Grrrrr
Perutku berkata sebagai respon laparnya kepada diriku.
Sedari tadi menunggu bel istirahat berbunyi, akhirnya bel itu berbunyi juga. Buk Rina, guru matematika yang selalu menceramahiku sudah meninggalkan kelas, meninggalkan rumus-rumus gila yang ia tempelkan di papan tulis putih itu. Aku memasukkan kembali catatan yang penuh dengan rumus Buk Rina ke dalam tas. Sementara itu, Aria sudah sedari tadi meninggalkan kelas. Kalau urusan istirahat, Aria yang paling cepat.
Ibu setengah baya itu sibuk melayani murid-murid yang kelaparan. Keringat peluhnya bercucur dari keningnya. Bajunya basah dengan keringat yang bercucuran. Ada empat pegawai yang membantunya melayani perut-perut lapar para murid di sini. Namun, jumlah itu tak cukup mengingat banyaknya murid yang datang. Sebenarnya masih banyak kantin yang lain, namun di sinilah tempat yang paling ramai.
Seperti biasa, aku selalu duduk sendiri di pojok kantin. Bagiku itu tempat kedua yang paling nyaman setelah tempat di puncak sekolah.
"Mpok, biasaaa," ucapku ke ibu paruh baya itu.
Ia telah tahu yang selalu aku pesan. Mie dengan telor ceplok selalu menjadi makanan faforitku di kantin. Biasanya Dede nongkrong denganku di sini. Mungkin kali ini ia bersama teman sekelasnya di kantin yang lain.
"Iya ... sabar dulu neng." Aku mendengar ibu kantin mengeluh ke salah satu murid, bukan kepadaku . Murid yang berdesak-desakan membuat kewalahan Mpok Romlah dan pegawainya.
"Lama banget sih."
"Mpok mie nya satu."
"Duh jangan dorong-dorong dong."
Aku mendengar berbagai perkataan mereka saat berdesakan memesan makanan. Karena aku sudah kenal dekat dengan Mpok Romlah, aku tidak kesusahan memesan makanan.
Tinggal bilang, "Biasa mpok..." makanan sekejap saja sudah disediakan oleh Mpok Romlah.
Aku mengambil mie yang aku pesan. Bau yang harum membuat perutku semakin memberontak. Ditambah lagi dengan pesona telor ceplok yang menghiasi mie itu. Pedasnya rawit yang selalu di tambahkan Mpok Romlah selalu membuat mie ini bergoyang di lidah kecilku.
"Woi lo ga makan?" kataku kepada Dede yang tiba-tiba saja ada di depanku.
Ia dengan sigap mengambil garpu di tanganku. "Boleh, punya elo enak juga tuh."
"Enak aja lo. Beli sendiri dong." Aku merebut kembali garpu.
"Zaki mana?" tanya Dede.
"Sama Tania tadi lagi berduan di kantin sebelah. Tuh liat ajaaa."
Aku menarik kain pembatas antar kantin. Di sana ada Zaki dan Tania yang lagi makan berdua.
"Woi, mesra amat," kata Dede dengan berteriak.
"Hehehe emang elo jonesss." Balasnya.
Tania ikut tertawa dan melanjutkan memakan makanannya.
"Dasar tuh Zaki. Menang ganteng doang tuh." katanya dengan tertawa kecil.
"Daripada lo De, ga ada menangnya sama sekali. Muka sangar dibanggain." Aku memakan lagi mie ini.
"Iya juga sih. Hehehe ... Muka sangar gini ga ada yang mau ngelawan, Ngga." Tawa lebar khas Dede keluar.
"Ada bidadari yang mau datang ke sini. Gua cabut dulu ya Ngga." Ia melihat Raisa dari pantulan kaca dapur Mpok Romlah. "Good luck."
Aku menaikkan daguku. Benar yang dikatakan Dede, bidadari sedang menuju ke mejaku. Gadis elit itu membuat semua pria-pria di kantin menoleh kepadanya.
"Kamu sendiri Rangga?" katanya sambil memesan jus dengan Mpok Romlah. "Aku duduk disini yaa."
"Cantik hari ini," kataku tiba-tiba dengan spontan. Entah kekuatan apa yang membuat kata-kata itu keluar.
Ia mengangkat alisnya. "Bisa aja kamu. Aku cantiknya tiap hari loh. Bukan hari ini saja."
Orang-orang di kantin melihat kami dengan tatapa aneh. Mungkin mereka merasa tidak percaya aku duduk berdua dikantin bersama Raisa, cewek kelas atas sekolah.
"Dari mana tadi? Kok bisa nyasar ke sini." Aku mencoba mencairkan suasana.
"Hehe ... aku dari kelas Rio. Nanyain kapan mereka tanding basket lagi. Yaa biar anak cheers bisa latihan. Kan udah lama kami ga nampil."
Entah kenapa telingku menjadi panas ketika mendengar nama Rio. Ingatan burukku tentang Rio sejenak terulang dibayang-bayang ingatanku. Aku memegang pipi kananku. Di sana tepat ia memukulku dengan keras. aku mencoba membuyarkan pikiran itu dari kepalaku.
"Kemarin kamu ke mall sama Rio yaa?" Aku mencoba memastikan bahwa cowok yang aku lihat kemarin itu adalah Rio.
"Iya, eh kamu kok bisa tau?" Ia kembali mengangkat alis indahnya itu.
"Waktu pulang aku ga sengaja ngelihat kalian di luar mall," kataku sambil cemberut di hati, namun masih tersenyum di bibir.
"Kemarin itu aku memang sama dia mau beli sepatu di mall itu. Tapi, sepatunya ga ketemu. Trus ia pulang dulu, mamanya mau diantarin sama dia. Makanya aku mampir di toko buku, ehhh malah ketemu kamu. Ga enaknya aku yang nabrak kamu." Ia tertawa kecil.
Aku terdiam sejenak. Ada Rere di luar kantin. Ia menatapku sejenak dan langsung pergi. Biasanya ia akan mampir kesini kalau melihatku di kantin, tapi kali ini tidak. Mungkin ia tidak mau menggangguku yang sedang bersama Raisa disini.
"Oh iyaaa, aku kaya ngelihat Rere di toko buku kemarin. Tapi ga tau juga ya, soalnya aku ngelihat dia dari jauh. Mungkin hanya mirip dengan Rere."
Rere, apa mungkin? tanyaku dalam hati.
Aku melihat wanita yang mirip Rere. Raisa juga melihatnya. Apa mungkin ia memang ke sana kemarin? Aku rasa itu hanya perasaan kami saja. Ada banyak wanita yang mirip dan secantik Rere di dunia ini. Namun, jika yang aku lihat itu Rere, bagaimana mungkin ia seceroboh itu hingga menjatuhan buku yang telah di belinya?
"Mungkin itu cuma perasaan kamu saja Raisa," kataku dengan datar.
"Maybe." Ia menaikkan bahunya.
Ia mengambil handphone milikku yang tergeletak di meja kantin. Ia seperti mengetik-ngetik sesuatu di handphone-ku. Aku hanya membiarkan, sudah biasa jika handphone dimainin oleh cewek.
"Ini nomorku. Jangan lupa disimpan yaa." Matanya menyipit tersenyum.
"o-o-oke deh," jawabku terbata-bata.
Aku terkejut ia memberikan nomorku begitu saja. Ia berdiri. Wangi harum semerbak parfumnya begitu tercium saat ia berdiri. Betul kata Dede, dia memang bidadari. Tepatnya bidadari tak bersayap.
Ia menyentuh tanganku. "Aku duluan dulu yaaa."
Hal itu sangat berlaku bagiku saat ini. Badanku bergetar apalagi jantung, terasa ingin copot saking senangnya. Tangannya yang halus bergesekan dengan tanganku. Aku hanya kegirangan di dalam hati.
Aku segera berdiri saat bel istirahat berakhir berbunyi.
Sesorang menyenggolku.....
"Woi pake mata dong," katanya dengan kasar.
Aku hanya diam tidak ingin mencari masalah. Dialah yang menyenggolku dengan sengaja. Teman-teman yang selalu mengekornya hanya tersenyum sinis melihatku. Aku kembali melanjutkan langkahku ke kelas.
Teringat kembali olehku waktu berhadapan dengannya dulu. Dulu mungkin aku hanya cowok pengecut. Namun, sekarang tidak lagi.
"Gua bilang sama lo, jangan deketin Raisa. Kalau lo coba, kita bakalan kaya dulu lagi." Katanya sambil menunjukku.
"Trus gua harus takut gitu? Masa bodo." Aku berbalik arah.
Terlihat jelas wajah Rio yang memerah karena kesal. Ia kesal dengan perkataanku tadi. Nafas Rio menjadi tak karuan karena melihatku pergi begitu saja.
Walaupun aku harus bermasalah dengannya, Dede selalu ada di belakangku. Mereka tidak akan berani melawan.
Setelah jam pulang, aku bertemu dengan Rere sebelum pulang.
"Mesra amat dengan Raisa," katanya dengan datar.
"Yaaa bagus dong. Pemulaan yang bagus untuk jomblo sepertiku." Aku menikmati angin yang berhembus di atas sini.
"Aku tadi ketemu Rio. Dia bilang kalau aku jangan ngedeketin Raisa," kataku pelan.
Mataya tiba-tiba melirik pelan.
"Udah aku bilang. Kamu harus tahu resikonya. Kamu tau sendiri dia bagaimana." Ia menatap ke depan. Hamparan pemandangan kota begitu indah dari sini.
"Kayanya Raisa merespon deh, Re. Malah dia tadi ngasih nomor hapenya," kataku sambil memainkan handphone.
"Kamu itu sih yang kege'eran. Nih rasain" Ia memukulkan penanya ke kepalaku.
Aku berpura-pura kesakitan tatkala ia memperbaiki letak kacamatanya menggunaka telunjuknya. Kebiasaan yang lucu dari Rere. ia kembali tersenyum.
Di dalam benakku berkata, senyumnya begitu manis. Apakah hatinya tersenyum padaku.
Tiba-tiba saja aku berpikiran seperti itu.
Tidak mungkin hati Rere tersenyum padaku. Kami sudah seperti sahabat yang tidak terpisahkan. Mungkin senyum dihatinya hanyalah sebatas sahabat. Namun, aku lebih berharap senyum di hati Raisa sama seperti senyum bibirnya kepadaku. Begitu manis, begitu damai.
Aku selalu berharap ada hati yang selalu tersenyum kepadaku. Namun sosok itu belum muncul. Mungkin saja sosok itu muncul saat aku kuliah nanti, atau bahkan sewaktu bekerja nanti, atau bisa jadi sewaktu kulit ini sudah mulai berkeriput. Aku yakin dan percaya senyuman hati yang seperti itu akan muncul di kehidupan. Hanya waktu yang bisa menjawab.
"Kata Raisa, dia ngelihat kamu di toko buku hari minggu kemaren."
"ehh masa? Oh iya aku mau ngembaliin buku ke perpus dulu ya. Hari ini terakhir." Ia menepuk pundakku dan langsung pergi.
Ia seperti mengalihkan percakapan barusan. Aku menghembuskan nafas dan langsung meninggalkan tempat yang paling nyaman di sekolah ini.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments