Dari kejauhan kendaraan mereka sudah terparkir di depan rumah itu. Aku bergegas menyusul untuk mengabsenkan diri. Langkahku tertuju pada pintu rumah yang selalu terbuka untuk kami. Terlihat oleh mataku mereka sudah berkumpul di sana melakukan hal yang biasa kami lakukan.
Asisten rumah tangga Rere biasanya menyiapkan minuman untuk kami semua. Papanya juga selalu membeli makanan untuk bersantai kami di Base Camp. Papanya juga telah biasa dengan kebiasaan kami untuk nongkrong dulu setelah pulang dari sekolah.
Aku meletakkan tas yang cukup menyiksa punggungku dari tadi. Mereka juga belum merasakan kedatanganku dan masih sibuk dengan hal-hal menarik yang mereka lakukan. Soft drink yang ada di meja membuat kerongkonganku tiba-tiba merasa haus.
Kreeeeekkk
Tutup soft drink itu berbunyi ketika di buka.
Suasana yang selalu aku rindukan ketika pulang sekolah. Taman halaman belakang yang bagus. Bunga matahari yang menghiasi sudut halaman, serta tata halaman karya tukang kebunnya Rere membuat rasa penat kami akibat berjam-jam terkukung di sekolah hilang sirna. Kolam renang yang cukup besar juga sering kami gunakan ketika mama dan papanya Rere tidak ada dirumah.
Aku duduk di sofa faforit ku di Base Camp sambil menikmati minuman yang baru aku buka tadi. Sesekali si Cimoy, kucing Rere mengeong dihadapanku. Mungkin ia mengira minuman ini cocok untuknya.
Kucing Rere cukup banyak, aku hanya mengingat kucing yang satu ini. Ya namanya Cimoy, yang pernah menyuri ayam goreng yang kami pesan. Pada saat itu kami sedang sibuk bermain kartu UNO. Ia memanfaatkan keteledoran kami untuk menggasak semua ayam goreng itu. Bisa jadi membagikannya kepada kucing-kucing lainnya bak seorang Robin Hood.
"Hushhhhhh" Aku mengayunkan kaki ke kucing nakal itu. Sontak ia mengeong keras yang membuat teman-temanku menyadari aku sudah ada disini.
"bro, udah datang dia tuh," teriak Dede di tempat mereka berkumpul.
Aku berlari menuju tempat mereka di pondok kayu yang sengaja di sediakan oleh Papanya Rere.
"Lama banget lo, Rangga?" tanya Zaki kepadaku.
"Maklum zak, motor lama hidupnya. Biasalah," jawabku sambil mengambil krikpik di toples.
Rere menepuk kakiku yang tidak sengaja menginjak jarinya yang kecil itu. Kacamatanya berganti lagi. Entah berapa kaca mata yang ia punya. Dede dan Zaki kembali melanjutkan duel catur yang tak pernah usai. Mereka handal dalam bermain catur. Duel-duel mereka selalu sengit.
Rere asyik menonton duel catur antara Dede dan Zaki. Sesekali Zaki memperlihatkan ekspresi kecewa karena salah melangkahkan anak caturnya. Sedangkan Vena sibuk dengan handphone di tangannya.
"Re, ganti lagi kacamata nihhh," ujarku sambil mengambil bando ungunya.
"Ini khusus dirumah. Nah kamu kapan ganti motornya?" balas Rere. Pertanyaannya menundang tawa teman-teman yang lain.
"Nah itu yang aku ga tau." Aku ikut tertawa.
Rere kembali memperlihatkan garis tawanya yang terakhir kali aku lihat di sekolah tadi. Papa Rere datang menghampiri kami. Sosok pria yang tinggi dan tegap berkumis tebal itu masih kelihatan gagah ketika berjalan. Ia sosok yang mudah tersenyum, sama seperti anaknya yang selalu tersenyum. Sepertinnya ia baru saja pulang dari tempat kerjanya.
"Oom ...," sapa kami dengan serentak.
"Yupp, seru banget main caturnya nih. Re, makanannya ambil lagi tuh dirumah," katanya sambil melihat duel catur Dede-Zaki.
Aku mengambil nafas sejenak. Sungguh bahagia memiliki teman yang seperti mereka. Selalu kompak dan mau meluangkan waktu untuk berkumpul bersama. Meluangkan waktu untuk bisa berbagi bersama.
Mulai dari Dede, dengan nama lengkap Dede Haryanto. Ia seseorang yang bijaksana, periang, yang pastinya lawan duel Zaki dalam bermain catur. Di antara laki-laki di sini, ia memang yang paling tinggi dan besar. Seseorang yang pemberani. Memiliki kesetiaan teman yang tinggi.
Di sekolah ia cukup disegani, mungkin karena ia seorang yang berani. Kalau ingin berkelahi dengannya, harus pikir dua kali dulu. Walaupun di luar ia dianggap seperti itu, di sini ia merupakan seorang yang periang dan lucu.
Ia juga sebagai mesin pengeluar candaan yang acap kali mengocok perut kami akibat lelucon bodohnya itu. Walaupun kami tidak ada memilih ketua di antara kami. Tapi aku menganggap dirinyalah pemimpin dari kelompok kami. Jiwa kepemimpinannya membuatku kagum akan sosok Dede.
Dede juga pernah membantu Zaki saat di cegat sama anak mesin SMK dekat sekolah. Beruntung saja Zaki sempat mengubungi Dede denga cepat sehingga Dede bisa cepat menuju ke TKP. Mereka kocar kacir dihajar oleh Dede. Pada saat itu aku, Vena, dan Rere masih di sekolah. Kami dengan cepat menuju ke tempat kejadian. Aku melihat Zaki membatu Dede berjalan. Aku mengehela nafas saat menyadari mereka tidak apa-apa. Dede sungguh pemberani.
Selanjutnya Zaki. Ia memiliki nama lengkap Zaki Mubarok Ramadhan. Cowok yang memiliki wajah yang cukup tampan berwajah oriental lengkap dengan kepintaran yang ia miliki. Kulitnya yang putih dan tinggi semapai membuat seluruh wanita bisa jatuh hati padanya. Tentu saja dia adalah lawan duel catur Dede.
Selain memiliki kepintaran dan ketampanan, ia juga handal dalam berolahraga. Kapten dari tim Futsal SMA kami ini selalu menorah prestasi untuk sekolah. Berbagai kejuaran futsal ia menangkan bersama tim futsalnya.
Ketampanan yang ia miliki tidak begitu ia gunakan. Berbagai surat cinta dari banyak wanita selalu berdatangan kepadanya. Berbagai ungkapan cinta yang ia dapatkan, tak satupun ia terima cintanya. Ia tetap setia dengan Ketua PMR sekolah kami, Tania Dwi Putri.
Zaki sering memberkian tips untuk mendapatkan hati wanita kepadaku. Ia juga turut prihatin dengan masalah "Kejombloan"-ku ini.
Yaaa namanya orang tak mengerti cinta, aku tidak memanfaatkan saran-saran bagusnya itu. Ia juga sering memperkenalkan beberapa wanita kepadaku. Ya tetap saja, aku tak bisa mendapati hati wanita itu.
Yang aku kagumi dengan sosok Zaki, ya tentu saja ketampanan dan skill-nya dalam berolahraga. kemampuannya mendekati wanita tidak bisa dianggap sepele. Mungkin, seluruh cewe disekolah bisa ia dekati dengan mudah.
Kepintaran yang ia memiliki juga cukup membuat saingan-saingan di kelasnya kewalahan mengalahkan nilai-nilai Zaki. Zaki menjadi pusat jawaban jika ulangan atau ujian dilaksanakan. Ia juga tak pelit membagi jawabannya ke anak-anak yang lain. Baginya nilai yang tidak menjadi kebanggaan, yang menjadi kebanggan itu ilmu yang ia dapatkan. Apa gunanya nilai tinggi tetapi ilmu yang kita dapatkan sangat sedikit.
"Majulah, tanpa menjatuhkan orang lain."
kata bijak darinya yang selalu aku pegang teguh.
Selanjutnya namanya Vena. Vena memiliki nama lengkap Alvena. Nama yang cukup singkat, bukan? Sosok tomboy yang satu ini selalu memberikan penyeimbang diantara kelompok kami. Saran-sarannya begitu bermanfaat di kala kami ada permasalahan. Otaknya yang brillian selalu jadi pemecah masalah yang sesekali datang.
Di mata siswa-siswa yang lain ia begitu misterius. Sikapnya yang dingin dan pendiam menjadi ciri khas yang selalu menjadi icon seorang Vena. Ciri khas yang lain yaitu rambut pendek yang menjadi makhota pemanis Vena. Vena cocok sekali dengan rambutnya itu. Walaupun dengan rambut yang pendek, ia tetap manis. Ada banyak lelaki di sekolah yang terpikat dengan sosok yang misterius ini. Berbagai perasaan cinta yang ia terima dari laki-laki di sekolah, ia selalu ada cara menolaknya. Tak satupun ia terima. Baginya cinta bukan prioritas utamanya.
Laptop yang selalu ia bawa menjadi sahabat baiknya dalam mengisi hari-harinya. Nilai pelajaran komputernya selalu tinggi. Ia sangat handal dalam dunia komputer. Bisa dibilang ia menjadi hacker di sekolah kami. Namun keahlian yang ia punya tidak digunakan untuk kejahatan.
Yang aku kagumi dari Vena ialah sikapnya yang tenang jika ada masalah. Mungkin ia sedang memikirkan cara untuk memecahkan masalahnya. Kami juga sering curhat padanya. Terutama aku, yang menceritakan soal kepayahanku dalam soal percintaan. Walaupun di mata orang lain dia cukup misterius dan dingin, dengan kami ia sangatlah terbuka dengan pendapat-pendapat brilliannya.
Kalau yang satu ini namanya Rere. Memiliki nama lengkap Refani Monica Sucipto. Bisa dipanggil Rere, bisa juga dipanggil Sucipto. Ia selalu marah jika ia dipanggil dengan nama akhirya, Sucipto. Anak bapak Sucipto ini yang mengumpulkan kami sehingga kami bisa berkumpul di Base Camp.
Ia yang pertama kali membuat kelompok ini. Ia juga yang memberikan nama ke kelompok ini dengan nama, "Anak Pondok Belakang" dengan singkatan APB.
Aku sering tertawa saat ia menyebutkan kepanjangan dari APB. Begitu aneh jika di dengar. Tapi jangan menilai dari sebuah nama, tetapi lihatlah dari kekompakan kami yang selalu terikat satu sama lain. Yang selalu menjadi sumber rindu di kala jenuh datang, yang selalu menjadi penghapus sedih di kala pilu.
Rere seorang gadis periang dan mudah terenyum. Kulitnya yang seputih susu itu bertambah cantik ketika garis-garis tawanya muncul dari pipinya. Senyuman yang begitu manis bersatu pada kecocokan kacamatanya yang selalu berganti seiring dengan bergantinya suasana. Entah berapa ratus kacamata yang ada di kamarnya.
Rambut hitam panjang selalu dihiasi dengan kemilau bando ungunya. Ia satu-satunya primadona "Anak Pondok Belakang".
Lesung pipit yang tertanam di kedua pipinya menjadi penambah kadar manis yang aku pikir bisa membuat diabetes setiap cowok yang melihatnya. Termasuk aku.
Rere seorang yang kreatif. Menulis salah satu keahlian yang ia punyai. Karya-karya yang ia ciptakan selalu menuai pujian dari guru-guru maupun siswa. Tidak bisa dipungkiri ia salah satu anak populer di sekolah. Kecantikan dan kreatifitas yang ia miliki selalu melekat di dalam diri Rere. Karya-karya yang ia buat selalu tertempel di mading sekolah. Hasil tulisannya juga banyak tertera di surat kabar, majalah, terutama majalah sekolah. Banyak yang menyukai dan menjadi pembaca setianya.
Tidak bisa dipungkiri lagi salah satu pembaca setianya, yaitu lagi-lagi aku.
Makhluk dengan cubitan paling menggelegar ini, sangatlah manja. Tetapi kemanjaannya itu yang membuatnya semakin imut. Waktu itu ia pernah ingin membeli buku. Membaca buku salah satu hobinya. Di saat-saat pulang sekolah yang terik panas matahari bisa mematangkan otak jika dibiarkan, ia malah menyuruhku untuk mengawaninya ke Gramedia. Rasa malas dan kantuk yang begitu menyiksa kepala ini.
Terus semakin parah saat ia berkata, "Temani aku dong ke Gramedia."
"Ga ah. Ngantuk nih. Pergi aja sendiri," sontak aku menjawab.
Grrrrrrrr ....
Cubitan monster itu melekat ke perutku yang tengah dilanda kelaparan. "Aku ga bakalan lepas sampe kamu bilang mau"
Rasa sakit yang luar biasa dihasilkan oleh cubitannya, walaupun dari jari mungil milik Rere. Sepuluh detik menahan sakit yang luar biasa itu akhirnya lepas juga.
Dengan mata yang berharap dan wajah penuh kasihan diperlihatkan Rere bak seekor kucing yang tengah meminta sepotong tulang. Ditambah lagi tangannya yang terus dan terus memukul lembut bahuku.
"Ayolah"
"Ayok"
"Aku bilangin papa loh."
"Jahat."
Berkali-kali kata-kata itu berputar-putar di telingaku tanpa henti.
Sesampainya di sana, aku yang membayar.
Parah, kan?
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
ayyona
serius ini tulisan pertama Bang?
2021-01-17
0
prilly
nama kucingnya CIMOY, kerecehanku pun bergelora seketika.
2020-06-27
1