14

Aku duduk sambil memakan kripik yang selalu menemani kami di Base Camp. Rasa pedasnya semakin pedas jika aku mengambil setiap cubitan kripik di jariku. Tidak ada yang kupikirkan mengenai kejadian kemarin. Perlakuan Rio sudah melebihi batas. namun, aku tidak punya daya untuk membalas mereka semua.

Zaki tetap dengan gaya coolnya menikmati musik sambil melihat kolam renang yang tenang itu. Kepalanya berangguk-angguk mengikuti irama musk yang tengah ia dengarkan. Headset putih itu melingkari telinganya. Sesekali ia memperbaiki letak headset itu.

"Udah lo laporin Rio ke guru?" tanya Rere. Pikiranku tersentak karena masih tersimpan rasa amarah akan hal itu.

"Ga usah ah. Yang lalu biarlah berlalu. Ga laki namanya kalau pake ngadu kaya begituan." Aku memandang kepadanya

Dede mendekat dan menepuk pundakku.

"Real man bro," kata Dede padaku.

"Raisa juga bilang begitu." kataku.

"Lo harus ngelaporin ini semua." Rere menyilangkan tangannya di dada.

Aku menghela napas. "Gue mau selesaikan ini dengan cara sendiri. Gue ga mau dianggap pengecut karena mengadu kepada guru."

"Jangan gitu Rangga. Ini udah berlebihan," sambung Vena.

"Tenang, masalah ini bisa kita selesaikan sendiri. Jangan libatkan guru dahulu." Dede menepuk pundakku. "Awas dia ... Gue bikin mampus!"

"Dede ... Rere itu betul." Vena mencoba menegaskan.

"Jangan, ini masalahnya bakalan tambah rumit kalau kita mengadu," balasku.

"Gue bakalan ada di belakang lo," pungkas Dede.

Aku melihat zaki mengeluarkan lima kertas berwarna merah itu.

"Hei, malming besok daripada keluyuran ga jelas. Mendingan kita ke festival musik di Lapangan Remaja. Aku ada lima tiket untuk kita semua." Ia memperlihatkan karcis di tangannya itu.

Rere tiba dan langsung mendekati Zaki yang memegang karcis-karcis itu.

"Wah karcis apaan tuh?" tanya Rere.

"Tiket festival musik. Lumayan gratis. Kita ikutan yahhh," jawab Zaki.

"Ayoooo." Kami serentak menjawab.

Apalagi Dede yang paling bersemangat jika ada yang gratisan seperti ini. Setelah semuanya setuju untuk bermalam mingguan di festival musik. Kami pulang ke rumah masing-masing.

Keesokan harinya....

Suara klakson mobil dan motor saling bertautan di tengah kemacetan di jalanan raya. Suasana yang jarang terjadi di jalanan ini. Setahuku di sini jarang terjadi macet. Aku mengikuti irama bunyi klakson dengan ikut memencet tombol klakson. Walaupun itu adalah hal yang tidak penting, namun aku suka melakukannya.

Tanganku menarik gas motor hingga motor itu hampir mengenai mobil yang ada di depannya. Untung saja kakiku denga sigap memencet pedal rem belakang.

Ada sebuah mobil yang berhenti secara diagonal ditengah jalanan itu. Bunyi mesin mobil itu berkali-kali dihidupkan, namun mesin mobil itu tidak kunjung hidup. Seseorang keluar dari mobil itu. Sepatu Converse miliknya terlebh dahulu menginjakkan dirinya di jalanan aspal ini. Rok SMA-nya terlihat saat ia keluar dari mobil itu. Aku tidak bisa melihat wajahnya karena wanita itu membelakangiku. Rambut panjang hitam berkilaunya tersibak saat ia mengelap keringat di keningnya. Bodinya yang tinggi dan proposional membuatku semakin penasaran dengan wanita itu.

Ia menghentak-hentakkan kakinya berkali-kali. Ia kelihatan kesal karena mobil milinya tidak kunjung hidup, ditambah lagi dengan desakan oleh pengguna jalan yang lain mendesaknya dengan membunyikan klaksonnya berkali-kali.

"Raisaa." Aku melihat dirinya sedang meminta bantuan kepada pengguna jalan yang lain. Diriku reflek memparkirkan motorku di trotoar jalanan ini. Aku ada disini, kenapa dia harus bersusah payah meminta pertolongan orang lain.

"Bang, bantuin dorongin mobil ini ke tepi jalan dulu dong," kataku ke beberapa pengguna motor di sekitarku.

Mereka mengiyakan permintaanku. Ada lima orang yang aku mintai pertolongan.

"Raisa, aman ada aku kok."

Ia melihatku. Senyumnya tiba-tiba melingkar di wajahnya yang luar biasa cantik itu.

"Tolonginnn."

"Aman ...." Aku segera mendorong mobil itu.

Pengendara yang aku mintai pertolongan tadi juga menyusulku untuk mendorong mobil itu, sedangkan Raisa kembali masuk ke dalam mobil untuk mengarahkan mobilnya ke tepi jalan. Beberapa kendaraan yang sedari tadi berdesakan menunggu jalanan kembali lancar, kini satu persatu dari mereka mulai melepaskan dirinya dari kemacetan ini.

Aku mengedarkan penglihatanku. Seingatku disini ada satu bengkel mobil. Dulu aku dan ayahku pernah membawa mobil ke bengkel itu. Bengkel itu ternyata tepat di depan kami.

"Bang, langsung ke bengkel mobil itu yahhh. Tanggung nih," pintaku kepada kelima pengendara yang tengah berusaha mendorong mobil ini.

"Sippp dah." Mereka memberikan jempolnya kepadaku.

Desahan nafasku keluar setelah berhasil membawa mobil ini ke bengkel itu. Aku duduk di kursi panjang itu. Keringatku membasahi baju sekolah yang sedang aku pakai pada saat ini.

Tisu Raisa mendarat di keningku untuk menghapus titik demi titik keringat yang keluar dari pori-poriku. Seketika aku merasakan hawa sejuk di sini, mungkin dikarenakan angin tidak sengaja lewat disini. Raisa dengan telitinya mengelap keringat di keningku sehingga tidak ada keringat yang masih tertinggal.

"Makasih yaaah. Untung ada kamu."

"Iya sama-sama. Aku ga sengaja lewat sini. Macetnya minta ampun. Rupanya macetnya karena mobil kamu. Nakal mobil kamu yaaa" kataku.

"Iya mobilnya nakal." Ia mengarakan wajahnya ke depan sembari tersenyum.

"Kita pergi ke suatu tempat dulu yuk. Mobilmu pasti lama nih di perbaikinya. Mau lumutan nunggunya disini." kataku.

"Okee ke mana?" tanya Raisa dengan semangat.

"Ke mana yaaaa .... Aku yakin kamu suka." 

Helm cadangan selalu tersedia di dalam jok motorku. Helm yang selalu dipakai Rere saat menumpang denganku. Helm retro itu cocok dengan Raisa. Ia begitu mirip dengan Rere jika memakai helm itu.

Tangannya setengah melingkar lembut di pinggul. Satu hal yang membuat semakin gugup. Ia membuka kaca helm mencoba menikmati angin yang menerpa wajahnya. Sesekali ia berteriak keasyikan karena menikmati suasana sore hari ini.

"Kita mau ke mana sih?" tanya Raisa. Dagunya menempel di bahuku. Dadanya agak menempel ke punggungku. Hal itu semakin membuatku semakin gugup. "Nanti kamu pasti tau. Yang pastinya rutenya bakalan jauh dan agak menanjak."

Suaraku agak meninggi takut Raisa tidak mendengarkan apa yang telah aku katakan.

Ia mengangguk sambil mempererat pelukan tangannya ke punggungku.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!