Cahaya matahari sore begitu cerah pada saat ini. Wangi khas sore hari terasa jelas tercium oleh hidungku. Lalu lalang kendaraan begitu ramai di jalanan beraspal. Aku berusaha menghitung setiap kendaraan yang sewarna dengan motorku.
"sepuluh, sebelas, dua belas," kataku dengan volume kecil. Seakan hanya butiran debu saja yang dapat mendengar suara kecilku.
"Oiiii, bengong aja kamu," kata Rere dari belakangku.
Senyumnya terpancar dengan lebar. Matanya menyipit di balik kacamata bergagang tebal itu. Lesung pipit dalam timbul di balik senyumannya.
"Waduh, kamu rupanya. Ngagetin aja." Aku kembali melihat pemandangan gedung-gedung sekolah dari atas sini.
"Ga baek loh bengong-bengong gitu. Mikirin aku yaaa? Atau mikirin Raisa? Hehehehe."
Diriku terkejut mendengar perkataan itu.
"kalau mikirin kamu emang napa?"
Aku mencoba bercanda.
"Jangan dong... Ntar suka loh" Ia sedikit menggeleng. Pipinya kelihatan memerah.
"Rupaya kamu pandai gombal juga yaa. Belajar dari mana tuh?" tanyaku.
Pipi Rere menampakkan lubang kecil nan imut. Lesung pipit yang selalu keluar di sela-sela tawa atau senyumannyaa. Alis matanya yang tebal menjadi peneduh matanya nan indah itu. Kacamatanya seolah-olah penambah manis yang menjadi pesona sosok Rere.
Di tangannya terlihat ada kertas yang berisi tugas-tugas Biologinya. Istilah-istilah dalam biologi menjadi pengisi di tugas-tugas gilanya itu.
Berbeda dengan aku sebagai anak IPS. Buku akuntansi selalu menjadi temanku disini. Kadang tugas akuntansi yang mencatat semua transaksi perusahaan jasa membuat pusing kepalaku.
"Gimana dengan Rio?" Tiba-tiba Rere memecah keheningan diantara kami.
Sorot matanya mengedar ke hamparan tingginya gedung-gedung perkotaan.
"Yaaa begitu lah. dua hari ini aku liat Rio sedang ngumpul sama teman-temannya. Kadang mereka ngeliat balik aku dengan tatapan yang seperti ini." Aku melihatkan tatapan sinis ku kepada Rere.
"Hehehe tenang aja kok, kalau ada aku dia ga bakalan nyerang kamu lagi." Ia mencoba menenangkan diriku.
"Kemarin aja kamu hampir kena tendangan dia. Untung aja ada Dede." Aku tertawa sedikit.
"Eeiitttss ..... aku bisa bela diri lohhh." Ia menunjukkan gerakan bela diri versi dirinya. Gerakannya itu terkesan asal-asalan.
Tanganku menarik tangannya guna membawanya kembali ke kelas. Tidak baik sang juara kelas berkeliaran di saat jam pelajaran yang masih berlangsung.
Rere sama sepertiku, kami akan keluar keluar dari kelas jika rasa jenuh mendatangi kami di dalam kelas. Apalagi pelajaran yang membosankan, seperti matematika contohnya yang bisa memuat rambut-rambutku ini menjadi keriting memikirkannya.
Rere menepuk pundakku dengan keras.
"Aku duluan dulu yahhh, rasain tuh." Ia berlari.
Bel pulang berbunyi......
Aku dan tas milikku yang sesak dengan buku-buku yang jarang aku baca bergegas pergi dari sekolah ini. iring-iringan para murid yang ingin pulang sangatlah banyak. Motorku sudah tampak di sela-sela motor lainnya. Pagi-pagi biasanya aku mengusahakan agar motorku terparkir di bagian depan agar ketika pulang lebih cepat keluarnya.
Sesorang memukul jok motorku. Pukulan itu terdengar begitu keras hingga membuat terkejut. Mereka berdua menatapku dengan tajam.
"lo ikut kami berdua," kata salah satu dari mereka. "
Mau apa sih?" Aku menjawab dengan keras.
"Lo jangan banyak tanya." Aku ditarik mereka berdua dan memasukkan aku ke dalam mobil berwarna hitam itu. mereka mengikat tanganku dengan sebuah tali.
Ikatannya sangat kuat sehingga aku tidak bisa melepaskan diri. Karung yang mereka pasangkan ke kepalaku membuat aku tidak bisa melihat siapa saja yang berada dalam mobil ini.
Ini persis seperti penculikan. Ya benar, ini adalah penculikan. Tapi apa motif mereka mencuriku seperti ini, itu yang tidak aku ketahui. Aku bisa mendengar semua yang mereka katakan.
"Rangga." Aku mendengar nama itu di sela-sela percakapan oleh mereka.
Aku kembali menggali ingatanku dengan mereka. Apa hubungan mereka dengan Rangga.
"Ya benar. Ini adalah teman-temannya Rio." Aku memberontak dan berusaha melapaskan diriku.
Pukulan keras ke pelipisku membuatku kembali terdiam. Aku memang tidak bisa melepaskan diri pada saat ini, mengingat aku sedang ditahan didalam mobil.
"Apa mau kalian?" Aku berteriak. Mereka hanya tertawa mendengar kaliamatku tadi. Suara serakku kembali keluar.
Aku merasakan supir mobil ini mengerem untuk berhenti. Telingaku mendengar pintu mobil yang dibuka oleh salah satu dari mereka. Aku kembali ditarik untuk keluar dari mobil ini. Dorongan begitu kuat membuat diriku terjerembab di tanah. Aku masih tidak tahu di mana aku berada, karung yang mereka pasangkan di kepalaku menutup penglihatanku. Aku hanya bisa mendengar apa yang mereka katakan.
Sesorang berkata tepat di telingaku. "Udah gua bilang sama lo kan. Akan gua balas!" bisiknya di telingaku.
"Mau lo apa?" Aku mengenali suara itu adalah suara Rio.
Pakkk!!!!
Pukulan keras ke pipiku membuat diriku tidak semakin berdaya.
"Woi pengecut lo. Lepasin ikatan ini baru kita kelahi. Dasar pengecut!." Aku meminta melepaskan ikatan tali di tanganku ini.
Rio meminta salah satu dari temannya untuk melepaskan ikatan di tanganku ini. Aku kembali merasakan aliran darah yang sempat terhenti oleh ikatan tadi. Semangatku tiba-tiba bergelora saat ia melepaskan karung yang menutup kepalaku.
"Lupakan masa lalu." Hatiku bergumam karena bersemangat ingin menumbangkan sosok nan sombong yang ada di depanku.
Pukulanku melesat tepat ke pelipisnya. Erangan kesakitan keluar dari mulutnya. Ia membalas pukulanku tadi dengan kembali melesatkan pukulannya kepadaku. Tangan kecilku bisa menepis pukulannya itu, aku ingat teknik menahan serangan yang sempat diajarkan oleh Dede kepadaku.
Dua orang temannya menahan kedua tanganku. Rio dengan cepat melesatkan seranganku tepat ke perutku. Aku merasakan ulu hatiku menjerit kesakitan. Sakit itu menjalar hingga ke dadaku hingga aku sulit bernafas. Pukulan itu membuatku tidak berdaya. Sekali pukulan di perut memang sangat mematikan. Aku semakin lemas karena kesulitan bernafas.
Pipiku kembali terkena lesatan pukulan oleh kepalan tangannya. Seketika aku muntah karena pukulan di perut tadi. Aku membuka mata, samar-samar aku melihat wajah Rio yang tertawa senang melihat diriku habis di hajar mereka.
Mataku semakin samar melihat mereka di hadapanku. Kesadaranku lama kelamaan semakin hilang. Aku berusaha untuk mempertahankan kesadaran yang masih ada.
Rio mendorongku ke tanah. Aku tergeletak lemas di tanah. Mataku melihat seseorang berlari sambil melesatkan tamparan ke Rio. Rambutnya terlihat samar-samar di mataku. Kata-katanya begitu tegas mengusir orang-orang yang menghajarku tadi. Aku mendengar dengan jelas bunyi tamparan di pipi Rio.
Rio dan kawan-kawannya bergegas meninggalkan tempat ini. Wanita yang tadi berusaha mengusir Rio, kini mengoyang-goyangkan tubuhku untuk mengembalikan kesadaranku. Tangan lembutnya memukul-mukul dadaku.
Kesadaranku semakin menghilang. Aku mendengar suara kaki berlari ke arahku. Mereka mengotongku entah ke mana. Satu suara yang paling gelisah terdengar oleh kedua telingaku.
"Rere kau selalu panik," gumamku di dalam hati.
Aku menutup mataku dan membiarkan diriku dibawa mereka. Aku lelah sekali.
Tiba-tiba air imenerpa kepalaku.
"Woi..." Aku terkejut diterpa air tepat di kepalaku. Penglihatan mataku masih sayup-sayup perlahan memulihkan pemandangannya. Mereka yang ada di hadapanku duduk sambil menatapku. Cewek itu masih memegang gayungnya. Sorotan matanya begitu indah mengalahkan sorotan lemah mataku. Ia menepuk-nepukkan telapak tangannya.
"Bangun Rangga," katanya. Aku sekarang bisa melihatnya dengan jelas.
"Rere. di mana aku?" tanyaku
"Nih anak masih belum sadar juga nihhh," kata Dede sambil menepuk pipiku dengan keras.
"Sadar lo woi. Sejak kapan Rere ga pake kacamata."
Tepukan di pipiku member energi lebih untuk membangkitkan kesadaranku.
"Raisa ...." Aku melihat Raisa yang sedang memegang gayung. Seketika itu aku berusaha duduk dan mengedarkan penglihatanku. Mereka membawaku ke Base Camp.
"Syukurlah, kamu udah bangun." Raisa sambil meletakkan gayung ditangannya kembali.
"Kamu masih ingatkan kalau kamu tadi dihajar sama Rio?" tanya Vena.
"Masih lah," jawabku. Penglihatanku masih sayup karena kantuk dan lelah. Mereka semua tampak berkumpul di sini.
"Makanya jangan kelahi kalau ga bisa kelahi," kata Rere sambil memencet luka bengkak akibat tinjuan Rio tadi. Ia kelihatan marah.
Dede dan Zaki hanya tertawa melihatku kesakitan akibat sentuhan Rere barusan. Peluhku bercucur di keningku. Hawa pengap begitu terasa kerena mereka mengelilingiku disini. Raisa mengelap keningku dengan handuk kecilnya. Gerakan tangannya begitu lembut.
Seketika Dede menghentak kayu gazebo.
"Ini enggak bisa dibiarkan!"
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments