Luka Rere sepertinya sudah sembuh. Ia mengunjungiku saat aku menyendiri sendiri di tempat yang biasa menemaniku. Angin sore sangat sejuk di tambah aroma wangi khas di sore hari. Langit-langit di sebelah barat tampak ke kuning-kuningan yang menjadi tanda matahari ingin menyembunyikan dirinya.
Aku menatap burung-burung yang tengah asyik terbang dengan teman sepermainan mereka. Aku berharap bisa terbang bebas mereka. Berharap bisa terbang meluapkan semua yang bisa membuat pikiranku membatu setelah berjam-jam di hantam pelaran di sekolah.
"Aku ingin beli buku ini. Limited Edition loh. Penulisnya sangat terkenal," katanya sambil menunjukkan gambar buku itu di handphonenya.
Aku hanya mengangguk. Secara tidak langsung Rere kembali memintaku untuk mengawaninya ke toko buku untuk membeli buku itu.
"Tenang aja kok, aku akan temenin kamu ke toko buku besok." Aku menepuk-nepuk bahu Rere.
"Tapi ga usahlah. katanya buku itu tinggal dua buah aja. Aku ga bakalan dapat membeli bukunya," katanya sambil menatap sedih ke langit.
Matanya terlihat murung. Lesung pipitnya yang dalam hilang seperti ditimbun oleh wajah murungnya.
"Tenang aja, aku pasti dapat buku itu. Untuk Rere apa yang engga ...." Aku mencubit pipi imut Rere.
Ia sesekali memukul-mukul tanganku mencoba melepakan cubitan manja dariku.
"Eh Rangga. Kamu seriuskan dengan si Raisa? Saingan kamu berat loh. Bisa jadi hal yang dulu pernah terjadi kepadamu, sekarang terulang kembali. Beneran kamu mau dapetin Raisa?" katanya dengan panjang lebar.
Aku mengedarkan penglihatanku. Dari kejauhan tampak seorang yang aku tunggu-tunggu kehadirannya. Seseorang yang memang selalu ingin kupandang sejak pandangan pertama. Hatiku terasa adem saat memandang wajah cantik bak bidadari itu. Bertambah adem karena angin yang menerpaku di sore hari ini.
Raisa dan kawan-kawannya sepertinya bergegas pergi ke parkiran. Aku tidak bisa membiarkan ia lepas dari penglihataku. Kelopak mata ini tidak berkedip hingga ia hilang sendirinya di pandanganku karena berbelok arah.
"Woi, lu denger gaa?" ucap Rere tepat di telingaku.
"Hah? Apa yang kamu bilang tadi?"
"Hmm kamu ini." Ia melipat tangannya.
Keesokan harinyaa.....
Di hari minggu yang cerah ini waktu yang tepat untuk pergi ke toko buku. Toko bukunya ada di Mall yang tidak terlalu jauh dari rumahku. Aku mengingat judul buku yang dimaksud oleh Rere kemarin. Dengan semangat apinya aku menunggangi motor yang selalu menjadi temanku kemana saja.
Aku sengaja tidak mengajak Rere dan menghadiahkan buku ini sebagai surprise untuknya. Ia sepertinya sangat menginginkan buku itu. Itu terlihat dari wajah murung yang ia sempat tunjukkan kemarin.
Di toko buku aku melangkah berkeliling demi mencari buku itu. Setiap pojok tempat berjejernya buku tak lepas dari incaranku. Namun, buku yang di inginkan oleh Rere tetap saja belum ketemu.
Kulangkahkan kaki untuk naik satu tangga ke atas. Semoga bukunya ada di atas. Usaha yang kulakukan tetap saja nihil. Buku itu sepetinya sudah habis terjual.
"Bang, buku ini masih ada ga?" Aku menunjukkan foto buku itu kepada salah satu pegawainya di sana.
"Oh ... bukunya habis. Barusan ada cewe yang beli buku itu. Yang dibelinya adalah buku terakhir." katanya kepadaku.
Aku menghela nafas sejenak dan mengelap peluh yang bercucur di keningku. Hati ini kecewa karena tidak bisa mendapatkan buku itu. Ternyata kali ini aku tidak bisa memancarkan senyum Rere kembali. Dengan wajah tertunduk kaki ini melangkah.
Tiba-tiba seorang menabrak bahu kiriku. Sontak ia menjatuhkan buku yang baru saja ia pilih untuk dibeli. Rambut panjangnnya tergerai menutupi wajahnya saat terjerembap ke lantai. Bunyi rintihannya saat terjatuh begitu jelas terdengar di telingaku.
Dengan sigap aku menggapai tangannya untuk membantunya kembali tegak. Tangannya begitu halus saat bergesekan dengan tangan kasarku. Wajahnya mulai terlihat jelas. Wajah yang begitu teringat oleh pikiranku.
"Raisa," kataku dengan terkejut.
"Kamu," balasnya. Aku mengedarkan penglihatanku untuk memastikan tidak ada yang melihat kejadian ini.
"Kamu ngapain disini?" katanya sambil merapikan bajunya.
"Biasanya orang kesini ngapain?" Senyumku terpancar.
"Oh iya ya. Betul juga kamu." Ia membalas senyumku.
Ia kelihatan manis dengan baju warna merahnya itu. Aku terkadang salah tingkah saat berjalan di sampingnya. Tatapan matanya yang begitu kuat membuatku tidak berani menatap lama matanya. Roknya terkadang tersingkap ke atas saat ia melangkahkan kakinya. Aku begitu dekat dengannya. Dada ku terasa berdetak kencang tak karuan. Wangi parfum yang masuk membuatku teringat saat kami pertama bertemu.
Aku menunggunya di sini saat ia membayar buku yang ingin dibelinya. Biasanya aku berdua dengan Rere, kini aku berdua dengan bidadari yang satu ini. Terasa mimpi saja. Sesekali aku mencubit tanganku untuk menyadarkanku jika ini memanglah sebuah mimpi.
Orang yang aku tunggu akhirnya datang. Dengan senyum khasnya ia melambaikan tanganya kepadaku. Senyum manis di bibir merahnya mengingatkanku dengan senyum Rere.
Senyum mereka begitu sama, begitu manis, begitu terpancar indah. Ia menjinjing plastik berisi bukunya tadi, tak lama kemudian ia memasukkannya ke tas sandangnya.
"Haus nih .... Pergi minum dulu bentar yuk." Ia menarik tanganku ke café yang berada tepat di hadapan kami.
Untung gua bawa uang lebih, gumamku di dalam hati. Maklum, aku tidak biasa main ke café.
Di meja itu kami duduk berhadap-hadapan. Ya seperti pasangan sejoli yang tengah di mabuk asmara. Tapi aku sadar, yang di mabuk asmara hanya aku saja. Entah sampai kapan cinta sepihak ini bertahan.
Dia belum tau rasa yang ada di hatiku ini, aku juga belum tau apa yang ia rasakan terhadapku. Aku tidak ahli dalam menebak hati wanita.
Lima belas menit berlalu, percakapan kami masih terasa alot. Cappucino ice yang kami pesan telah habis setenggah gelas. Aku masih terasa kaku untuk melontarkan percakapan.
"Sama siapa kesini?" tanyaku.
"Tadi sama teman. Cuma dia pergi dulu bentar. Ntar, ia kesini lagi nanti."
Aku sengaja tak bertanya lagi. Dari tadi aku selalu yang melontarkan pertanyaan.
"Oooh ...," kataku sambil mengangguk. Aku berusaha keras untuk mencaria topik yang menarik untuk dibahas di meja ini. Jariku mengetuk-ngetuk meja di sela-sela percakapan kami.
"Kamu beli buku apa sih?" tanya Raisa sambil mengelipkan rambut panjangnya ke belakang telinga. Aku menaikkan alis sebentar.
"Tadi aku mau beli buku. Cuma bukunya ga ada. Untuk Rere sih sebenarnya," jawabku.
"Hmm dia pacarmu ya? Segitu maunya beliin dia," katanya sambil menepuk tanganku dengan telapak tangannya.
Pertanyaan yang sama saat di taman sekolah tiga hari yang lalu. Pertanyaan yang pernah membuat aku dan Rere tersipu malu. Ia masih penasaran tentang hubunganku dengan Rere. Mungkin ini dikarenakan aku selalu dekat dengan Rere. Namun, itu hanya kedekatan sebatas sahabat.
"Enggak, dia itu temen aku dari SMP. Cuma kami memang kelihatan deket," kataku sambil menyedot minuman itu dari pipet.
"Oo begitu. Aku kira dulu kalian pacaran. Soalnya dekat mulu."
Ada senyum saat ia telah mengentahui hubungan sebenarnya antara aku dan Raisa. Rasa penasaran yang telah terpenuhi membuat percakapan kami semakin menarik, seakan tidak ada yang menghambat lagi.
Tidak terasa kami telah meluangkan waktu disini selama satu jam. Minuman yang kami pesan tadi telah habis diminum. Aku menahan sendawa agar tidak kedengaran oleh Raisa.
Ia sedang sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. Ia tergesa-gesa hingga menyenggol gelas minuman itu. Untung saja gelasnya tidak jatuh ke lantai. Gelasnya hanya tumbang di atas meja saja.
"Buru-buru banget," kataku sambil memasukkan handphone ke dalam sakuku.
"Temen aku udah nunggu di luar. Makanya harus cepat," Jawabnya. Tangannya tampak menenteng tasnya.
Aku sengaja tidak menanyai siapa nama temannya. Dari tadi aku sudah banyak bertanya. Kami berjalan keluar café. Ia berjalan di belakangku seperti pacaran saja. Laki-laki siapa yang tidak bangga jika berjalan berdua dengannya. Parasnya yang cantik hingga sifatnya yang ramah bisa membuat klepek-klepek cowok yang melihatnya.
Kami berjalan perlahan. Tangannya bersentuhan dengan tanganku. Pipiku sedikit memanas karena sentuhan itu. Nafasku bertiup tak teratur. Detak jantung ini berdegup kencang. Sekali lagi tangannya tidak sengaja bersentuhan dengan tanganku.
Dari kejauhan aku melihat sosok yang menatapku lama. Jaraknya sangat jauh hingga aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Kacamatanya yang berbingkai merah mengingatku dengan Rere. Namun seingatku Rere tidak mempunyai kacamata yang seperti itu. Rambutnya yang terikat seperti ekor kuda membuatku yakin bahwa itu memang bukan Rere.
Sorot matanya begitu tajam. Ia terus menatapku. Mungkin ia hanya menatap toko atau seseoramg yang ada di belakangku. Aku tidak ingin terlalu pede bahwa ia memang menatap pesonaku.
Kulit putihnya memberikan pesona lebih kepada dirinya. Tas yang disandangnya di lengan tangannya mengingatkanku dengan si Rere. Tidak mungkin Rere pergi kesini sendirian.
Rok selututnya mengembang saat ia berbalik arah dan pergi. Aku penasaran dengannya dan ingin mengikutinya. Namun, tidak mungkin aku meninggalkan Raisa. Mungkin orang itu hanya melihat orang yang ada di belakangku.
Raisa dan aku berjalan kearah tempat tegaknya cewek yang menatapku tadi. Aku terkejut melihat buku yang berwarna hitam itu. Judul besarnya tidak tampak karena ia terletak terbalik di lantai. Buku itu tepat terletak di tempat cewek itu tegak.
Aku mengambil buku itu dan menatap judul besarnya. Judul yang familiar di ingatanku. Aku sepertinya mengingat judul buku ini. Sambil berjalan aku mencari ingatanku tentang buku ini.
Alangkah terkejutnya aku bahwa buku ini adalah buku yang sedang diinginkan oleh Rere. Aku mencocokkan gambar yang ada di handphone dengan judul yang tertera di buku ini. Ya ini adalah buku yang sedang dicari oleh Rere.
Aku merasa kasihan dengan cewek tadi karena kehilangan buku ini. Mungkin saja bukunya tidak sengaja tercecer. Namun tidak apa, aku tetap mengambilnya.
Bisa jadi ini bukan buku milik cewek yang tadi. Mungkin orang lain yang tidak sengaja menjatuhkan bukunya disitu.
"Aku ke parkiran ya. Ngambil motor. Kamu duluan aja." Tanganku terlambai kepadanya.
"Iya, Ranggga. Temen aku udah nungguin di depan mall tuh. Daahhh sampai jumpa di sekolah besok yaaa." Matanya memicing. Lambaian tangannya membalas lambaian tanganku tadi.
Aku merasa senang bisa bertemu dengan Raisa di toko buku tadi. Aku berlari kegirangan dan meloncat sambil berteriak senang. Untung saja orang tidak memperhatikan tingkah gilaku ini. Aku melanjutka langkah kaki ku ke motor tunggangan kesayanga.
Di luar mall aku melihat Raisa berbicara dengan seseorang. Sepertinya mereka bergitu akrab. Badannya yang tinggi dan berisi begitu tangguh terlihat dimataku. Motor kerennya terparkir disampingnya. Berbeda jauh dengan motor yang sedang aku tunggangi ini. Helm fullface yang dipakainya membuat wajah cowo itu tidak terlihat jelas. Aku penasaran siapa gerangan lelaki di balik helm itu.
Ia membuka helm nya. Wajah itu teringat jelas oleh kepalaku. Orang yang pernah menyerangku di masa lalu. Orang yang akan menjadi sainganku. Pesona tentu lebih mantap daripada pesona ku. Badannya tentu lebih bagus daripada badanku yang kurus kering ini.
Rio menaiki motornya dan Raisa duduk dengan nyaman di belakangnya. Aku hanya bisa terdiam membisu melihat mereka melenggang pergi berdua. Ada rasa sakit yang terasa. Hati ini tidak bisa menerima itu.
Baru saja aku berdua dengannya tadi di mall, sekarang dengan mudah saja di tikung dengan Rio. Rasanya air mata ingin menumpahkan air bahnya.
Namun air mata itu tertahan oleh pernyataan.
"Aku tak akan menangis karena cinta."
Aku tidak ingin sakit hati ini berlarut-larut menggerogotiku. Wajah Rere biasanya membuat hatiku tenang. Di pondok belakang rumah Rere aku duduk dengan lesu. Ini akibat dari kejadian tadi. Rere datang dengan membawa minuman dan keripik yang selalu menemani kami disini. Iya duduk sambil mengambil secubit keripik di tangannya.
Memang benar, Rere selalu membawa ketenangan. Selalu membawa kedamaian di hatiku. Senyumnya membuyarkan pikiran negatif yang ada di kepalaku. Bahkan aku lupa dengan kejadian tadi. Teringat oleh ku cewek misterius di mall tadi.
"Coba kamu ikat rambutmu. Seperti ekor kuda," kataku sambil menelan keripik di tanganku.
"Enggak," katanya sambil mengeluarkan lidahnya sedikit. Hal itu membuatnya semakin imut.
"Coba aja deh. Kamu pasti manis kalau kaya gitu."
Wajahnya memerah saat aku lontarkan perkataan itu.
Ia mengambil ikat rambut di kantong bajunya. Ia mulai mengikat rambut hitam kemilaunya. Rere mengangkat dagunya. Aku tak bisa mengedipkan mataku. Kelopak mataku tertahan dengan penampilan baru Rere. Kacamatanya membuatnya semakin manis dan lucu.
Aku sempat menahan nafas karena saking terpesonanya. Rere mengedipkan matanya beberapa kali dan berkata, "Woi, kok bengong."
"Eh iya. Ini ada buat kamu." Aku terkejut dan mengeluarkan buku itu dari jaketku.
"Itu kan udah aku ......."
Kata-katanya terpotong. Rere mengambil buku itu dari tanganku.
"Udah apa?" Aku menanyakan maksud dari perkataannya yang terpotong tadi.
"Enggak ada. Makasih yaaa. Aku senang banget," katanya sambil menepuk-nepuk kakiku yang diluruskan.
Aku memicingkan mata dan tersenyum. "Iyaa. Kan udah aku bilang, apa yang enggak untuk Rere. yaudah, aku pulang yaaa."
Rere melambaikan tangannya sambil tersenyum. Rere sangat mirip dengan cewek misterius di mall tadi. Apalagi saat Rere mengikat rambutnya menjadi ekor kuda. Sangat mirip. Ada yang aneh dengan Rere hari ini. Tak seperti biasanya. Saat aku melihatnya tadi, matanya kelihatan merah.
Hidungnya seperti masih tersumbat. Aku pergi dan tidak memperdulikannya.
Sementara itu ...
Di kamarnya, Rere tertunduk lesu di depan kacanya. Ia meletakkan kacamatanya ke lemarinya, kacamata yang baru saja ia pakai saat jalan-jalan tadi.
Ia kembali mengeluarkan bulir air matanya.
"Apa yang kalian lakukan di Mall tadi?" Ia kembali mengeluarkan bulir air matanya.
Ia masih tidak menerima apa yang dilihatnya tadi.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
ayyona
ah rere suka ya..beli buku trs dibuang
2021-01-21
0