Tubuh sintal berisi itu berjalan gontai memasuki rumah, sesekali badannya limbung hampir jatuh, namun ia berusaha menahan dengan menyandarkan tubuh ke dinding.
"Kenapa, Ma?" tanya Pak Bram yang kaget melihat kondisi istrinya.
"Pa, maafkan mama, ya?" Bu Bram tak kuasa menahan tangis, ia menghambur ke pelukan suami.
"Maaf kenapa, Ma?" Dengan lembut Pak Bram mengelus bahu istrinya seraya sorot netra mengisyarat tanya ke Pak Karmin yang sedari tadi berdiri di belakang Bu Bram untuk menjaga.
"Maaf, Tuan. Sepertinya nyonya butuh istirahat karena dari perjalanan jauh," saran Pak Karmin dengan wajah tersirat kebingungan karena harus bilang apa.
"Perjalanan jauh?" Pak Bram melepas pelukan dan menatap penuh tanya ke wajah yang masih tetap ayu di masa senja itu.
"Mama darimana saja?"
"Mencari Nesa, Pa."
Pak Bram terhenyak tak percaya, sejenak ia pandangi wajah istrinya dengan tatapan penuh selidik.
"Kasihan Anarya, Pa. Dia bisa gila kalau Nesa tidak kembali," tutur Bu Bram penuh kekhawatiran.
"Apa maksud Mama?" Pak Bram masih belum mengerti, lekukan dahi menggurat seolah meminta penjelasan lebih.
"Daneela mengambil Nesa, Pa." Bu Bram menundukkan wajah dalam untuk menyembunyikan raut kebohongan.
"Nyonya, sebaiknya nyonya jujur," sela Pak Karmin yang sedari tadi terdiam.
"Karmin!" bentak Bu Bram sembari membalik badan dan menghampiri Pak Karmin.
"Berani, ya, kamu bicara seperti itu! Kamu anggap aku bohong?"
"Ma-maaf, Nyonya."
"Tapi sekarang ini bukan waktu yang tepat untuk berbohong. Sudah cukup kebohongan nyonya, kasihan Non Daneela jika harus jadi kambing hitam," lanjut Pak Karmin.
Akhirnya Pak Karmin yang tadinya merasa gemetar dibentak oleh Bu Bram, kini bisa bicara lancar. Keberanian untuk mengungkap semua tiba-tiba muncul.
"Kurang ajar kamu, Karmin!" umpat Bu Bram seraya memukul tubuh lelaki kurus hitam itu.
"Hentikan, Ma!" teriak Pak Bram lantang, namun sia-sia karena wanita yang dikuasai amarah itu emosiny meledak-ledak.
"Hentikan!" hardik Pak Bram seraya menarik tangan istrinya dan mendorongnya ke sofa.
Bu Bram terduduk, ia menangis menutup wajah dengan kedua tangannya. Entah malu atau penyesalan yang ia rasa, yang pasti ia tak mau mengakui apa yang telah ia perbuat.
"Ma, jujur. Apa kamu sudah menjalankan rencanamu dengan Lasmi? Apa yang sudah kamu lakukan terhadap Nesa?" Pak Bram memegang bahu istrinya, berharap wanita yang masih larut dalam tangis itu membuka suara.
Kembali Bu Bram menghambur memeluk suaminya. Tangis yang semula hanya isakan kini semakin keras.
"Maafkan mama, Pa."
"Mama khilaf, semua ini karena Lasmi." Masih dengan sesenggukan Bu Bram mencoba menjelaskan.
"Katakan dengan jelas, Ma."
Bu Bram melepas pelukannya dan memandang lekat suaminya.
"Papa jangan marah, ya?"
"Katakan saja dulu."
"Papa janji nggak akan marah," tawar Bu Bram seperti anak kecil.
Pak Bram menghela nafas dan menghembuskan perlahan. Ia berdiri, menatap wajah sendu di hadapannya. Ia menangkap ada kekhawatiran di wajah istri yang selama ini ia kenal betul tak pernah merasa sekhawatir itu .
"Baiklah," ucap Pak Bram seraya duduk di sebelah Bu Bram dan merengkuh bahunya.
Kini Bu Bram yang mengambil nafas, menata keberanian untuk menghadapi semua resiko yang akan ia dapat.
"Aku dan Lasmi mengantarkan Nesa ke Daneela, Pa." Dengan sangat berhati-hati Bu Bram membuka suara.
"Kapan?"
"Beberapa hari yang lalu, ketika Mama bilang ingin ngajak jalan-jalan Lasmi ke luar kota."
"Jadi, waktu ketemu denganku kemarin Mama sudah menjalankan rencana kalian?"
"Sebenarnya tujuan Mama bukan menyingkirkan Nesa, Pa. Tujuan Mama supaya Nesa tahu keluarga ibu kandungnya." Bu Bram masih membuat pembelaan.
"Lalu?"
"Sekarang Nesa ikut dengan Daneela, dia tidak mau pulang."
"Benarkah itu?" Pak Bram memicingkan netra, ada sesuatu yang aneh menurutnya.
"Sebenarnya ...." Bu Bram menggantung ucapannya, ia kembali ragu.
"Sebaiknya Mama terus terang. Katakan dengan jujur," tegas Pak Bram.
"Serius, Pa. Bukan aku yang berniat membuang Nesa." Mimik wajah Bu Bram mulai tertekan karena ia bingung mencari alasan yang tepat agar suaminya tidak marah.
"Bukannya memang kalian berniat menyingkirkan, Nesa? Mama pikir Papa tidak tahu pembicaraan kalian?"
Bu Bram terhenyak, 'Benarkah Papa mengetahui semua pembicaraan aku dengan Lasmi?' tanya hati Bu Bram.
"Bu-bukan aku, Pa. Tapi Lasmi yang berniat membuang anak itu. Mama berkata jujur, Mama nggak berani bohong ke Papa." Ekspresi yang semakin salah tingkah begitu kentara pada gestur yang ditunjukkan Bu Bram.
"Dan mama membantu?"
Bola mata Bu Bram terbelalak, ia tatap lekat suaminya dengan rasa takut bercampur cemas. Namun, pandangan tajam Pak Bram yang mengisyarat secara tegas memaksanya untuk jujur. Perlahan Bu Bram tertunduk, kemudian mengangguk lemah.
"Jadi, mama berniat memisahkan aku dengan Nesa?" Terdengar suara lantang dari pintu.
Serentak semua menoleh. Bu Bram terhenyak, wajahnya pias. Ia tak mampu membayangkan kemarahan Pak Bram dan Anarya. Kini ia pasrah.
"Mama tega, ya? Belum puas sudah memisahkan aku dengan Daneesa, sekarang mama memisahkan aku dengan anakku." Tampak jelas amarah terpampang di wajah Anarya.
"Sa-sayang, dengarkan mama. Ini semua idenya Lasmi."
"Dan mama sebagai mertua malah mendukung menantu yang salah! Ingat, Ma, Nesa itu cucu mama. Dia bukan anak haram. Aku menikahi Daneesa secara agama!"
Sejenak suasana hening. Bu Bram terbungkam rapat. Ia tak mampu berkelit lagi.
"Mama tahu kenapa aku memberi nama Nesa pada anakku? Itu karena aku ingin tetap mengenang Daneesa dalam kehidupanku. Dan sekarang Mama merenggut kembali belahan jiwaku."
"Anarya, maafkan Mama. Mama memang salah, Nak. Mama siap menebus semua kesalahan Mama dan akan membantu mengembalikan Nesa padamu."
"Anarya tak yakin Nesa akan kembali setelah apa yang kalian lakukan selama ini," lirih Anarya penuh kebimbangan, sepertinya ia sudah kehilangan semangat. Putus asa tepatnya.
"Kita ke rumah Daneela, Mama yang akan berusaha memintanya."
"Apa mama tidak malu?" tanya Anarya dengan pandangan sinis.
Bu Bram terdiam. Perasaan bersalah menyusup dan memenuhi ruang kalbu.
"Anarya, sebaiknya kita coba bicara baik-baik dengan keluarga Daneela. Beri kesempatan pada Nesa untuk memilih." Kini Pak Bram memberi saran seraya menepuk bahu putranya.
Anarya menatap sosok lelaki yang selama ini tak pernah memprotes apapun tentangnya dengan tatapan ragu. Ada banyak luka yang tersirat dalam setiap sorot netra sayu itu.
"Pa, untuk kali ini saja. Bantu Anarya, Pa. Jangan biarkan Mama merusak kehidupanku lagi," ucap Anarya penuh harap.
Pak Bram mengangguk mantap seolah ingin meyakinkan pada putra penerus trah Bramantyo.
"Pak Karmin, siapkan mobil!" perintah Pak Bramantyo.
"Siap, Tuan."
"Baiklah, kita semua ke sana," ajak Pak Bram diikuti oleh anggukan Bu Bram dan Anarya.
Dengan langkah bergegas, mereka pun menuju mobil untuk menjemput gadis kecil yang kini tengah mencecap kebahagian yang ia impikan.
Berhasilkah mereka membawa kembali Nesa?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Kuswati Kuswati
nangis aq Thor ceritamu bagus banget...
2022-02-10
0
Tirai Berduri
jgn perna mau balik nesa...kecuali klau lasmi di ceraikan
2020-12-10
1
Witria Dhara Afifah
meleleh 😭😭😭😭
2020-08-08
2