nggak ngerasa capek boncengin aku terus?"
"Nggak kok, Nes. Malah aku seneng ada teman yang bisa diajak bercanda di jalan."
"Oke, Asril. Tapi ...."
"Tapi kenapa?"
Nesa menengok ke arah rumahnya, seolah ada yang ia takutkan. Ia pun mendekat ke Asril dan berkata setengah berbisik.
"Besok aku harus mampir dulu ke rumah Mbok Jum, ambil kue yang akan aku jual di sekolah. Aku harus diam-diam jualan kue biar ibu nggak tahu. Jadi, jangan bilang ke siapa-siapa, ya."
"Memangnya uang sakumu kurang?"
"Ibu nggak pernah kasih uang saku."
"Kenapa?"
"Kata ibu, aku nggak boleh jajan sembarangan di sekolah. Selain itu, kata ibu aku harus belajar hemat."
"Oh ... tak apa, Nes. Besok aku siap mengantar," ujar Asril semangat.
"Makasih banyak ya, Asril."
"Sama-sama. Sampai jumpa besok ya."
Asril pun mengayuh sepeda meninggalkan Nesa yang masih berdiri memandangi kepergian sahabatnya, sahabat yang selama ini selalu peduli dengannya.
Ya, hanya Asril kawan yang dekat dengan Nesa. Rumahnya tak jauh dari tempat tinggal Nesa. Hanya saja Nesa tak pernah main ke rumah Asril yang besar itu karena ibunya Asril sering menunjukkan wajah tak sukanya.
Gadis kecil itu juga tidak mengerti kenapa beberapa tetangga tidak menyukainya, sedangkan dia hanyalah anak kecil yang tak tahu apa-apa. Dia hanyalah anak polos yang tidak mengerti kesalahan apa yang telah ia perbuat.
"Eh, anak haram! Ngapain kamu disitu? Nunggu ayahmu pulang? Ayahmu lima hari ke depan tak akan pulang, jadi tak perlu kamu tungguin disitu!"
Nesa kaget, ia menoleh ke arah suara yang telah ia kenal dan hafal.
"Nggak, Bu."
"Buruan masuk kalau tak mau aku kunci pintunya!"
"I-iya, Bu." Bergegas Nesa berlari masuk ke rumah.
****
Senja berganti malam saat gadis kecil itu berdiri di dekat jendela. Waktu sudah menunjukkan pukul 08.45, namun mata gadis kecil itu masih basah airmata.
"Ayah ...." gumamnya sambil kembali terisak.
"Ayah, Nesa ikut ayah. Jangan tinggalin Nesa, Yah." Masih dengan sesenggukan gadis kecil itu berulang-ulang memanggil ayahnya.
"Nesa takut sendirian, Yah. Perut Nesa juga lapar." Airmata semakin membanjiri pipinya. Sesekali ia menyeka dengan punggung tangan.
Lama ia terisak di dekat jendela, berharap ayahnya mendengar tangisannya dan segera pulang. Namun harapannya pupus, hanya suara binatang malam yang terus bersahutan yang ia dengar.
"Nesa!" panggil seseorang dari luar jendela sambil mengetuk daun jendela yang membuat Nesa kaget bukan kepalang. Sesosok pria kecil telah berada di luar jendela.
"Asril?"
"Tolong buka jendelanya, Nes."
"Kamu ngapain, Asril?" tanya Nesa setelah membuka jendela.
"Aku bawain kamu makanan," tutur Asril sambil menyerahkan bungkusan plastik hitam.
"Kamu makan ya, Nes. Aku harus buru-buru pulang, takut kalau ibu nyari."
"I-iya, makasih ya, Asril."
"Iya, sama-sama. O iya, jangan nangis lagi, Nes. Makan yang kenyang terus tidur. Itu tadi aku bungkusin kamu nasi ayam dan jus alpukat. Sudah, ya. Dagh!"
Kesedihan Nesa sedikit terobati, malam ini ia bisa tidur dalam perut terisi. Ia membelalak saat membuka kotak makanan yang berisi nasi dan ayam paha goreng.
Segera ia santap makanan yang jarang ia makan, bukan karena ibunya tak pernah memasak, namun karena ibunya selalu bilang itu untuk Resti, jadi ia harus mengalah.
Selama ini, ia bisa menikmati makanan enak jika ayahnya di rumah. Itupun harus dengan rasa takut karena tatapan ibunya yang seolah memberi kode agar tidak mengambil banyak.
Tetapi sayang, sang ayah sering bepergian keluar kota karena pekerjaannya sebagai seorang pengusaha properti. Harusnya dengan profesi ayahnya, ia tak akan berada dalam kekurangan.
Lasmi, wanita yang selama ini ia panggil ibu selalu membuatnya dalam kekurangan dan kelaparan. Bahkan Nesa tak pernah mengerti kenapa ibunya begitu membenci dirinya bahkan sering marah tanpa sebab.
Untuk kesekian kalinya Asril datang sebagai dewa penolong. Asril tahu karena seringkali melihat Nesa memegangi perut saat sekolah ataupun bermain. Jika ayahnya Nesa tak ada di rumah, maka Asril yang diam-diam mengirim makanan.
Selesai menyantap nasi dan ayam dengan lahap, ia menikmati segarnya jus alpukat. Malam ini benar-benar luar biasa baginya dapat menikmati makanan mewah seperti ini.
Ya, mungkin bagi anak lain ayam dan jus alpukat adalah hal biasa. Namun bagi Nesa adalah hal yang luar biasa. Ia bisa ikut makan di meja makan saja ketika ayahnya ada, selebihnya ia makan apa yang diberikan ibunya.
"Ya, Allah ... Nesa bersyukur hari ini Allah kirim Asril untuk mengirim makanan untuk Nesa. Nesa kenyang, Ya Allah. Malam ini Nesa bisa tidur nyenyak," ucap syukur Nesa sambil menengadahkan tangan.
Senyumnya kembali tersembul dari bibir mungilnya dan sejenak kemudian ia telah terlelap dalam mimpinya. Mimpi yang selama ini ingin ia rasakan dalam kehidupan nyatanya
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Mikaila Dira Khodijahatika
ibu tiri kejam
2021-11-20
0
Tirai Berduri
ayahnya saja goblok😭😭😭
2020-12-10
1
Lintang Maharani
kasianx Thor, novel mu bikin mewek
2020-11-29
1