16

Aku memerhatikan gambar itu dengan seksama. Sebuah tahi lalat memaniskan bagian pipinya. Wajahnya sangat familiar. Letak tahi lalatnya juga sama dengan letak tahi lalat di pipiku. Rahangnya begitu kokoh dan kuat sehingga memberikan kesan maskulin pada dirinya. Aku seperti bekaca melihat gambar sketsa wajah dari pensil itu. Sungguh mirip. Begitu detail seperti wajahku.

Namun gambar yang begitu bagus ini dengan mudahnya ia kerimukkan begitu saja. Seharusnya ini menjadi sebuah karya yang sangat elok. Ada beberapa kertas kanvas lagi yang berserakan di lantai. Aku memungutnya satu persatu dan menumpulkannya dalam satu tempat.

Aku mendengar suara kaki mendekat dari belakang.

"Siapa lo?" Ia menarik kerahku dengan kuat. Aku terkejut dan tidak mengerti apa yang tengah ia lakukan.

"Pram?" Ia terdiam sebentar. "Ah bukan. Siapa lo ha?" tanya laki-laki itu.

Ia masih saja menatapku dengan tajam sambil menarik kerahku. Dengan sekuat tenaga aku berusaha melepaskan tangannya dari kerahku.

"Lepasin, gua Rangga. Temennya Raisa."

Laki-laki itu melepaskan tangannya dari kerahku. Nafasnya berhembus tidak karuan. Tatapannya semakin membuatku takut.

"Sorry sebelumnya, gua temennya Raisa. Dia masuk sebentar ganti baju." Aku memperbaiki kerahku yang kusut akibat tarikan tangannya yang kuat.

Raisa datang dengan penuh heran. "Ribut-ribut apa ini. Abang, dia ini temen aku. Namanya Rangga."

Aku menatap mereka berdua. Mereka begitu mirip. Matanya, warna kulitnya, hanya saja lelaki itu lebih tinggi daripada Raisa. Mataku bergantian memerhatikan setiap detail wajah mereka berdua. Sangat mirip. Kalau saja abangnya berambut panjang seperti Raisa, mungkin saja aku akan mengira abangnya itu adalah Raisa.

"Ohh gitu, yaudah gua masuk ke dalam." Ia berbalik arah. "Sungguh dia begitu mirip, Sa."

Tidak sengaja telingaku menangkap bisikan abangnya. Ia meneruskan jalannya hingga masuk kerumah.

Aku menarik nafas dan masih merasa tidak menerima apa yang di perbuat oleh abangnya itu. Aku duduk dengan nafas yang masih sesak dengan rasa kesal. Raisa terdengar tertawa. Mataku menatapnya dari bawah hingga keatas. Baju sekolah yang ia pakai tadi, kini berganti dengan kaos lucu dan rok berimpel selutut.

"Sorry yahh, abang aku memang begitu sama temen yang aku bawa ke sini. Apalagi dia laki-laki dan parahnya lagi dia belum kenal sama kamu. Dia orangnya khawatiran. Takut aku deket sama orang yang enggak-enggak." Ia bersandar di salah satu tiang lampu taman.

"Iya loh, serem juga abangmu kalau udah kaya gitu." Aku menggaruk-garuk kepala.

"Sebenarnya dia itu penyayang loh. Kamu tau sendiri nanti."

Raisa merapikan semua peralatan lukis yang berserakan disini. Rambutnya yang di ikat kadang jatuh saat ia menunduk mengambil cat lukis di lantai. Aku membantunya mengumpulkan peralatannya itu.

Aku mengirim sms ke abangku bahwa aku akan pulang agak sore hari ini. Dengan alasan mengantar Raisa pulang, Abangku pasti akan mengerti dengan keadaan ini. Abangku tau bahwa aku menyukai Raisa.

Sebuah kursi panjang dari besi ini memangku kami berdua di bawah rimbunnya sebuah pohon seri dan di hamparan taman bunga yang indah. Angin sepoi-sepoi menggoyangkan pohon seri ini. Tidak sedikit guguran daun menimpa kepalaku. Raisa tertawa manis melihat aku membersihka kepalaku yang di hempas guguran daun pohon seri ini.

"Raisa, gambar-gambar itu bagus kok malah dibuang?" Telunjukku menunjuk tumpukan kertas yang aku kumpulkan tadi.

"Gambarnya jelek makanya aku buang. Kamu liat yahh?" tanya Raisa dengan terkejut.

Aku sengaja tidak membahas gambar laki-laki di kertas itu. Kaki Raisa melangkah ke tumpukan kertas itu dan melihat gambar tersebut satu-persatu. Tangannya berhenti di gambar lelaki itu. Matanya kelihatan menatap kosong kertas bergambar itu, lalu ia membalikkan kertas itu ke belakang. Aku melihat kata-kata itu. Kata-kata itu ditulis dengan spidol.

"Hanya Kamu." Untuk kedua kalinya aku melihat kata-kata itu. Raisa meletakkan kembali gambar tersebut di atas tumpukan kertas.

"Sa, kamu sering ngambil buah seri ini? kalau pohon ini ada di rumahku, bakalan tiap hari aku ngambil buahnya. Dulu waktu kecil sering ngambil buah ini dekat rumah pak RT." Aku memetik setangkai buah seri.

"Sering sih. tapi semenjakk......" Kedua bola matanya menatap buah seri yag masih tergantung di pohon itu.

"Semenjak apa?" Aku membuang tangkai buah seri dari mulutku.

Terdiam sejenak.

"Raisa." Aku memanggilnya dari atas pohon. Kaki ku gatal untuk memanjat pohon ini. Aku tidak ragu-ragu untuk memanjatnya. Dulu waktu kecil aku sangat sering melakukan ini.

"Eh sering kok, tapi semenjak ga ada buahnya aku jadi jarang ngambil. Kayanya ini baru berbuah." Ia tersenyum menyipitkan matanya. "Tunggu aku di atas yah Rangga."

"Eh kamu bisaaa mannn..."

Aku terperongoh melihat Raisa mengangkat roknya. Kakinya mengangkang memanjat pohon yang lumayan tinggi bagiku. Tangan-tangannya mengencang saat berusaha meraih dahan yang tampak olehnya. Tidak perlu waktu yang lama untuk sampai di dahan tempat aku bertengger sekarang. Begitu putih mulus bersih betisnya. Setengah bagian pahanya tersingkap saat ia berusaha bertengger di sampingku.

Tangannya memanjang menggapai segantung buah seri di depannya. rasa manis mungkin membuat kenikmatan di lidah Raisa.

"Hmm." Saat buah seri itu meleleh di mulutnya. Ia memanjangkan tangannya lagi untuk menggapai seri di belakang badannya. Ia tegak membalikkan badan dan berusaha menyeimbangkan badan.

Dahan sedikit bergoyang saat ia berusaha tegak. Tangan Raisa mengambil semua buah seri di hadapannya dan memasukkan ke dalam kantung kecil di roknya. Ia kembali ke posisi semula dengan menyerahkan tangan penuh buah seri kepadaku.

"Seseorang mengajarkanku memanjat."

Aku mengambil buah seri di telapak tangannya.

"Siapa tuh?"

Aku menggigit buah seri ini. Manisnya begitu terasa saat buah kecil ini meleleh nikmat di mulutku.

"Kamu ga perlu tau, dia mirip denganmu." Tangannya memegang dahan yang berada di atasnya.

"Ohh gitu, muka aku memang pasarann yah. Banyak yang bilang aku mirip sama artis lah, sama tukang somay di depan sekolah lah, mirip sama itu lah."

Aku tertawa. Dahan tempat kami bertengger kembali bergoyang. Angin yang lewat sedikit kuat menerjang.

"Kamu tau ga arti dari setangkai buah seri ini?"

Raisa mengeleng, kedua bahunya sedikit diangkat.

"Buah seri ini buah yang kecil. Walaupun kecil, buah ini rasanya manis banget. Kamu tau ga artinya?" tanyaku. Raisa menggigit setangkai buah seri.

"Enggak, apaan tuh artinya?"

Ia menoleh ke kiri.

"Kebahagiaan tak selalu datang dari hal yag besar. Kadang yang hal kecil itu cukup membuat warna dalam kehidupan kita."

Aku menjadi sok bijak. Entah dari mana kata-kata itu pernah keluar. Kata-kata itu keluar saja dari pikiranku yang tiba-tiba menjadi kreatif untuk merangkai kata.

Kami bagaikan burung yang bertengger di tengah ranting. Kaki-kaki kami berusaha untuk tetap melekat di ranting. Tangan kirinya memegang dahan, sedangkan tangan kanannya menahan agar tubuh tidak jatuh. Setelah lima menit bertengger di atas pohon, kami menurunkan diri dengan buah seri yang penuh di dalam kantong. Tidak dengan susah payah untuk turun dari pohon. Dengan sedikit keberanian, aku dan Raisa sudah menginjakkan kaki dibawah.

Aku berpamit pulang kepada Raisa. Wajahnya riang melambaikan tangan saat aku sudah menaiki motor. Kakinya menyilang ke belakang seperti orang yang malu-malu. Matanya bersorot tajam memperhatikan setiap gerak-gerikku.

"Astaga, kunci motornya." Tanganku memeriksa setiap kantong. Aku membuka tas, namun benda kecil itu tidak ditemukan.

"Woi lu nyari ini kan?" Abang Raisa memutar kunci itu di jemarinya. Senyumnya begitu mirip dengan senyum Raisa. Sifatnya berbeda dengan saat pertama kali kami bertemu. Kakinya begitu kokoh membentuk suatu langkah hingga sampai ke hadapanku. Tinggiku hanya sebahunya saja. Aku sedikit menoleh ke atas saat berbicara dengannya.

"Ni, lain kali kunci itu di simpan baik-baik. Sorry yah soal tadi." Tangannya menggaruk-garuk kepala.

"Iya, aku kira tadi itu ...." Ia memotong kalimatku.

"kita ber-Lu-Gua aja. biar lebih akrab. Lu ngerokok?" Api menyulut ujung rokoknya.

Ia menikmati setiap detail hisapan pertama. Asap itu mulai keluar perlahan dari mulutnya dan menari-nari di hapanku. Tangannya yang satunya lagi menyuguhkan aku sebatang rokok Marlboro merah.

"Enggak bang, gua masih anak sekolahan," kataku dengan sedikit tertawa.

Tangannya menutup kotak rokok setelah aku menolak rokoknya. Mulutnya masih terpasang rokok dan belum di lepas sejak hisapan pertama. Kata-katanya terkesan tidak jelas karena rokok di mulutnya.

"Anak yang baik. Tumben Ceca ngajak cowok kerumah. Semenjak yang terakhir kali......." Ia terdiam beberapa detik.

Sorot mataya yang sayu menghadap ke bawah. Kembali ia hisap rokonya. Hisapan itu begitu nikmat ia rasakan. Seakan memberikan semangat untuk melanjutkan perkataannya.

"Oh ya, nama gua Felix."

kami saling memperkenalkan nama.

"Ceca?" Keningku sedikit mengerut kebingungan.

"Ceca. Cewek cantik. Ia nyuruh gua buat manggil begitu. Dia adik yang manja dan lucu." Matanya memadang Raisa yang sibuk mengelus kucing Persia miliknya. Kasih sayang lebih terhadap kucingnya tertuang di setiap detik elusannya di helai-helai bulu kucing yang lebat itu. Tawaku pecah sesaat. Ternyata Raisa adalah adik yang manja. Sampai-sampai memiliki panggilan manja yang ia buat-buat sendiri. Tangannya yang besar menepuk punggungku.

"Jika lo sungguh-sungguh, buatlah dia selalu tersenyum. Gua yakin lo cowok yang pemegang janji." Ia memberikan tinju nya kepadaku.

***

Anggukanku menghangatkan kami berdua. Kami saling menyatukan tinju. Senyum kami menyatu bersama tawa yang keluar di sela-sela percakapan kami. Aku berpamitan kepada abangnya.

Di dalam kamar, Raisa merayakan kegembiraan. Ia menyenggol vas bunga di meja disaat ia meloncat-loncat kegirangan. Teriakan senang keluar pertanda suara semangat Raisa di atas kasur. Sambil memeluk boneka beruang dengan hati yang berbunga-bunga ia memandangi langit-langit kamar. "Ranggaaaaaa" cubitan manja itu melayang ke pipi boneka beruang itu. Namun foto yang tergantung di dinding kamarnya menghilangkan senyuman manis Raisa. Seseorang itu pernah menghilangkan senyumnya.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!