Pagi ini seperti pagi-pagi sebeumnya. Selalu monoton seperti itu saja. Jalanan macet, dinginnya pagi, berisikinya suara-suara kendaraan sudah menjadi makanan sehari-hari untuk pelajar seperti ku. Kadang cacian dari pengendara yang tidak sabaran sering keluar dan terdengar di telingaku. Itu sudah biasa. Jadi aku hanya menganggap angin lewat semuanya.
Pak Suroto tegak dengan tegapnya di gerbang sekolah. Ia menunggu kedatangan murid-murid yang terlambat. Melihat dari gerak-geriknya, ia akan segera menutup gerbang sekolah. Semakin ia bergerak, kendaraan murid-murid lainnya pun semakin memacu kendaraan mereka masing-masing, termasuk aku. Kami bagaikan pembalap yang hendak mencapai garis finish. Iring-iringan kendaraan siswa yang berebutan tidak menjadi penghalang bagi Pak Suroto untuk berhenti mendorong menutup gerbang sekolah.
Bunyi gembok gerbang sekolah terdengan jelas olehku.
"Shit!" gerutuku di dalam hati.
Dengan senyuman liciknya Pak Suroto pergi dengan meninggalkan kami di luar. Sepatu hitam khas satpamnya berbunyi seiring langkah kakinya meninggalkan kami. Guru-guru yang lain tidak menoleh sedikit pun ke kami. Murid-murid yang lain juga tak mempunyai daya untuk menolong dari keterlambatan ini.
Aku lihat guru piket yang melihat sinis kepada kami. Aku memerhatikan semua guru piket yang tengah berkumpul. Berharap tidak ada dia. Monster sekolah, ya benar. Guru yang paling kami takuti di sekolah. Aku bersyukur ia tak menjadi petugas piket hari ini.
Murid-murid yang terlambat lainnya menunjukkan ekspresi yang bermacam-macam. Ada yang kesal, biasa saja, dan ada yang meluapkan kekesalannya dengan kata-kata yang menyangkut Pak Suroto. Aku di sini terdiam menunggu hukuman. Beruntung aku baru kali ini saja terlambat. Dalam peraturan sekolah kami jika terlambat tiga kali, yaaa siap-siap saja orang tuanya datang ke sekolah.
Bunyi pintu mobil yang ditutup terdengar.
Ia baru saja keluar dari mobilnya yang mengkilap itu. Berjalan dengan anggunnya ditambah efek angin yang tak sengaja bertiup menambah kesan "aduhai" kepada dirinya.
Seluruh laki-laki menolehkan kepalanya kepadanya. mataku terus mengikuti pergerakannya terhalang oleh pohon yang menghalang mataku untuk menatapnya. Ia dengan tenangnya berjalan seperti tidak ada yang terjadi. Seperti tak menyadari dirinya juga terlambat hari ini.
Rambut yang tergerai indah dengan semakin membuat mataku tak bisa melepakan pandangannya. Tas model cewe masa kini menambah kadar anggunnya. Bodinya yang proposional membuat laki-laki di sini semakin tak bisa melepaskan pandangannya. Bibirnya yang merah begitu manis dengan kulit putih yang dimilikinya.
Ia menjinjit untuk melihat guru dari kejauhan. Sesekali ia menarik nafas menandakan ia tak sabar untuk bisa masuk ke sekolah dan memulai pelajaran. Ia terlihat menghentak-hentakkan kakinya setelah melihat jam tangannya. Baru ia menunjukkan kekesalan atas keterlambatannya. Mungkin saja ia baru saja menyadarinya. Aku tertawa kecil melihat tingkah laku gadis cantik itu.
Hal yang tak ingin terjadi pun datang.
Guru itu akhirnya menunjukkan batang hidungnya. Buk Fatma berjalan dengan gerakan yang cepat. Dibalik kaca-matanya ada tatapan yang tak ingin aku lihat. Tatapan yang bisa membuat seluruh murid terpontang panting untuk lari. Jantung ini terasa ingin copot saat ia memulai pembicaraannya.
"Kalian ini terlambat terus. Mau sekolah atau enggak? Makanya bangun pagi-pagi biar tidak terlambat." Suara menggelegar itu keluar dari mulut Buk Fatma.
Guru yang selalu mengajarkan anak IPA tentang rumus-rumus fisika itu menunjuk orang-orang yang sering terlambat. Aku hanya terdiam di belakang dan berharap tidak di tunjuk olehnya. Dengan panjang lebar ia memberikan pengarahan kepada kami untuk tidak mengulangi keterlambatan ini.
Tatapan Buk Fatma beralih ke wanita yang baru saja keluar dari mobilnya tadi. Begitu santai ia mendengarkan ocehan dari Buk Fatma. Sesekali ia menarik nafasnya menunggu ocehan itu terhenti.
Nama kami dicatat satu-persatu. Sambil menunggu namaku dicatat, aku mengalihkan pandanganku ke wanita itu. Ia tetap cantik walaupun peluh memenuhi wajah manisnya. Ia tegak untuk mengisi namanya di daftar orang-orang nan terlambat. Langkah kakinya bergerak untuk memungut sampah-sampah daun yang berserakan di halaman luar sekolah. Halaman yang begitu luas akan memerlukan waktu banyak untuk memungut sampah-sampah daun itu.
Namaku akhirnya dipanggil dan segera menuliskan namaku sendiri. Aku mencari tempat yang tidak banyak sampahnya. Aku rasa di sudut taman itu sedikit terdapat sampah.
Teringat olehku bahwa Dede pernah berkata, "Kalau terlambat, loncat pagar aja. Di samping sekolah pagarnya cukup mudah dipanjat."
Mataku mencari-cari di titik mana yang paling bagus untuk di panjat.
"Nah itu dia."
Buk Fatma kelihatannya sibuk berbincang dengan Pak Suroto. Ini kesempatan emasku untuk bisa cepat masuk ke kelas. Yaa kalau hukuman seperti ini bisa sampai jam istirahat. Memang cukup melelahkan. Tiba-tiba ada suara wanita yang menyerocos tanpa henti di sampingku.
"Gini aja marah. Dimasukin aja murid-murid napa sih. Hiiihhhh........." Ocehannya seperti knalpot bocor. Kepalaku menoleh ke wanita itu.
Bau harum semerbak parfumnya menusuk indah ke hidungku. Rambut hitam indahnya kini bisa aku lihat dengan jelas. Wajah cantiknya tetap terlihat cantik saat ia marah-marah tak karuan sendiri. Aku hanya terpaku terdiam mendengarkan ocehannya.
"Bener ga yang aku bilang?" Ia langsung saja melontarkan pertanyaan kepadaku.
Aku tak bisa langsung menjawab. Aku masih terpesona dengan wajah cantiknya itu. Mulut ini terasa terkunci karena gugup mau menjawab apa.
"Woii, elu denger ga?" ujarnya yang membuatku terkejut.
Aku terkejut mendengar suara nada tingginya.
"Ho'oh," jawabku sambil menganggukkan kepala. "Harusnya kamu datang cepet biar ga terlambat."
"Iya sihhhh. Tapi taukan jalanan macetnya minta ampun. " Ia merespon perkataanku. "hiiiihhh sebel. Mana nanti ulangan MTK."
"oh yaa. Ikut aku." Kataku.
Dengan cepat kami berlari ke pagar samping sekolah. Beruntung Buk Fatma tidak melihat kami berlari. Aku mencari titik yang nyaman untuk dipanjat.
"Kamu dulu deh. Ladies first," ujarku.
Ia hanya mengangguk tak memprotes apappun. Ia memanjat pagar itu dengan hati-hati. Ia kesusahan saat mengangkat badannya.
"maaf ya," kataku sambil memegang pinggangnya untuk membantunya memanjat.
Pinggang mungilnya begitu lembut saat disentuh. Jenjang kakinya tersingkap tatkala ia menganggkat kaki. Aku tersekesima sesaat.
"Yaap ... Giliran kamu," katanya saat sesampai di atas.
"Amaaannn. Aku nyusul kok."
Memanjat sudah menjadi kebiasaan anak laki-laki sewaktu kecil. Aku tak kesusahan memanjat pagar ini.
Brukkk, Bunyi hentakan kakiku ke tanah.
Dengan wajah berseri-seri ia menatapku dengan manisnya. Tatapannya seperti mencairkan hati ini. Begitu sejuk dan begitu nyaman. Ia mengulurkan tangannya seperti ingin berkenalan.
"Namaku Raisa."
Mulut ini semakin terkunci saat ia melontarkan senyuman setelah ia memberitahukan namanya. Tanganku bergetar saat diayunkan untuk menggapai tangannya. Sungguh pekenalan yang mendebarkan. Ada senyum diantara kami.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
ayyona
awas kalo dijawab aku hamish 😅
2021-01-17
0
nothing but regular human
Permisi. Mampir jg ke novelku: and A Long Nightmare. Semangat berkarya😇
2020-04-30
0