Chapter 12 Kebohongan

Anarya duduk gelisah menanti kedatangan Lasmi. Tidak seperti biasa Lasmi pergi tanpa dirinya, apalagi ini sampai tiga hari. Anarya tetap saja khawatir meski kepergian Lasmi dengan mamanya.

Jujur ... rasa khawatir yang dirasa Anarya lebih pada kekhawatiran terhadap Nesa, gadis kecilnya yang selalu membuat ia rindu ingin memeluk bidadari kecilnya itu.

Beberapa kali ia mencoba menghubungi nomor Lasmi dan mamanya, namun gawai keduanya tidak juga tersambung. Sejenak ia melongok ke depan, mengintip melalui jendela kaca, berharap mobil yang melewati depan rumah adalah mobil sang mama yang mengantarkan Lasmi dan anak-anak.

Nihil.

Kembali Anarya menghempaskan tubuh di sofa. Tepat ketika ia hendak berdiri kembali, pintu depan terbuka. Berdiri sosok wanita yang teramat sangat ia kenal bahkan hingga detik ini masih bertahta di hatinya.

"Daneesa," sapa Anarya terkejut. Ia mengucek netra untuk memastikan wanita yang berdiri di hadapannya adalah Daneesa.

"Kamu bukan Daneesa, kamu Daneela." Pias wajah Anarya ketika wanita itu mendekatinya.

"Mas, aku Daneesa. Aku ingin meminta anakku," pinta wanita berwajah pucat pasi dengan ekspresi memelas.

"Tidak, kamu Daneela yang memang sengaja ingin mengambil Nesa dariku."

"Sudah cukup penderitaan Nesa bersamamu, aku ingin dia bahagia. Biarkan Nesa ikut denganku."

"Tidak! Aku tidak akan pernah melepaskan Nesa! Dia bukti cintaku pada Daneesa. Kamu tahu itu."

"Maaf, Mas. Mau tidak mau aku harus mengambil Nesa. Dia berhak mendapatkan kebahagiaan layaknya anak seusia dia." Seusai bicara, wanita itupun berbalik pergi tanpa menghiraukan teriakan Anarya.

"Daneela, kamu tidak berhak membawa Nesa! Dia anakku!" teriak Anarya, namun wanita itu telah lenyap dari pandangan berganti dengan sinar putih yang menyilaukan.

"Nesa, mau kemana kamu, Nak? Jangan tinggalkan papa." Tiba-tiba suara Anarya melemah seiring tulang lutut yang terasa lemas.

Tangan Anarya mencoba menggapai tubuh Nesa yang pergi menjauh bersama sosok Daneesa. Teriakannya tak mampu membuat mereka berhenti. Semakin kalut membalut hati Anarya, nafasnya tersengal.

"Mas ...." panggil Lasmi menyadarkan Anarya yang tertidur di sofa dengan teriakan dan nafas memburu.

Anarya terhenyak bangun dari mimpi yang baginya teramat menakutkan. Ia tatap sekeliling, pandangannya nanar menyapu ruangan. Ia mencoba mencari Putri kecilnya, namun tak kunjung ia temukan.

"Mana Nesa?" tanya Anarya dengan ekspresi keheranan dan masih berusaha mencari keluar rumah.

"Di mana Nesa, Lasmi?" Kini ia mengguncang bahu istrinya.

Lasmi hanya menunduk. Bu Bram mendekat dan meminta Anarya untuk melepaskan cengkraman pada bahu Lasmi. Bu Bram siap melakonkan drama yang telah ia persiapkan bersama Lasmi, menantu kesayangannya.

Bu Bram pun memeluk bahu Lasmi, seolah ingin melindungi dan memberi penguatan. Lasmi tak kalah akting, ia menangis sesenggukan dalam pelukan mama mertuanya.

"Mama, dimana Nesa?" tanya Anarya yang semakin tak sabar.

Bu Bram menghela nafas.

"Duduklah dulu dengan tenang, mama akan menceritakan."

"Ada apa ini sebenarnya?" Anarya mulai panik dan merasa ada sesuatu yang telah terjadi.

"Duduklah, Narya," pinta Bu Bram kembali.

Anarya menuruti permintaan mamanya untuk duduk di dekatnya.

"Anarya, kami minta maaf jika kami salah karena ...." ucapan Bu Bram menggantung, ia mengalihkan pandangan ke Lasmi yang masih sesenggukan seraya menggigit bibir bawah. Kecemasan begitu nampak di sorot netranya.

"Nesa hilang?"

"Tidak."

"Dia sakit?"

"Tidak, Narya."

"Lalu?"

"Daneela mengambil Nesa," cetus Bu Bram mengagetkan Anarya.

Anarya tercekat. Seketika dunianya terhenti mendengar penuturan wanita yang selama ini telah merampas kebahagiaannya.

"Apa kalian tak bisa mempertahankannya?"

"Kami sudah berusaha, Narya. Tapi Nesa justru lebih memilih Daneela ketimbang kami."

"Tidak masuk akal!" seloroh Anarya sengit.

"Daneela mengaku sebagai Mamanya. Dia membawa foto Nesa saat bayi dalam pangkuannya, dan juga foto pernikahan sirimu dengan Daneesa." Bu Bram masih mengambil alih permainan.

Anarya mengusap wajah dengan kasar disertai nafas teramat berat menghembus kuat.

"Ya, Allah. Apakah mimpi barusan adalah firasat nyata aku harus kehilangan Nesa?" Bulir bening menggenang di pelupuk netra Anarya.

"Aku harus menemui Daneela!" ujar Anarya seraya berdiri dan melangkah pergi.

"Mas, kenapa hanya karena anak haram itu, kamu melupakan istri dan anakmu? Lihatlah Resty, dia juga membutuhkan kamu!" teriak Lasmi yang tak bisa menahan lagi gejolak amarah yang memenuhi batinnya.

Langkah Anarya terhenti. Ia berbalik dan melangkah mendekati Lasmi.

Plak!

Sebuah tamparan tepat mengenai pipi kiri Lasmi yang membuat tubuhnya sedikit terhuyung hampir jatuh.

"Sekali lagi kamu sebut Nesa anak haram, maka ...."

"Maka apa? Kamu akan menceraikan aku?" tantang Lasmi dengan mata menghujam tajam menatap Anarya.

Rahang Anarya mengeras, tangannya mengepal menahan emosi.

"Arrrggghh!" teriak Anarya seraya menendang sofa di dekatnya.

"Kalian sengaja menyingkirkan Nesa, aku tau itu. Kalian tak pernah menerima kehadirannya. Aku benci dengan kalian!" hardik Anarya dan bergegas meninggalkan mereka.

Dalam pikirannya hanya satu tekad, yaitu mendapatkan Nesa kembali. Ia melajukan mobil menuju luar kota, tempat dimana banyak kisah terukir di sana.

****

Sepeninggal Anarya, Lasmi segera mengambil gawainya.

"Daneela, Anarya sekarang dalam perjalanan menuju ke tempatmu. Bergegaslah bawa Nesa pergi, jalankan sesuai rencana."

"Ya, aku tau apa yang harus aku lakukan."

Lasmi menutup panggilan dan kembali mengembangkan senyum. Namun, ketika dilihatnya wajah Bu Bramantyo, senyum Lasmi menghilang. Dahinya berkerut, ia memicingkan netra dan mencoba memahami riak wajah mertuanya.

"Mama, kenapa?"

"Ti-tidak kenapa-napa, Lasmi," jawab Bu Bram tergagap karena tak menyadari jika menantunya memperhatikan riak wajahnya.

"Mama pulang dulu, ya. Mama lelah."

"Iya, Ma. Hati-hati, ya." Lasmi mencium kedua pipi ibu mertuanya.

Lasmi yang melepas kepergian Bu Bram hingga hilang dari pandangan masih tak mengerti dengan sikap mertuanya yang tiba-tiba menunjukkan raut sedih. Ia mengedikkan bahu dan kembali masuk ke dalam rumah, baginya hari ini adalah hari kemenangan. Hari yang teramat sangat ia nantikan.

****

Sementara itu, Bu Bram yang pamit pulang ternyata meminta Pak Karmin untuk memutar balik mobilnya menuju luar kota.

"Kita kembali ke rumah Daneela, Karmin."

"Nyonya tidak capek?"

"Capek. Tapi aku harus kesana untuk memastikan semuanya."

"Baiklah, Nyonya." Pak Karmin memutar arah mobil ke arah yang diminta majikannya.

Pak Karmin adalah sopir setia yang telah bekerja pada keluarga Bramantyo selama dua puluh tahun itu sangat paham dengan karakter tuannya yang tidak suka dibantah ataupun diberi masukan. Semua masalah yang selama ini terjadi, Pak Karmin seolah bagai saksi hidup atas semuanya.

"Karmin."

"Iya, Nyonya."

"Apa aku ini ibu yang jahat?"

"Em ...."

"Katakan saja ... selama ini kamu tahu semua yang terjadi dalam keluargaku."

"Maaf, Nyonya. Jika yang dimaksud adalah sikap nyonya terhadap Den Narya, memang kasihan Den Narya selama ini."

"Aku melakukan semua demi dia, kamu tahu saat itu usaha Bapak terancam bangkrut?"

"I-iya, Nyonya."

"Aku tidak bisa melihat bapak sedih, dia suami yang sangat baik yang sudah berusaha membahagiakan aku selama ini." Terlihat dari kaca spion depan, Bu Bram mengusap airmata dan membuang pandangan keluar.

"Saya paham, Nyonya."

"Aku hanya ingin semua keluargaku tak kehilangan kehidupan yang selama ini kami miliki."

"Tapi uang tak mampu membeli kebahagiaan, Nyonya. Setiap kebahagiaan orang masing-masing punya cara tersendiri."

"Kamu tahu apa tentang kebahagiaan?"

"Maaf, Nyonya, jika saya lancang. Maukah nyonya mampir ke tempat saya dulu?" tanya Pak Karmin sembari menepikan mobil.

"Buat apa?"

"Selama dua puluh tahun saya bekerja, Nyonya belum pernah ke tempat saya. Hanya Tuan Bramantyo yang sering menyambangi rumah kami."

"Apa?" Bu Bram menyipitkan mata, ingin ia memastikan apa yang ia dengar.

"Apa yang dilakukan suamiku di tempatmu?"

"Nyonya akan tahu, jika Nyonya berkenan mampir ke gubug saya."

Huff...

Kembali Bu Bram menghela nafas dan menyandarkan tubuh pada jok mobil.

"Baiklah, antarkan aku ke rumahmu."

"Siap, Nyonya." Wajah Pak Karmin berbinar, ia kembali menyalakan mesin dan melajukan mobil.

Bu Bram kembali sibuk dengan pikirannya. Ada banyak tanya yang ingin segera ia dapatkan jawabannya. Bagaimana bisa ia tidak tahu jika suaminya selama ini sering ke rumah sopir ini? Apa ada selingkuhan di sana? Atau ....

Terpopuler

Comments

Purwati

Purwati

samgat thour

2020-01-28

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!