10

Brmmmmmm

Bunyi motorku saat dipanaskan.

Aku melihat abangku yang tengah sibuk menata rambut klimisnya. Bau parfumnya menyengat hidungku seakan membuat kerongkonganku bisa tersedak dibuat semerbak parfumnya.

"Bang, mau pergi pacaran atau pergi kerja sihh. Harum banget," teriakku sambil memakan nasi dan telor ceplok.

"Makan aja sana, gua harus rapi kalau pergi kerja." Ia menyisir rambut rapinya itu. Sebenarnya ia juga kuliah. Namun ia tetap bekerja untuk mendapatkan uang tambahan. Kerja keras selalu melekat pada dirinya.

Aku bergegas memasang kaus kaki dan menyalami ibuku. Aku tidak tega membangunkan ayahku yang tengah pulas terlelap di tidurnya.

Suasana khas pagi hari di sekolah, murid-murid menyandang tasnya dengan semangat untuk bersekolah. Ada yang berlari, ada yang berjalan, dan ada juga yang berhenti untuk menyalami ibu bapak guru yang tidak sengaja berpapasan dengan mereka. Aku menghela nafas menikmati segarnya udara di pagi hari ini.

Aku melihat Raisa yang tengah berjalan di koridor sekolah. Tampak jelas olehku bahwa matanya masih menyimpan rasa kantuk. Sama sepertiku, sedikit tidak bersemangat. Namun melihat Raisa seakan ada dorongan yang lebih untuk kembali bersemangat di sekolah.

Aku mencoba melambaikan tangan. Mulutku memanggil namanya. Ia masih saja tidak dengar. Tiba-tiba otot di tanganku kehilangan tenaga untuk mengangkat tangan. Suaraku seakan tidak bisa meningkatkan volume suaranya.

Lambaian tangannya ke Rio membuatku memalingkan kepala. Aku sengaja tidak melihatnya, itu akan membuatku semakin sakit hati.

Tatkala kumendongak ke atas, tulisan nama kelas kami terpampang jelas disana "XI.IPS.1". Di bawah tulisan itu tertulis nama Wali Kelas kami lengkap dengan jejeran titel pendidikannya. Di depan pintu, Aria tengah sibuk mengawasi petugas piket yang sedang bersih-bersih. Ia memastikan agar tidak ada satupun yang berantakan. Kalau ada yang berantakan atau kotor, Wali Kelas kami pasti akan berceramah di depan kelas.

Ia seakan mempunyai mata auto focus untuk hal-hal yang seperti itu. ia bisa saja tau sampah yang disembunyikan di kolong meja, lantai yang belum dipel, tanaman yang belum di siram, bahkan sebutir debu yang masih tersisa di atas meja, mungkin.

"Lemas banget pagi-pagi," kata Aria. Ia mengambil sapu yang masih menganggur di ujung kelas.

"Maklum lah, biasa. Lu tau kan gua gimana." Aku meletakkan tas berat ini.

"Semangat dong sekolahnya, demi masa depan." Ia mengepalkan tangannya dan tertawa.

Tangannya melanjutkan menyapu lantai kelas. Aku juga tertawa sambil menggelengkan kepalaku. Kadang otakku berpikir jika aku terus-terusan malas seperti ini, lalu bagaimana masa depanku nanti?

Rere sedang sibuk menata mading sekolah. Ia menjinjit untuk menggapai artikel yang di pasang di bagian atas mading. Tubuhya yang pendek seperti cewek pada umumnya membuat ia kesusahan menjangkaunya. Ia melompat sesekali untuk menggapai paku kecil warna hijau itu.

Aku tertawa sejenak menyimak tingkah lucu Rere. Cerpen ataupun puisi Rere mewarnai setiap sudut mading itu. itulah sebabnya guru mempercayainya sebagai ketua piñata mading sekolah.

"Reeee," sahutku dari jauh.

"Haiii, tumben ga terlambat kamu." Ia menempelkan artikel-artikel karya murid lainya.

Kacamatanya kokoh terpaku di matanya tak bergerak sedikitpun saat Rere menggerakkan kepalanya ke atas dan ke bawah untuk menempel Artikel. Rambut terikat memaniskan senyumnya yang selalu bersamaan dengan kedua lesung pipitnya yang dalam. Matanya bergitu serius menata mading sebagus mungkin. Ada dua mading yang cukup besar. Semuanya penuh dengan karya murid-murid disini.

"Iya dong, sesekali jadi anak baik napa, kaya Rere," kataku sambil mengambil kertas di tangannya dan membantu menempel kertas itu di mading.

"Sesekali? Harusnya setiap hari. Aku jadi anak baiknya setiap hari loh. Bukan kaya kamu." Lesung pipitnya menampakkan diri saat tertawa kecil. Matanya yang sipit bertambah sipit ketika tertawa.

"Sibuk banget. Mana anak buah kamu? Biasanya ada yang bantu.l," tanyaku. Tanganku masih menempel kertas-kertas puisi itu.

"Biasa, belum datang. Mungkin kejebak macet barangkali." Ia kembali menempelkan kertas itu.

Rere menghela nafas saat menempelkan kertas terakhirnya. Ia melepas bandonya. Rambut hitamnya tergerai indah.

"Capek juga ya. Untung ada kamu yang ngebantuin. Oh iya coba kamu menghadap ke sana." Ia menggerakkan badanku ke arah yang ia tuju.

"kenapa sih?"

"Shttttt." Ia menyuruhku untuk diam. "Bentar yaa, tunggu aba-aba aku."

Aku menolehkan mataku sedikit ke belakang. Ia kembali meluruskan kepalaku agar aku tidak melihatnya. Entah apa yang sedang ia perbuat.

"Nah sekarang, balik arah." katanya dengan tiba-tiba.

....

....

"Indahnya" Aku terpana melihat makhluk Tuhan yang satu ini.

Rambutnya terikat bak ekor kuda membuat mataku tidak bisa mengedipkan kelopaknya. Helaian rapi rambut yang bergoyang begitu indah di pelupuk mata. Mulutku terus aja terperongo melihat gaya rambut barunya. Ia memasang kacamatanya dengan perlahan, ia sekarang bisa melihat ekspresiku dengan jelas.

Aku terdiam sejenak menikmati pemandangan ini. Ia melambaikan tangannya di hadapan wajahku.

"Haloooo, ada orang disinii...." Rere tertawa melihat ekspresi

"O-o-oh-h iyaa." Aku tersenyum sedikit. Mataku masih fokus ke helaian rambutnya.

"Kamu barusan ngucap tadi. Baru kali ini aku denger kamu ngucap. Hehehehe." Ia mengacau-ngacuka rambutku.

"You look so beautiful today." kataku sambil memegang dagu.

Matanya menatapku seperti tatapan kosong.

"Dasar Gomballll." Tangannya menepuk kepalaku, lalu ia berlari.

"Oh iya, nanti jam 5 aku mau ketemu sama redaksi majalah Warna. Dia mau nyerahin kontrak ke aku untuk sepuluh edisi majalah."

Kami berhenti sejenak.

"Wah hebat kamu. Emang di kontrak apaan?"

"Ntar aku di minta ngisi lima halaman majalah dengan cerpenku setiap edisinya, " katanya.

"okee, di mana ketemuannya?" Aku bertanya.

"Di café Panda yang kemarin." Ia memberitahuku.

"Oke sip. Aku bakalan datang," kataku sambil mengetuk keningnya dengan jariku.

Rere pergi ke kelasnya di XI.IPA.4. Aku melihatnya hingga ia berbelok arah ke sebelah kanan. Benar saja, kehadiran Rere selalu menjadikan hatiku menjadi nyaman. Ia memang sahabat terbaikku yang selalu membuat diriku menjadi semangat lagi. Hari-hari yang aku awali dengan rasa jenuh seperti tadi, tiba-tiba saja hilang. Aku dengan tersenyum sendiri melanjutkan langkahku ke kelas.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!