15

Kami melewati jalan yang agak menanjak. Tempat yang menjadi tujuan kami memang titik tertinggi di kota ini, sehingga jalan yang kami lalui tentu saja agak menanjak dan berbelok-belok.

Gedung-gedung perkotaan sudah kelihatan menjauh dari sini. Tinggalah rumah-rumah masyarakat yang tertangkap oleh mataku. Matahari tidak terlau condong ke arah barat. Mungkin saja sekarang masih jam empat sore. Masih ada waktu bagi kami untuk menikmati suasana dari atas sana. Jalanan disini tengah lengang. Kami dengan nyamannya menambah kecepatan untuk mencapai ke tempat tujuan.

Tempat yang kami tuju telah di depan mata. Tidak begitu ramai, tetapi masih ada kumpulan muda-mudi yang menikmati sore hari disini hanya untuk sekedar berfoto-foto. Namun ada juga yang membawa keluarganya kesini. Tikar yang mereka bentangkan, cukup membuat nyaman mereka sekeluarga.

"Welcome to tempat para Jones." aku meletakkan helmku di atas motor.

Raisa berlari kesenangan. Teriakannya begitu nyaring aku dengar. Aku mengikutinya dari belakang. Raisa berbalik menghadapku. Menghadap ke depan. Gugusan gedung-gedung perkotaan begitu kokoh disana. Mereka kelihatan kecil dibawah gumpalan-gumpalan awan putih. Angin begitu nyaman berhembus. Angin itu membawa asap tukang sate yang tengah berjualan disini.

"Kita duduk di sini aja yaaa. Kamu tunggu disini sebentar." aku pergi menuju tukang sate yang tengah sibuk melayani pembelinya. Asap pembakaran sate menuntun langkahku.

"Bang, satenya dua piring yahhh. Teh botolnya dua juga. ntar diantar yaahh." Aku menunjuk kursi panjang tempat Raisa sedang duduk.

"Sipp dahh." Ia kembali mengipaskan sate yang sedang di bakar.

Aku mencoba mengambil nafas dalam-dalam dan menghempuskannya perlahan. Udara di atas sini begitu segar, walaupun sekarang hari sudah sore. Aku duduk disamping Raisa dan meletakkan handphone di samping kanan ku sebagai pembatas diantara kami. Mataku sesekali melirik ke kanan. Rona merah di wajahnya begitu jelas ku lihat. Ia begitu cantik dengan rambut tergerai oleh angin yang lewat. Aku dengan cepat mengarahkan kembali pandanganku ke depan sesaat Raisa menatap balik wajahku.

Kami duduk tanpa memulai percakapan apapun. Diriku berusaha keras untuk mencari topik yang tepat untuk di bahas.

"Bengkaknya masih ada yahh." Ia menekan bengkak akibat berkelahi dua hari yang lalu. Namun tidak terasa sakit.

"Seharusnya aku datang lebih cepat waktu itu," tambah Raisa.

"Udah, lupain aja. Makasih buat waktu itu yahhh. Kalau ga ada kamu, mungkin aku udah babak belur banget." Aku menaikkan alis.

Raisa terlihat mengangguk. Mata Raisa sedikit menyipit. Bibirnya melingkarkan sebuah senyuman.

"Iya, sama-sama."

Abang sate sudah datang membawa sate dan teh botol yang telah aku pesan tadi. Tangan manis Raisa mengambil kedua sate itu dan memberikan satu piring itu kepadaku.

"Hmmmm. Enak banget nih. Maklum lagi lapar," ucapku.

"Jangan buru-buru makannya. Bawa minum dulu. Heheheh." Ia menyodorkan teh botol itu ke mulutku.

Begitu segar, apalagi tangan Raisa yang memberikannya kepadaku. Ia meminum teh botolnya lalu berbicara.

"Rangga, biasanya cowok itu suka cewek yang bagaimana sih?"

Aku agak tersedak mendengar pertanyaannya barusan. Dengan cepat aku minum teh botol itu.

"Beda-beda sihhh. Setiap cowok beda seleranya. Sama dengan cewek," jawabku sambil menarik daging sate.

"Kalau kamu?" tanya Raisa dengan cepat.

Sorot matanya dalam merasuki pandanganku. Wajahnya yang cantik begitu fokus tertangkap oleh mataku.

"Kalau aku?? Aku suka kesederhanaan. Cewek yang sederhana dan ketulusan sudah cukup bagiku."

"Seperti Rere?" tanya Raisa kembali. Sudah tiga kali pertanyaannya membuatku tersedak.

"Rere itu sahabatku. Ga mungkin aku suka sama dia." Aku tertawa sedikit.

Sate di piring sudah habisku makan. Tinggalah lidi tusukan sate yang menghiasi piring kosong itu.

"Kalau cewek suka sama cowok yang gimana sih?" Aku mencoba bertaya balik.

"Yaa beda-beda. Sepertinya yang kamu bilang tadi." Ia mengela nafas.

"Kalau kamu?" Aku mengajukan pertanyaan yang sama seperti yang diajukan oleh Raisa tadi.

"Kalau aku? Cowok yang bisa ada kalau aku sedang butuh dia. Yang rela ngeluangin waktu bersama aku," jawab Raisa. Matanya terpaku tajam ke arah mataku.

"Pasti banyak yang ngedeketin kamu," tanyaku lagi.

Aku berdiri berusaha merasakan sejuknya udara. Ia masih belum menjawab pertanyaanku. Aku menoleh kepadanya.

"Banyak sih. Tapi mereka semua Cuma gila sama kecantikan, harta. Sepertinya yang kamu bilang tadi, ketulusan. Suatu hal yang sulit untuk didapatkan." Ia menaikkan alis.

Matanya kini tertuju ke hamparan kota yang kelihatan kecil dari sini.

"Ketulusan, kita mencari sesuatu yang sama walaupun itu sulit. Kau bisa mendapatkannya dariku," gumamku di dalam hati.

"Gini, banyak orang yang tersenyum kepada kita. Namun itu hatinya tidak tersenyum kepada kita. Ketulusan yang kita bicarakan tadi, itulah yang disebut Senyuman Hati. Ia akan tetap tersenyum." Kata-kata itu keluar dari begitu saja dari mulutku.

"Senyuman Hati yahh." Oa mengangguk. "Berarti kita mencari hati yang juga tersenyum kepada kita, seperti hati kita yang tersenyum kepadanya."

Ia mulai mengerti apa yang telah aku katakan tadi. Ia mengangguk mencerna penjelasan yang telah aku beri. Teori bodoh itu entah dari mana aku dapatkan, yang penting itu berasal dari otak kecilku.

Handphone bordering diantara kami. Tidak sengaja kedua tangan kami saling menyentuh saat berusaha menggapai handhone yang berbunyi tadi. Tangannya begitu lembut saat tersentuh oleh tanganku.

Lima detik kami saling bersentuhan tangan, lalu kami saling menarik tangan perlahan. Aku mengambil handphone milikku yang tadi bordering. Rasa sentuhan tangannya masih terbayang-bayang oleh tanganku walaupun sekarang sedang memegang handphone.

"Rangga cepat pulang, lama banget sih. Ibu dari tadi nanyain" Aku melihat nama yang tertera. Abangku baru saja mengirim pesan singkat ini. Kalau sudah berurusan dengan ibu, aku tidak bisa mikir-mikir lagi. Bisa-bisa ibu berceramah sepanjang malam minggu nanti kalau aku tidak segera pulang.

Mataku tertuju ke Raisa. Ia masih menikmati pemandangan kota yang terhampar luas. Sepertinya ia masih belum ingin pergi dari sini. Senyumannya itu menandakan ia begitu senang dan tidak ingin terlalu cepat pulang. Aku kembali melihat pesan singkat abangku. Hatiku semakin ingin cepat sampai dirumah.

"Yuk pulang, udah sore nih." Aku tegak sambil menatap pemandangan.

"Yahhh padahal kan... yaudah deh. Bener juga, udah sore." Raisa menyandang tasnya.

Kami berdua kembali menuju ke motorku. Raisa dengan cepat mengambil helm yang tadi ia letak diatas motor. Bunyi klik pengikat helm pertanda ia sudah siap untuk pulang. Tangannya melingkar di perutku. Dadanya kembali menempel di permukaan punggungku.

"Ayok pulang," kataku sambil menarik gas motor.

Sesampainya di bengkel Raisa langsung turun dan menghampiri teknisi yang tengah sibuk mengacak-acak mesin mobilnya. Aku dari jauh melihat mereka berbincang-bincang. Ekspresi Raisa seperti lesu setelah melihat teknisi itu menggelengkan kepalanya. Ia menatapku sebentar dan kembali menanyakan sesuatu ke teknisi itu. Dengan obeng yang mash ditangan, teknisi itu kembali memperbaiki mesin mobil Raisa. Raisa kelihatan duduk dan aku menghampirinya.

"Gimana?" tanyaku.

"Katanya sih ga bisa selesai sekarang. besok paling selesai." Jawabnya dengan lesu.

Aku menghampiri teknisi bengkel itu. ia mengangkat kepalanya yang tadi tengah sibuk memerhatikan ke dalam mesin mobil. Badannya begitu kotor dengan banyak bekas oli melekat. Tangannya hitam memegang obeng yang cukup besar itu. Keningnya penuh dengan keringat bercucuran. Ia mengelapnya dengan handuk kecil yang dilingkarkan di lehernya.

"Bang, ga bisa selesai sekarang bang?" Aku melihat ke mesin mobil.

Sebenarnya aku tidak tahu apa-apa tentang mesin mobil, jadi aku tidak ingin terlalu sok tau mengenai masalah mesin mobil Raisa.

"Lama mas. Besok kayanya nih. Mesinnya panas, jadi ada bagian-bagian mesinnya yang rusak. Barangnya itu sedang ga ada stok, jadi nunggu barangnya itu yang lama," katanya sambil membersihkan oli yang menempel di telapak tangannya.

Aku hanya mengangguk.

"Kalau gitu, ga apa-apa bang. Besok aja deh." aku berbalik dan mengangkat bahuku.

"Mau gimana lagi. Udah dengerkan. Ayuk aku antar kerumah." Aku menunggu jawaban darinya. Kesempatan besar untuk bisa mengantar pulang Raisa. Sekalian ingin tahu di mana rumahnya.

"Oke, ayuk." Ia tegak dan berjalan menuju ke rumahnya.

Rumah Raisa tidak terlalu jauh dari sini. Sepuluh menit perjalanan, kami sudah sampai di depan gerbang rumahnya. Pagar putih tinggi hingga aku tidak bisa melihat bagaimana isi halaman rumah Raisa. Satu pos security berada dekat gerbang. Satpamnya sedang asyik menonton tv sambil meminum kopi hangat di sore hari.

"Ayo masuk dulu. Kamu belum pernah ke rumahku kan."

Aku masuk ke dalam halaman rumahnya. Begitu luas hingga kira-kira bisa dijadikan satu lapangan futsal dan satu lapangan volley. Taman bunganya rimbun dengan berbagai jenis bunga yang menghiasi taman itu. Rumah Raisa bertingkat dua dan memanjang ke belakang. Warna putih begitu elegan dengan tiang-tiang tokoh menyangga tepat di depan rumahnya.

Aku berjalan menuju kursi panjang di taman bunganya itu. Raisa masuk sebentar untuk mengganti bajunya. Di taman ini banyak berserakan kertas kanvas lukis yang telah di kerimukkan. Ada berbagai bentuk kuas lukis yang terletak di dalam kaleng itu. Bekas cat yang tumpah menghiasi lantai dari semen ini. Aku mengambil salah satu kertas kanvas yang tergeletak di lantai. Sebuah gambar laki-laki dengan gagahnya tergambar menggunakan pensil di kertas itu.

"Hanya kamu." Tulisan itu tertera di bagian belakang itu.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!