Bu, Nesa mana?" tanya Narya ketika masuk rumah. Nafasnya tersengal-sengal tak beraturan. Bahkan salam pun lupa ia ucapkan saat masuk rumah.
"Ayah kenapa?" Masih dengan wajah heran Lasmi memandangi suaminya yang dipenuhi kecemasan.
"Nesa mana!" Suara Narya meninggi membuat Lasmi terhenyak kaget dengan sikap Anarya yang sebelumnya tak pernah membentak.
Cukup lama Lasmi menatap Anarya yang seperti sedang kebingungan, mencoba mencari tahu ada apa dengan suaminya. Namun yang ia dapati adalah wajah penuh kekhawatiran.
Tampak Anarya setengah berlari sibuk membuka kamar dan memeriksa setiap ruangan sambil berteriak memanggil Nesa.
"Mana Nesa!" teriak Anarya kembali seraya mengguncang bahu Lasmi.
"Di-dia main, coba kamu cari di lapangan," jawab Lasmi tergagap, ia terpegun tak mengerti apa yang terjadi.
Anarya langsung berlari menuju ke tanah lapang yang berjarak sekitar 300 meter dari rumah. Netra yang nanar itu menyusuri hamparan tanah luas, mencari gadis kecilnya di antara anak-anak yang sedang asyik bermain.
Lemas tubus Anarya karena tak mendapati gadis kecilnya. Pikiran yang tak menentu semakin kalut. Kemana dia harus mencari, sedangkan dia tak tahu kebiasaan Nesa bermain kemana.
Di bawah pohon yang terletak di tepi jalan, Anarya terduduk lemas. Berkali-kali tampak ia menjambak rambut, meninju tanah, dan sesekali meremas lutut dengan gigi bergemerutuk.
"Ya Allah, hamba mohon jangan hukum aku lagi dengan kehilangan Nesa. Tak sanggup rasanya aku harus kehilangan dia. Hanya dia yang menjadi penyemangat hidupku, Ya Allah."
"Daneesa, tolong aku, Sayang. Jangan biarkan Daneela mengambil anak kita. Aku bersumpah akan terus menjaganya," kata Anarya sambil menatap langit.
Entah sudah berapa lama Anarya duduk di bawah pohon dan meratapi kehidupan. Hidup yang penuh liku tak sesuai dengan apa yang ia harapkan. Mimpi indahnya bersanding dengan gadis pujaan tak urung hanya menjadi sebuah mimpi manis berujung kenyataan pahit.
Slide flashback masa lalu kembali memenuhi ruang ingatannya. Memorinya kembali memutar kejadian 9 tahun yang lalu dimana semua masalah bermula.
*Flash back on
"Sayang, mas mau kenalin kamu ke mama. Aku ingin kita serius dan menikah."
Terlihat wajah Daneesa merona bahagia saat itu. Setelah hampir satu tahun menjalin hubungan dengan Anarya akhirnya hubungan itu menemukan jalan akhir menuju ke pelaminan.
"Nanti malam aku jemput ke toko ya, jangan lupa dandan yang cantik biar mama tahu kalau calon menantunya cantik seperti bidadari."
"Siap, Beb," sahut Daneesa dengan mengerlingkan mata.
"Kamu hari ini ada mata kuliah lagi nggak?"
"Udah selesai, Beb. Habis ini langsung mau ke toko bantuin mama. Mama dapat orderan kue banyak banget, kasihan kalau nggak ada yang bantuin."
"Oh ... tapi aku ada tugas nih, Sayang. Mas nggak bisa anterin, gimana?"
"Tak apa, Beb. Tenang aja, ntar aku pulang bareng Rio."
"Kok bareng Rio?"
"Hahaha ... nggak usah jelous donk, Beb. Kamu 'kan tau dia sahabat dari kecil, dia juga tau hubungan kita."
"Ya sudah hati-hati, ntar malam jam 07.30 sudah siap ya."
"Siap, Boss!"
****
Suasana ruang makan malam itu begitu kaku. Daneesa merasa kikuk ketika berhadapan dengan keluarga Anarya. Rumah yang sangat besar nan megah dengan perabotan super lux itu membuat Daneesa minder.
Bagaimana tidak, rumah keluarga Anarya sangat jauh berbeda dengan kondisi rumah yang selama ini ia tempati. Bahkan peralatan untuk makan yang sekarang ada di hadapannya saja sangat berbeda dengan yang biasa ia gunakan di rumah.
"Siapa namamu?" tanya Pak Bramantyo mengawali pertanyaan.
"Daneesa khairani, Om."
"Teman kuliah Anarya?"
"I-iya, Om. Tapi beda fakultas." Daneesa mencoba tersenyum untuk menetralisir rasa kikuknya.
"Orang tua punya bisnis apa?"
"Toko kue kecil-kecilan, Om. Ini ada buat icip-icip buat Om dan Tante," ucap Daneesa seraya menyodorkan sekotak kue yang masih berbungkus kantong plastik putih.
Sekilas Bu Bramantyo menatap suaminya penuh arti. Seolah menyuruh Pak Bramantyo terus mengintrogasi Daneesa. Sedangkan Pak Bramantyo hanya menghela nafas berat.
"Ya sudah, kita makan dulu. Nanti kita lanjut ngobrolnya." Pak Bramantyo memutuskan.
Baru beberapa suapan Daneesa memasukkan makanan lezat ke mulut, netra Daneesa bersitatap dengan Bu Bramantyo. Ternyata wanita itu menatapnya dengan pandangan tidak suka.
"Gimana rasanya masakan ini?"
"Enak tante," jawab Daneesa seraya tersenyum dan memandang wanita yang duduk di seberang meja makan.
"Sering makan yang beginian di rumah?"
"Mama nggak pernah masak yang begini, Tante." Daneesa tersenyum malu.
"Mamanya nggak punya uang buat masak yang begini?"
"Bukan begitu, Tante. Mama janda, harus bekerja mencari nafkah untuk biaya hidup dan juga kuliahku. Jadi, mama lebih milih berhemat agar bisa cukup semuanya."
"Ooh ... mamanya janda kere, ya?"
Deg!
Daneesa menghenti mengunyah. Kata-kata itu bak petir menyambar, ada sakit yang menjalari hatinya mendengar kata-kata yang keluar dari mulut wanita elegan itu.
"Mama!" teriak Anarya.
"Kenapa? Bener 'kan mamanya kere? Hanya masakan seperti ini saja tak mampu memasak," ketus ucapan Bu Bramantyo tanpa memikirkan perasaan Daneesa yang kala itu netranya sudah mulai tergenang bulir bening yang sebentar lagi runtuh.
Daneesa berdiri, menatap tajam wanita itu. Rasa sakit membuncah hati, harga dirinya benar-benar terkoyak saat itu.
"Maaf, Tante. Kami memang orang miskin. Tapi tante tak perlu menghina kami. Bagiku mama adalah wanita mulia karena selalu menjaga lisannya."
Brakkk!
Bu Bram menggebrak meja seraya berdiri. Wajah Bu Bram memerah mendengar kata-kata Daneesa, amarahnya siap diledakkan.
"Kamu pikir aku wanita hina?"
"Tante pikir saja sendiri! Om, saya pamit pulang. Narya aku pulang sendiri, tidak usah diantar. Minta ayahmu untuk mengajari mamamu cara menghormati orang lain!"
Pak Bram dan Anarya hanya terbengong. Begitu cepat kejadian itu sampai-sampai otak Anarya tak mampu berfikir apa yang harus dia lakukan.
"Daneesa!" teriak Anarya setelah menyadari wanita pujaannya menghilang di balik pintu.
Anarya mencoba mengejar Daneesa yang tengah berlari menuju pintu pagar.
"Daneesa, tunggu!" Anarya berusaha menggapai tangan Daneesa yang kemudian ditepis kasar oleh gadis yang sedang terbakar emosi itu
"Narya, aku sudah tau jawabannya. Keluargamu tidak menyukaiku. Jadi, lebih baik kita sudahi hubungan kita."
"Tidak, Nees. Tolong apapun yang terjadi jangan tinggalin aku, aku mohon."
Daneesa menatap iba pada pria yang sedang berlutut di hadapannya. Bagaimanapun sikap Bu Bram barusan tak bisa membuat dirinya mengingkari perasaan yang begitu kuat terhadap Anarya.
"Bangunlah, kita bicarakan besok. Aku ingin pulang dan menenangkan diri."
"Berjanjilah kamu tak akan meninggalkan aku, Nees."
"Kita bahas besok, oke? Aku pulang dulu."
Aarya hanya bisa pasrah melepas tangan wanita yang sangat ia cintai itu. Ditatapnya punggung Daneesa hingga menghilang dari pandangannya.
Langkah Anarya gontai memasuki rumah. Sejenak ia tatap wajah ibunya yang ia temui tengah duduk di sofa ruang keluarga. Bu Bram hanya membuang muka, tak ingin membalas tatapan anaknya.
"Putuskan hubunganmu dengan gadis itu!" titah Bu Bram tegas.
Anarya menghentikan langkahnya di anak tangga. Kembali ia turun dan mendekat ke ibunya.
"Apa maksud, Mama?"
"Masih kurang jelas?"
"Narya nggak akan pernah memutuskan Neesa, Narya sangat mencintainya, Ma. Dan aku harap mama merestuinya."
"Jangan mimpi kamu, Narya!"
"Terserah mama menerima atau tidak, Narya akan tetap menikahi Nesa."
"Kamu rela menyakiti hati mamamu hanya demi gadis itu?"
"Maaf, Ma. Narya nggak pernah berniat menyakiti hati mama. Tapi Narya harap mama bisa mengerti perasaan Narya. Narya bukan anak kecil lagi yang bisa mama atur terus menerus."
"Gadis itu sudah meracuni otakmu, Narya."
Anarya hanya tersenyum dan memilih pergi dari hadapan mamanya menuju kamar.
****
"Daneesa, tolong jangan acuh denganku. Kita harus bicara, Sayang," pinta Narya saat berhasil menemui Neesa di lorong kampus.
"Narya, beri aku waktu."
" Tapi kamu sudah menghindariku selama dua hari ini. Aku nggak bisa kalau kamu acuhkan aku begini, Neesa."
Daneesa menghentikan langkah, menyilangkan tangan ke dada, dan menghembuskan nafas kuat-kuat. Dipandanginya pria yang telah hampir setahun ini memberikan warna dalam kehidupannya.
"Apa maumu sekarang?"
"Aku mau menikahimu."
Daneesa mengeryitkan dahi.
"Aku masih ingin kuliah, satu semester lagi lulus dan setelah itu aku masih ingin mengembangkan usaha mamaku. Jadi, belum berfikir untuk menikah."
"Kamu masih bisa melakukan itu meski kita sudah menikah."
"Gila kamu, ya?"
"Neesa, aku takut kehilangan kamu."
"Sudahlah, Narya. Kamu lihat kan sikap mamamu? Dia tak ingin punya menantu miskin seperti aku."
"Aku tak peduli, aku hanya ingin kamu."
"Sudahlah, aku mau masuk kelas. Sebentar lagi dosen datang."
Lagi-lagi Narya tak bisa menahan gadisnya melangkah pergi. Gurat kegundahan nampak diwajahnya, ia nampak sedang berfikir.
"Baiklah kalau memang ini satu-satunya jalan, akan aku lakukan," gumam Anarya serasa melangkah pergi keluar kampus.
****
Pukul 14.00 nampak Daneesa keluar dari pintu gerbang kampus. Sengaja Narya menunggunya di dalam mobil yang ia parkir di luar kampus.
"Neesa, beri aku kesempatan untuk bersamamu terakhir kali, ya?" Ucap Narya sambil mensejajari langkah Daneesa.
"Aku janji setelah ini tak akan mengganggumu lagi."
Daneesa menatap lekat wajah Narya, ada sejuta tanya dalam matanya, apakah Narya akan benar-benar melepasnya?
"Baiklah." Kata Daneesa sembari tersenyum. Rasanya tak ada salahnya berpisah secara baik-baik dengan Narya.
Anarya sontak memeluk Daneesa, ia bahagia karena akhirnya bisa melihat senyum Daneesa kembali.
"Yuk, masuk." Anarya mempersilahkan gadisnya untuk masuk ke mobil.
Sepanjang jalan senyum merekah dari bibir Narya.
"Kita hari ini jalan-jalan, ya. Aku ingin menghabiskan waktu denganmu."
Daneesa menoleh ke arah Narya dan mengangguk tanda setuju.
"O iya, ini ada jus alpukat plus susu coklat kesukaan kamu. Tapi maaf ya, sudah aku icip sedikit," ujar Narya seraya tertawa. Ia serahkan gelas kemasan berisi jus alpukat tersebut.
"Kamu tau aja kalau aku haus." Daneesa tersenyum dan menerima minuman itu. Nampak Daneesa begitu menikmati minuman segar yang mampu membasahi kerongkongannya yang sedari tadi belum tersentuh air.
Ketika minuman yang ia teguk tinggal setengah, Daneesa merasakan sesuatu yang berubah dari dirinya. Sesuatu yang tidak bisa ia tahan. Hasrat ingin mengarungi lautan asmara memadu kasih dengan pria di hadapannya.
Daneesa berusaha kuat untuk menahan hasrat tersebut. Ia mulai gelisah, terkadang terdengar lenguhannya. Namun semakin ia tahan ia tak mampu mengontrol dirinya.
Anarya hanya melirik tingkah Daneesa, dalam hatinya ada rasa bersalah namun segera ia tepis.
"Maafkan aku, Daneesa. Hanya dengan cara ini aku bisa memilikimu," Ucap Narya dalam hati.
Akhirnya di sebuah villa milik orang tua Narya, Daneesa melepas hasrat yang telah ia tahan sejak berada dalam mobil. Ia serahkan mahkota kesuciannya untuk laki-laki yang ingin ia tinggalkan.
*Flash back off
"Seandainya dulu aku tidak melakukan itu, mungkin sekarang aku masih bisa menatapmu, Nees."
"Maafkan aku, aku kira caraku benar. Namun justru Tuhan malah menghukumku dengan mengambilmu. Aku benar-benar kehilanganmu."
Tanpa ia sadari petang telah merayap. Entah berapa mata yang menatap aneh pada Anarya. Anarya terhenyak ketika melirik jam di tangannya yang sudah menunjukkan waktu 17.45.
"Nesa. Aku harus menemukan Nesa!" Narya bangkit dan berniat pulang untuk mengambil mobil.
"Malam ini aku harus ke rumah Daneela, tak akan aku biarkan dia mengambil anakku."
Langkah Anarya setengah berlari, ia mempercepatkan langkahnya. Tak ingin ia menyia-nyiakan waktu lagi.
Langkah Anarya terhenti ketika sampai depan rumah ia lihat telah berdiri sosok wanita dengan sorot mata penuh amarah dan siap meluapkan seluruh isi hatinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments