1

Aku duduk terkatung mendengarkan penjelasan Bu Rina tentang rumus-rumus matematikanya. Papan tulis itu tidak lagi putih karena dipenuhi oleh coretan rumus. Bau khas kayu tercium dari meja saat aku membiarkan diri untuk terlelap di atasnya. Membiarkan semuanya berlalu melelaui semilir angin yang berasal dari kipas semakin membuatku terlelap.

Inilah aku. Pikiranku lebih banyak diluar daripada di dalam kelas ini. Rambut itu, kacamata itu, senyum itu selalu terlintas begitu saja.

Seseorang yang selalu aku tuju ketika rasa jenuh melandaku. Khususnya pada saat ini. Aku tidak tahu mengapa ia selalu menjadi penyemangatku. Pembawaannya yang manis terasa nyaman ketika aku dekat dengannya.

Semua khayalan itu tiba-tiba terlintas. Senyum-senyum kecil tumbuh di lingkaran pipi ini, semakin membuatku terbang di tengah keributan yang terngiang di telingaku. Tidak seorang pun yang dapat menghancurkan semua imajinasiku yang tengah manisnya berputar di kepalaku. 

Imaji itu seketika hilang, pudar, serta sirna saat Arya menyenggol bahuku. Seketika senggolannya menyedot semua khayalan yang sempat terlintas di pikiran kecil ini.

"Ngayal mulu sih," sahut Arya.

"Bosan gua belajar Matematika. Rumus nya gilak semua," jawabku.

Tatapan Bu Rina yang tadi fokus dengan rumus gilanya, kini beralih kepadaku. Ia sepertinya mendengar perkataanku tadi.

Tatapan tajamnya membuat lutut ini seakan ingin copot mengingat Bu Rina jika marah seperti monster yang ingin memakan jiwa.

"Ulangi lagi Rangga, apa yang kamu bilang tadi? Ibu ingin dengar sekali lagi."

"Eh, enggak ada, Bu. Cuma becanda doang," jawabku dengan terbata-bata.

"Pantes aja nilai kamu itu jelek semua Rangga." Seisi kelas tertawa mendengar perkataanya. Ia kembali sibuk menuliskan semua rumus itu.

Di saat-saat yang seperti ini, pikiranku lebih banyak keluar daripada memikirkan pelajaran yang tengah berlangsung. Aku melihat Arya tengah sibuk menggambar di buku tulisnya, yang pasti gambarnya tak jauh beda dengan gambar-gambar yang pernah ia buat sebelumnya. Gambar orang yang berpakaian SMA selalu menghiasi setiap lembaran buku tulisnya. Bukan Arya namanya jika tidak menggambar di sela-sela kesibukan proses belajar-mengajar di kelas. Aku sudah biasa dengan hobinya itu.

Kini Bu Rina berhenti menulis rumus gilanya di papan tulis. Seperti biasanya ia hanya memberikan kami tugas yang ada di buku pelajaran. Parahnya lagi tanpa ada penjelasan tentang rumus yang telah membuat kepala kami hampir meledak memikirkannya. Salah satu hal yang menjadi ketidaksukaan aku dengan pelajaran yang satu ini. Rasa bosan yang semakin menggebu-gebu, membuatku ingin keluar dari kelas ini. Memanfaatkan dari kesibukan Bu Rina mengisi nilai-nilai dari buku agendanya, aku menyelinap keluar dari kelas.

"HAAAH!"

Rasa lega menghampiri sekujur tubuhku. Jika ketahuan ntah bagaimana nasibku nanti. Sekolah yang memiliki tingkat tiga ini, membuat nafasku sesak menelusuri setiap anak tangga yang tinggi. Aku meneruskan langkahku ke tempat paling puncak di sekolah.

Ya betul, itulah tempatku menyendiri. Tempat yang menjadi teman disaat kesendirianku. Tempat itu begitu sunyi, begitu tenang. Kesunyiaan itu selalu membuat hatiku yang tadi jenuh menjadi tentram.

Tempat itu hanya dihiasi oleh sebuah kursi yang ditemani oleh sebuah meja. Iring-iringan angin yang menerpa wajahku membuat kesejukan tersendiri. Bau khas sore hari menjadi padu dengan suasana langit sore nan indah. Suara teriakan anak basket begitu riuh saat salah satu pemainnya berhasil memasukkan bolanya kedalam ring. Jalan-jalan begitu jelas terlihat dari sini. Terlihat sesak dipenuhi oleh banyak kendaraan. Maklum, ini sore hari. Semua sibuk untuk pulang, yang mungkin saja orang-orang yang disayanginya sedang menunggunya di rumah.

Aku hampir saja melupakan kejenuhan sehabis dihajar oleh rumus-rumus gila Buk Rina di kelas tadi. Aku berharap ia masih saja sibuk mengisi nilai-nilai di bukunya. Aku juga berharap ia memberiku nilai di atas kkm, mengingat nilai ku selalu jelek di mata pelajarannya.

Lagu yang aku hidupkan saat ini memberikan makna lebih dari bersantai pada sore hari ini. Terlintas di pikiranku tentang masalah yang menggerogoti pikiranku selama ini.

Ya memang, aku memang payah dengan persoalan percintaan. Aku hanyalah pecundang bodoh yang tidak berani menyatakan cinta. Aku lebih memilih memendam rasa daripada menyatakannya. Aku hanya melempar senyum kepada wanita yang aku sukai dari jauh. Bahkan di saat ini, aku hanya bisa melemparkan senyum dari jauh dan berharap ia merasakan senyuman jarak jauhku ini.

Mungkin hal ini melandaku karena berbagai penolakan yang aku terima di masa lampau. Ya benar, ini seperti semacam trauma yang aku rasakan karena aku takut menerima penolakan yang pernah aku rasakan dulu.

"Waktu berlalu begitu cepat sehingga tak aku sadari waktu pulang sudah dekat. Aku biarkan kembali diriku diterpa oleh iringan-iringan angin yang setiap detik terhempas di wajahku. Rasa sejuk oleh terpaan angin ini membuat mata ku perlahan menutup. Aku biarkan permasalahan ku terbang di bawa angin. Aku biarkan hilang terbawa oleh tarian angin yang menerpa wajahku. Setiap detik mata ini semakin berat, semakin berat, dan tak tertahankan. Imajinasi yang terbawa dari kelas menjadi bunga tidur singkat pada saat ini. Aku biarkan diriku terlelap dan berharap terbang bersama imajinasi di bunga tidur ini.

"Woii!" Seorang wanita menghempaskan pena miliknya tepat ke keningku.

"Apa itu?" Kakiku langsung menegakkan diri.

"Orang udah pulang semua loh mau tidur di sini?" balasnya.

"Eh kamu, Re. Mengejutkan aja tahu!" ujarku sambil membenarkan mataku yang masih sayup-sayup selepas tidur tadi.

"Ga ke Base Camp?" lanjutnya.

"Iya, mari kesana."

kami segera pergi ke parkiran untuk mengambil motor.

Parkiran kami berada di luar sekolah. Sekolah tidak mengizinkan kendaraan kami untuk diparkirkan di lingkungan sekolah. Kendaraan yang boleh masuk hanya pengguna yang sudah memiliki SIM. Jika nekat saja untuk ke dalam, siap-siap motornya kempes dibocorin oleh penjaga sekolah.

"kamu bawa motor, Re?" tanyaku kepada Rere.

"Tuuu," jawabnya dengan telunjuk menunjuk ke motornya.

"Bersih amat motor lo?" tanyaku kembali

"Emangnya kamu ..... Ih jorok banget kaya motor abis ke sawah," candanya kepadaku.

Ia tertawa dan memperlihatkan lesung pipitnya yang dalam. Dorongan tanganku membuat tubuhnya ikut terdorong. Ia membalas dorongan itu kembali.

Ya ... yang namanya cewek, dorongannya tidak begitu terasa oleh ku. Ia kembali tertawa dan memperbaiki letak kacamatnya. Kebiasaannya itu begitu lucu.

"Ciee ganti kaca mata yaa... Berapa puluh kaca mata sih yang kamu punya?" tanyaku dengan tertawa kecil.

"Kasih tau ga yaaa. Kepo sihh. Daaaah.... Sampai jumpa di Base Camp yaaa." Ia meng-gas motornya.

Motor ini belum juga menghidupkan dirinya. Berkali-kali mencoba, berkali-kali keringat bercucur untuk menghidupkan motor ini.

"Ayo kawan." Aku mencoba berbicara kepada motor, berharap ia mengerti kata-kataku ini.

"Huhhh," ujarku sambil menepuk jok motor. "Sekali lagi pasti bisaa."

Brrrmmmmmm ....

Motor akhirnya hidup juga. Aku bisa menyusul mereka yang mungkin sedang menungguku di Base Camp.

Ada sesuatu dibalik suatu senja pada ruang-ruang tunggu pada dirinya.

***

Terpopuler

Comments

Ran_kudo

Ran_kudo

novel yg ini lbh mirp kya david reira ya bang..
alur cerita / pov nya dr aku (rangga)
beda sm andi sarah, lbh ringan gitu bacanya..hehe😊

2020-08-23

1

Husainaina

Husainaina

pengalaman pribadi nih kayaknya

2020-04-26

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!