Diriku mencoba mengeluarkan otot-otot kecilku di depan cermin. Seperti seorang binaragawan, aku bergaya seperti binaragawan yang sedang mengadu otot-otonya di sebuah kejuaraan pamer otot. Namun yang tertampak olehku hanyalah tulang-tulang yang sedikit menonjol di bawah leher. Perut yang sedikit buncit karena sehabis makan dan lengan kecil tampak di cermin itu.
Cermin itu sedikit memudar, mungkin saja umurnya lebih tua daripada umurku sekarang. Bentuknya memanjang ke bawah hingga bisa menampakkan seluruh tubuhku. Tertempel pada sebuah lemari coklat tua yang mulai keropos di makan rayap. Setiap sudut kaca itu sudah ditahan oleh isolasi. Cermin itu sudah tidak bisa mempertahankan dirinya sendiri di lemari tanpa bantuan isolasi. Di cermin itu juga ada tertempel foto-fotoku bersama Zaki, Dede, Vena, dan Rere yang menunjukkan ekspresi kami setelah berbahagia memasuki SMA yang sama.
Aku menggerakkan bola mataku ke bagian sudut atas cermin itu. Aku dan orang yang paling manis berada tepat di sampingku.
Waktu itu aku dan dia sedang berada di sebuah pameran budaya jepang. Ia begitu lucu menggenakan bando kucing dan sarung tangan berbentuk kaki kucing yang imut.
Kami meminjamnya dari sebuah tempat yang memamerkan property-properti yang ada di anime-anime jepang. Tampak disana lengannya merangkul lenganku dengan lembut. Seperti biasanya, aku hanya tersenyum biasa saat di foto. Berbeda dengannya senyumnya tampak luar biasa.
"Rere, jangan pegang tanganku dong. Malu di liatin orang." Aku masih mengingat perkataanku saat itu.
"Biarin, kapan juga kamu foto sama kucing cantik." Aku tersenyum-senyum sendiri melihat foto itu. seakan foto itu bisa bicara dan mengatakan kembali yang pernah kami katakan
Tanganku sibuk mengacak-acak lemari. Ambil, coba, dan masukkan kembali ke lemari. Seperti anak cewek saja dalam memilih baju. Sesekali tanganku menarik celana jeans yang melorot karena kebesaran di bagian pinggang. Tanganku memilih baju kaos berlengan tangan. sepertinya baju itu lebih cocok di segala suasana. Selain itu, memakai baju itu bakalan menghindariku dari kepanasan. Tidak menutup kemungkinan disana akan berdesak-desakan dengan para penikmat konser.
Aku melihat dari ujung kaki sampai ujung rambut dan memastikan setiap detail gayaku malam ini dalam keadaan sempurna. Pantulan bayanganku di cermin begitu gagah dengan kaos lengan panjang berpadu dengan celana jeans dan di permanis dengan sepatu Nike pemberian abangku. Aku melihat sisi kiri dan kanan tubuhku. Jempolku mengacungkan dirinya pertanda semuanya sudah mantap.
"Oh iya lupaaa." Aku mencari kaleng pomade yang terkadang bisa hilang dengan sendirinya walaupun di kamarku sendiri.
Jariku mencolek secuil pomade yang berwarna putih itu, melumatkankannya di telapak tangan hingga semuanya sudah rata dan siap diaplikasikan ke rambut.
Aku usapkan perlahan dan merasakan segala sensasi lengket pomade namun lembut di rambutku. Sisirku bergerak di setiap helaian rambut hingga helaian-helaian itu mengikuti alur sisir yang bergerak.
Rambut sudah di sisir klimis. Sepertinya rambutku sudah dalam kondisi ganteng prima. Aku siap untuk pergi malam ini.
Mataku tertuju ke kertas kecil berwarna merah di lantai.
"Oh iya ini karcisnya. Untung ga hilang." Aku memasukkan karcis itu ke dalam dompet.
Handphoneku berbunyi di atas kasur. Pasti Rere mengirim sms untuk meminta menjemputnya di rumah. Anak itu mudah sekali untuk ditebak. Aku melihat layar handphone itu. Bukan nama Rere yang tertera disana,
"Ke mana malam ini? Aku bosan di rumah." Di atas pesan singkat ini tertera nama Raisa.
"Aku mau ke festival musik. Sama teman-teman," jawabku. Beberapa kali aku salah menekan huruf dilayar. Jariku begitu lengket karena pomade yang poleskan ke rambut.
"Sama sapa? ikutttttt." Raisa mengirim sms lagi.
Aku mengambil dompet di kantong belakang. Dompet itu sudah ada luka robekan di bagian luar, namun aku masih memakainya. Begitu tipis dan lusuh karena sedikitnya uang yang dimasukkan. Aku membukanya, hanya dua buah lembar uang lima puluh ribu rupiah menghiasi tipisnya dompet. Aku rasa ini melebihi cukup untuk membawa Raisa.
"Jam 7 tepat aku sudah ada di depan rumah kamu. Cepet yahhh. Lima menit lagi aku sampai loh. Jangan dandan yang aneh-aneh." Emot ketawa mengakhiri sms yang ku kirimkan.
"Aku bakalan tampil cantik malam ini. Liat aja nanti." Aku letakkan kembali handphone itu di atas kasur.
"Bagaimana dengan Rere yah? Bisa-bisa dia ngambek kalau ga aku bawa." Aku bergumam di dalam hati.
Biasanya aku selalu bersama dengan Raisa. Aku mengambil handphone itu dan mencoba mengirim sms ke Rere. Tidak butuh waktu lama untuk mendapat balasan dari Rere. Handphone miliknya dua puluh empat jam selalu ada di samping Rere.
"Ge'er kamu. Siapa bilang aku bareng sama kamu. Zaki menjemputku tadi. Cepetan, kami udah nyampe nih."
Melihat balasan dari Rere membuatku bergegas mengambil motor. Harum semerbak parfum di badanku menyebar ke sepenjuru ruang tengah. Ibuku masih di mesjd bersama ayahku. Di depan TV sudah tersedia sepiring nasi dan segelas air putih. Abangku dengan cepat duduk dan tidak ingin ketinggalan acara kesukaannya. Makan di depan tv sambil menyaksikan acara faforit adalah kebiasaan rutinnya di malam hari.
Sarungnya masih terpasang di pinggang. Ia akan masih memasangnya sampai ia selesai melaksanakan Sholat Isya. Ia sudah biasa dari kecil seperti itu.
"Tumben jones malam minggu," katanya dengan sambil menyuap nasi di tangannya.
Aku mencari kata-kata untuk membalasnya.
"Lah elu, udah punya pacar, ga pernah malam mingguan," jawabku.
Matanya menyorot tajam kepadaku. Ia berhenti mengunyah nasi yang ada di mulutnya. Tawaku terlepas di dalam garasi karena mengingat kata-kata balasanku tadi.
Aku lihat pagar putih begitu kokoh dengan besi-besi yang menghalangi pandanganku untuk melihat rumah Raisa. Di depan pagarnya tertanam pohon-pohon palem dan bunga-bunga yang menghiasi sepanjang pagarnya. Gerbang menuju kerumahnya berwarna perunggu. Gerbangnya terdapat pola-pola indah memenuhi bagian tengah gerbang.
Terlihat olehku bangunan kecil tempat security menjaga rumah Raisa. bangunan itu berwarna putih dengan atap genteng merah. Di atas atap bangunan itu di penuhi oleh daun-daun kering.
Angin yang berhembus kencang menambah koleksi daun kering yang jatuh dari pohonnya. Security sedang asyik menonton tv di dalamnya. Cahaya TV terlihat dari jendela kecil itu.
Aku mengirim pesan singkat kepada Raisa memberitahu bahwa aku sudah di depan rumahnya. Jika aku panggil, Raisa tidak akan mendengarku karena rumahnya begitu luas. Aku memanjangkan leherku berusaha bisa melihat Raisa di balik pagar-pagar yang menghalangi. Seraut wajah yang ku cari belum juga menampakkan diri.
"Woi siapa tuh?" Security itu keluar dari sarangnya. Badannya tinggi tegap berisi dengan kulit hitam memberikan kesan seram. Ia mulai berjalan menuju tempatku berdiri termenung. Wajahnya tidak begitu jelas karena gelap. Suaranya tegas membuatku sedikit takut.
"A-a-kuu temennya Raisa." Dengan gagap aku menjawab pertanyaannya.
"Siape nama lu?" logat betawi begitu kental ketika aku dengar.
"Rangga bang. Suer aku temennya Raisa."
Ia memicing curiga. Keningnya mengerut memerhatikan setiap gerak-gerikku. Kepalaku sidikit naik untuk melihat matanya. Kepalaku hanya sedada security itu. Tanganya besar berurat menggaruk-garuk dagunya. Aku mengeja nama yang ada di label namaya. Nama singkat yang hanya berisi satu suku kata.
"Bang supri, Raisanya ada ga?" tanyaku.
Raut wajahnya masih curiga dengan ku.
"Ade tuh, bentar lagu non Raisa keluar. Yaudah elu masuk aje dulu." Ia meninggalkanku. Aku mengikutinya dari belakang. Langkahnya begitu lebar seperti dua kali langkahku. Bunyi sepatu hitamnya berbunyi saat bergatian menyentuh aspal jalan.
Aku duduk di samping security sambil menyaksikan acara dangdut di salah satu stasiun televisi. Ia sedikit bergoyang dengan mengacungkan kedua jempolnya. Goyangnya mengikuti irama melodi seruling bambu dan ketukan gendang yang mengiringi lagu dangdut di TV.
Kasur lusuh itu masih berserakan dengan selimut dan bantal yang tidak di bereskan. Ia sama sepertiku, malas membersihkan tempat tidur.
"Ngopi dulu yuk." Ia menuangkan air panas ke sebuah cangkir.
"Ga usah bang, aku mau pergi bentar lagi. Bang, aku keluar bentar. Panas nih," kataku. Ia mengangguk sambil menyeruput secangkir kopinya.
Seseorang keluar dari rumah Raisa. Tangannya dengan perlahan menutup pintu agar tidak mengeluarkan bunyi. Jalannya begitu anggun tampak dari lenggak-lenggok jalannya. Ia mengusap rambutnya dan mengikat rambuntya dengan sebuah ikat rambut. Gerakan tangganya tampak lembut memastikan rambutnya terikat sempurna. Matanya perlahan menatap ke arahku.
Perlahan bibirnya membentuk garis senyuman hingga menampakkan gigi depannya. Matanya membesar merasakan hadirku disini. Alisnya yang tebal memberikan kesan teduh di sorot matanya. Pipinya tampak kemerahan walaupun aku lihat dari jauh.
Semerbak parfumnya begitu harum tercium saat ia sudah di hadapanku. Sepatu pansus melindungi kaki kecilnya. Baju kaosnya tampak pas dengan tubuhnya. Lekukan dadanya begitu jelas aku lihat. Aku menggelengkan kepala dengan cepat menghilangkan pikiran kotor yang sejenak menghigapi kepalaku. Wajahnya begitu berseri-seri membalas senyumku yang ku buat semanis-manisnya.
"Udah lama nunggu yah?" tanya Raisa.
"Udah sih. Tapi ga apa-apa. Bang Supri memintaku nemenin dia nonton acara dangdut." aku tertawa. Wajahnya cantik alami dengan bedak tipis mempoles wajah cantiknya. Bibirnya tetap kelihatan merah walaupun tidak memakai lipstick.
"Udah aku bilang, aku tampil cantik untuk kamu malam ini," ujarnya. Matanya cuek memandang ke atas.
"Whatever lah. yuk kita pergi." Aku mengulurkan tanganku.
Ia membalas membalas uluran tanganku dengan menggapainya dengan tangannya. Tangannya terasa hangat dan begitu semangat dengan eratnya genggaman. Ia menggoyangkan genggaman tangan kami ke depan dan ke belakang. Aku memasangkan sebuah helm ke kepalanya.
Aku dapat merasakan kelembutan rambunya walaupun hanya beberapa helai. Ia begitu lucu ketika aku pasangkan helm.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments