Nesa terbangun tepat saat adzan subuh. Gadis kecil itu sudah terbiasa bangun lebih awal karena Anarya -ayahnya- telah melatihnya sejak usia dia masuk lima tahun.
Setelah salat subuh, Nesa bergegas ke dapur dan mencuci piring yang kemudian dilanjut dengan pekerjaan lain, menyapu rumah dan pekarangan.
Ketika jam menunjuk pukul 06.30 ia telah siap dengan tas sekolahnya dan berpamitan pada Lasmi, seperti biasa hanya dengan ucapan, "Nesa berangkat ya, Bu." Tanpa ada acara cium tangan layaknya anak berpamitan ke ibunya.
Bukan karena Nesa tak mau mencium ta'zim punggung tangan ibunya, namun justru Lasmi yang tak ingin Nesa menyentuhnya. "Najis," katanya.
Di depan rumah nampak Asril telah siap menjemput Nesa dengan sepedanya. Senyum tersembul dari bibir pria kecil berhati peri itu.
"Ayo, Nes. Aku antar dulu ke Mbok Jum untuk ambil kue."
"Oke," jawab Nesa, ia segera naik di bagian belakang sepeda.
Sesampai di rumah kecil Mbok Jum, Nesa membungkus beberapa macam kue yang telah disiapkan Mbok Jum.
"Mbok ...." Nampak Nesa ingin bertanya sesuatu pada perempuan paruh baya itu, namun ia ragu.
"Iya."
"Emmm ... mau tanya boleh?" Hati-hati Nesa bertanya sambil menatap kerutan di wajah Mbok Jum.
"Tanya apa neng cantik?" Mbok Jum akhirnya mendekati Nesa dan mengelus rambutnya.
"Anak haram itu apa sih, Mbok?"
Mbok Jum kaget dengan pertanyaan Nesa. Sejenak ia pandangi wajah manis gadis kecil di hadapannya. Ada wajah sendu disana, wajah yang harusnya bahagia di masa usianya sekarang, namun tak pernah ia dapat.
"Neng cantik kok tanyanya begitu?"
"Ibu sering bilang aku anak haram, Mbok. Katanya aku dipungut dari tempat sampah."
"Hush! Astaghfirullah ... tidak benar itu neng. Mbok Jum lebih tahu dari mana neng cantik berasal."
"Mbok Jum tahu tentang aku?"
"Iya, tapi sekarang neng cantik coba tengok jam. Sudah hampir terlambat lho, itu temannya sudah nunggu juga." Kata Mbok Jum sambil menunjuk jam dan ke Asril yang masih di atas sepeda.
"Oh iya, Mbok. Aku lupa. Nanti siang pulang sekolah aku ke sini ya, Mbok. Assalamualaikum." Nesa berpamitan seraya mencium tangan Mbok Jum. Tak lupa ia membawa kue yang akan ia jual di sekolah.
****
Benar saja, pulang sekolah Nesa langsung ke rumah Mbok Jum. Ia ketuk pintu sampai berkali-kali namun tak ada sahutan.
"Ah, mungkin Mbok Jum ke pasar," batin Nesa. Ia letakkan kotak kue di meja teras, tempat Mbok Jum biasa menggelar dagangannya.
"Kenapa, Nes?" tanya Asril ketika melihat wajah lesu sahabatnya.
"Mbok Jum ga ada. Nanti sore aku mau kesini lagi."
"Kamu kenapa sih, kok pengen banget tahu anak haram itu apa?"
"Pengen tau aja, tapi kalau mau tanya ke ayah, Nesa takut."
"Memangnya ayahmu nggak tahu kalau Tante Lasmi panggil kamu anak haram?"
"Ibu nggak pernah panggil aku anak haram kalau di depan ayah."
"Oh ... aku juga heran, Nes. Kenapa Tante Lasmi sering marah-marah ke kamu?"
"Hm ...." Nesa hanya mengedikkan bahunya.
Tak terasa perjalanan dua sahabat kecil itu sampai di depan rumah Nesa. Selesai melepas pandangan ke arah Asril yang kembali mengayuh sepedanya, Nesa masuk ke rumah.
Langkah kecilnya berayun lincah. Ia dapati Resti yang masih berusia tiga tahun sedang asyik bermain dengan semua mainan yang berserakan di ruang tengah.
"Assalamu'alaikum. Hai, Resti sayang. Nih, kakak bawa kue lapis buat Resti. Dimakan ya, adikku sayang," kata Nesa sambil menyerahkan kue lapis ke Resti.
"Makasih, kak Nesa." Resti langsung menyambut kue lapis di tangan Nesa, tak lupa ia memberi ciuman di pipi kakaknya sebagai rasa terimakasih.
"Dapat dari mana kue lapisnya?" Tiba-tiba Lasmi sudah ada di belakang Nesa.
"Dari teman, Bu," jawab Nesa sambil menoleh. Ia terpaksa berbohong tentang hal ini.
"Mulai ngemis kamu ke teman-temanmu?"
"Tidak, Bu."
"Awas ya kalau kamu bikin malu orang tua."
"Tidak, Bu. Itu tadi ada kawan yang memang bagi-bagi kue."
"Ya sudah, sana ganti baju terus makan. Tapi ingat, lauknya buat Resti."
"Iya, Bu." Nesa mengangguk dan beranjak dari tempatnya berdiri. Namun ia kembali berhenti dan memutar badan.
"Bu, kapan ayah pulang?"
"Kenapa?"
"Nesa kangen," ucap Nesa dengan wajah tertunduk.
"Masih lama ayahmu pulang!" Jawab Lasmi ketus.
Nesa makin tertunduk, ada bulir bening terjatuh ke punggung tangannya yang sedang memilin ujung bajunya.
Lasmi mendekatinya, nampak gadis kecil itu sedikit beringsut takut. Lasmi membungkukkan badan dan mendongakkan wajah Nesa yang telah basah airmata.
"Eh, anak haram! Kenapa kamu nggak tinggal saja sama nenekmu? Kamu bisa minta ke ayahmu untuk tinggal di sana, pasti kamu akan lebih bahagia di sana."
"Nanti kalau ayahmu pulang kamu harus minta diantar ke nenekmu yang sudah tua renta itu. Tapi awas kalau kamu bilang aku yang menyuruh," ancam Lasmi.
Nesa masih terisak. Matanya terpejam tak berani menatap Lasmi. Lasmi tersenyum puas dan melepaskan wajah Nesa dengan kasar. Ia berbalik dan hendak kembali ke tempat Resti bermain.
"Bu, kenapa ibu benci dengan Nesa?"
Lasmi terhenti. Ia tak menyangka akhirnya pertanyaan itu terlontar dari anak kecil yang selama ini ia benci. Lasmi berbalik dan menatap tajam gadis kecil yang masih terisak itu.
"Karena kamu bukan anakku!" Jawab Lasmi dengan tegas tanpa berpikir perasaan anak kecil di hadapannya, tak ia pedulikan sedu sedan Nesa yang semakin deras rintik air dari kedua netranya.
"Nesa anaknya Ibu ...." Nesa menghambur dan memeluk pinggang Lasmi. Tangisnya semakin pecah, ia merasa tak rela jika wanita yang ia panggil ibu itu tidak mau mengakuinya sebagai anak.
"Lepas anak haram! Najis tahu nggak kalau kamu menyentuhku!" Dengan kasar Lasmi mendorong Nesa hingga terjatuh.
"Ingat, jangan sentuh aku!" Bentak Lasmi sambil menunjuk ke arah Nesa.
Nesa beringsut masuk ke kamarnya. Entah berapa lama ia menangis hingga tertidur dengan perut kosong.
****
"Nesa sayang, bangun nak."
Nesa terhenyak ketika sebuah tangan mengelus lembut rambutnya. Suara panggilan itu juga berbeda dengan suara yang biasa ia dengar ketika terlambat bangun.
Nesa kaget ketika membuka mata, nampak sesosok wanita cantik berbalut gaun putih panjang nan indah. Wanita itu tersenyum sangat manis.
"Nesa, kita jalan-jalan, yuk!"
"Tante siapa?" tanya Nesa kebingungan.
"Panggil aku 'Mama', Sayang. Aku Mamamu yang selalu merindukanmu."
"Mama?"
Wanita itu hanya mengangguk sembari tersenyum.
"Tapi ...."
"Nesa mau jalan-jalan, kan? Coba lihat di jendela." Wanita itu memberi isyarat dengan matanya agar Nesa melihat ke jendela.
Nesa beranjak dari tempat tidurnya menuju jendela di mana ia biasa menangis. Betapa terkejut ketika melihat pemandangan di luar jendela, Nesa terheran sejak kapan di sana ada pemandangan seindah itu.
Nampak sebuah taman yang indah dengan berbagai macam dan warna bunga, rerumputan yang hijau terhampar menyegarkan netra yang memandang, ada kolam dan gemericik air, serta kupu-kupu beterbangan menambah elok karya pencipta alam.
"Ikutlah jalan-jalan dengan mama, Nak. Mama tidak tega meninggalkanmu di sini." Wajah wanita itu tiba-tiba sendu ketika menangkupkan kedua tangannya ke wajah Nesa.
Nesa masih bingung, ia tak tahu wanita itu siapa karena memang tak pernah melihatnya. Lalu, pemandangan luar biasa di luar rumahnya itu?
Berkali-kali Nesa memandang silih berganti ke arah wanita cantik di depannya dan pemandangan di luar. Lama ia tertegun hingga ia kaget ketika wajahnya terasa dingin oleh guyuran air. Seketika ia terbangun dan ia dapati suara petir milik ibunya, Bu Lasmi.
"Sudah sore, bangun!"
"I-iya, Bu." Nesa gelagapan mengusap wajahnya yang basah oleh air.
Setelah Lasmi keluar kamar, Nesa masih dalam kebingungan. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh kamar, namun tak ada siapapun.
"Jendela! Iya, jendela." Buru-buru Nesa menuju ke jendela. Hanya ada pekarangan di samping rumahnya. Pemandangan luar biasa indah itu tak ada lagi, telah lenyap.
"Nesa! Cepat keluar dan kerjakan tugasmu!" Pekik Lasmi dari luar membuyarkan kebingungan gadis kecil itu.
Nesa bergegas ke dapur mengerjakan tugas rutinnya, mencuci piring dan menyapu. Dalam hatinya ia ingin kembali ke dalam mimpi itu, mimpi yang sangat indah.
"Seandainya ibu seperti wanita itu," gumam Nesa sambil tersenyum kecil, ada harap di matanya. Harapan seorang gadis kecil untuk mendapat kasih sayang dari orang yang ia panggil ibu.
"Nesa yakin, Ya Allah ... pasti suatu saat ibu akan sayang pada Nesa." Masih dengan senyum harapnya.
Ya, hanya sebuah keyakinan yang ada dalam hati Nesa. Seorang gadis kecil yang tak lelah berdoa meminta kepada Tuhannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Mikaila Dira Khodijahatika
wanita iblis
2021-11-20
2
Tirai Berduri
lasmi ..iblis wanita kmu
2020-12-10
1
Witria Dhara Afifah
Mak tirinya jahat banget sih....😢😢😢
2020-08-08
5