11

Di jam-jam terakhir di kelas sungguh menyenangkan. Pak Nazarudin, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia selalu bisa mengendalikan suasana kelas. Ia membawakan pelajaran dengan ringan, tidak seperti guru-guru lain yang selalu membuat suasana kelas menjadi serius dan tegang. Aku dengan santai menyimak kata-katanya. Di siang yang membakar kulit ini menjadi menyenangkan dengan Pak Nazarudin.

Pak Nazarudin selalu menceritakan pengalaman-pengalamannya yang menarik. Ia selalu menceritakan pengalamannya dikala ia masih muda dulu.

Mulai bagaimana ia bertahan hidup di negeri rantau saat masih bersekolah, kisah cintanya sewaktu muda, bahkan pengalamannya ia menabrak tukang cendol bersama temannya waktu dahulu.

Jam pelajarannya lebih banyak di gunakan untuk bercerita daripada membahas pelajaran. Cerita-ceritanya sungguh menarik untuk di dengar. Seakan suasana zaman dahulu lebih menyenangkan daripada zaman yang penuh teknologi seperti saat ini.

Kata-kata motivasinya selalu aku tunggu-tunggu. Ia membakar semangatku dengan hujatan kalimat-kalimat motivasinya. Guru yang selalu memasukkan bajunya itu memberikan kami motivasi untuk menghadapi masa depan. Ia memberitahu kami kunci untuk sukses, cara mendapatkan beasiswa, dan kalimat motivasi lainnya.

Aku sesekali melihat ke jam yang terpasang di dinding untuk memastikan waktu tidak berlalu dengan cepat. Diriku masih ingin mendengar ribuan ceritanya untuk lebih lama lagi. Namun sayang, bell pulang sebentar lagi akan berbunyi.

Bel berbunyi membuatku melangkahkan kaki ke puncak sekolah.

Mataku mengedarkan penglihatannya, di sana sudah tegak seorang cewek dengan rambut panjang hitamnya. Aku mengenal cewek ini dari tas yang ia sandang. Raisa sedang asyik menikmati pemandangan kota dari atas sini. Aku segera menghampirinya. Bau parfum khas Raisa telah tercium dari jarak dua meter.

"Hai, kok bisa disini?" kataku sambil ikut melihat pemandangan kota.

"Kamu kira aku engga lihat kamu dari bawah sana?" Raisa menyipitkan matanya.

"Oohh gitu, akhirnya kamu tau markas rahasiaku ada disini. Jadi selama ini kamu ngelihat aku disini ya?" Hidungku mengembang saat Raisa mengatakan bahwa ia sering melihat aku di sini.

"Iyaa sih heheheh. Enak juga disini ya. Pemandangan langitnya lebih kelihatan dengan jelas."

"Kamu bisa ke sini kok kapan-kapan. Ntar kita bisa pesan makanan Mpok Romlah. Trus kita makan di sini," kataku.

"Boleh juga tuh, tapi kamu yang traktir ya." Raisa mencubit lenganku.

"Kamu ikut aku bentar, aku mau nyari barang-barang keperluan kelas dulu bentar. Jadi kamu temenin aku dulu." Raisa tiba-tiba saja menarik tanganku. Telapak tangannya sangat lembut saat bersentuhan dengan kulitku.

"Tapi aku ada jan ....." Ia memotong perkataanku.

"Ayolahhh." Ia mengeluarkan tampang paling imutnya.

Hatiku seketika saja luluh dan menuruti perkataan Raisa. Namun aku ingat bahwa aku ada janji dengan Rere di café Panda nanti. Rere bisa marah jika janjiku tidak aku tepati. Tarikan tangan Raisa semakin kuat sehingga aku mengurung niatku untuk pergi menemani Rere di café panda nanti.

Aku masuk ke mobil Raisa. Rasa canggung bercampur senang sangat terasa di dalam mobil Raisa. Aku hanya berdua saja dengan Raisa disini. Aku yang tidak bisa mengendarai mobil hanya bisa terdiam duduk di sini. Kadang, ia memulai percakapan agar dimobil menjadi bersuasana.

Sesekali ia meihat kepadaku dan mengangguku dengan tatapan manisnya. Aku sedikit menjadi salah tingkah jadinya. Tatapan matanya sungguh kuat, membuat mataku menjadi lemah untuk menatap balik.

Akhirnya kami sampai di toko yang kami tuju. Toko yang berisi alat-alat keperluan rumah. Kami memasukinya dan mulai mencari barang yang kami cari. Aku mengikuti setiap langkah Raisa. Ia mondar-mandir ke sana dan ke mari, mencari peralatan untuk di kelasnya.

Aku mengambil ember kecil dan meletakkan di kepala Raisa. Raisa yang sedang berkaca pada cermin yang sengaja diletak di dalam toko. Tawa Raisa muncul melihat kepalanya sedang di tutupi oleh ember.

"Kok kamu yang disuruh beli sih? Laki-laki kan banyak." Mataku melirik ke kiri dan ke kanan. Mencari benda-benda yang ia beli untuk keperluan kelas.

"Laki-laki mah pemalas. Cuma mau enaknya aja. Lagian ini tugas dari Wali Kelas langsung." Ia mengangguk sedikit.

Aku mengakui laki-laki pasti malas jika diminta hal yang seperti ini.

"Rajin banget kamu ya. Kaya Rere aja. Dia selalu mau melakukan yang demi kepentingan orang banyak. Kaya kamu gitu."

Ia sedikit menaikkan alisnya saat aku sebut nama Rere.

"Aku itu ketua kelas. Kalau aku tolak bisa turun pangkat loh." Seketika aku merasa kecil saat ia mengatakan bahwa Raisa adalah ketua kelas X.IPA.2.

Oh iya aku ada janji dengan Rere. gimana nih. Ga mungkin aku pulang duluan.

Aku mengingat janjiku dengan Rere. Aku memandang ke jam tangan yang ada di tangan kiriku. Jarum-jarum pada jam sudah sudah menunjukkan jam lima lewat. Aku segera berlari mencari pel. Akhirnya aku mendapatkan pel yang dicari Raisa.

"Raisa ini." Aku menunjukkan pel yang ku pegang. "Pulang yuk, orang tuaku pasti nyariin nih kalau pulang jam segini."

Aku mencoba berbohong.

"Kaya anak kecil aja kamu Rangga. Pakai dicariin segala. Heheheh."

Tanganku secara tidak sadar telah menarik tangan Raisa.  Ia malah mempererat pegangan tangaku. Aku menuntunnya hingga ke kasir untuk membayar apa yang telah di ambil tadi.

Aku kembali melihat jam tanganku. Raisa sudah menghidupkan mesin mobilnya. Aku menjadi gelisah seiring gelisahnya hatiku saat ini. aku mengecek handphone dan berharap Rere belum mengirimkan pesan singkat yang berisi,

"Cepetan."

"Di meja nomot Sembilan ya. Aku datang bentar lagi kok. Kalau kamu udah datang. Tunggu bentar ya, aku lagi siap-siap nih. See you there."

Pesan singkat Rere yang dikirimkan lima belas menit yang lalu.

Diriku semakin gelisah sesudah melihat pesan singkat dari Rere. Ia bisa kecewa jika aku tidak datang.

"Serius banget liatin handphonenya," kata Raisa sambil memutar stir mobilnya. "Dari Rere pasti."

"hmmm iya sih." Aku mencoba jujur.

"Emang dia mau ngapa?" Tanya Raisa.

"Sebenarnya aku ada janji dengan Rere. Dia mau ketemu sama redaksi majalah. Kata Rere sih dia mau di kontrak buat ngisi halaman majalah dengan cerpen karya Rere."

"Wah hebat banget sih Rere ya. Aku jadi iri mendengarnya. Umur segini udah dapet job begituan." Ia memuji Rere.

Ternyata tidak hanya cowok yang mengagumi Rere, ternyata cewek juga ada.

"Thanks yah udah nemenin aku." Matanya menyipit saat mengatakan itu.

"Iya, sama-sama." Aku mengangguk sambil tersenyum.

Rere melajukan mobilnya untuk kembali pulang. Aku juga bergegas ke café tempat yang telah diberitahu oleh Rere tadi di sekolah.

Aku telah sampai di depan café yang diberitahu oleh Rere. Mataku melirik ke kiri dan ke kanan. Café ini penuh dengan anak muda yang sedang hangout bersama teman-temannya. Wajah yang aku cari juga belum aku lihat. Meja nomor sembilan yang dipilih oleh Rere masih kosong.

Aku duduk di sana sendiri sambil menunggu Rere. Sudah empat puluh lima menit aku terlambat.

Sepertinya Rere sudah pulang duluan. Aku menarik nafas sebentar dan berharap aku lah yang paling dulu datang daripada Rere. Pelayan café itu datang menghampiriku. Ia memakai seragam pelayan café disini. Ada minuman yang ia bawa.

"Masnya namanya Rangga kan?" tanya pelayan itu dengan lembut.

"Iya, ada apa ya mbak?" Aku bertanya balik

"Oh iya, mbak Rere berpesan kalau minuman ini untuk mas. Minuman ini udah dibayar tadi kok."

"Oh ya? Jadi Rere nya udah pergi duluan yah?" Aku bertanya lagi.

"Iya, sekitar sepuluh menit yang lalu. Saya permisi dulu ya," kata pelayan café itu dan berbalik pergi.

Hatiku merasa tidak nyama seketika mendengar kalimat bahwa Rere sudah pulang dari tadi. Rere pasti kecewa aku tidak datang. Aku sudah tahu betul sifatnya. Di hadapanku sudah tersedia segelas cappuccino ice yang telah dipesan oleh Rere dari tadi untukku. Aku meminumnya perlahan sambil menarik nafas dalam-dalam dan berharap ia tidak begitu kecewa.

"Betul juga, aku harus menyusulnya ke rumah," gerutuku di dalam hati.

Motorku meningkatkan kecepatannya untuk pergi kerumah Rere. Hari belum terlalu sore untuk berkunjung kerumah Rere. Aku melihat dari jauh Rere sedang duduk di depan rumahnya sendiri. Duduk sambil memetik bunga yang di tanam pada pot bunga.

"Hai," kataku saat sudah berada di dalam area rumah Rere.

"Hai." Ia mencoba mengeluarkan senyumnya. Walau senyum itu terpaksa ia keluarkan. Aku tau itu. Ada rasa kecewa yang tergambar di wajah Rere.

"Maafkan aku...." Aku terburu meletakkan jari telunjuknya tepat bibirku. Sorot matanya fokus menatapku. Mulutnya serius untuk sebuah kata.

"Iya ga apa-apa kok. Yang penting aku mendapatkan kontraknya dari redaksi majalah."

Aku tersenyum sedikit. Diriku terkejut melihat respon Rere yang begitu berbeda. Biasanya ia akan ngambek kalau terjadi hal yang seperti ini. Mungkin, ia terlalu senang karena akan menjadi pengisi halaman di majalah.

"Congrats yah, Re," kataku sambil menepuk bahunya.

"Duduk dulu," ucap Rere dengan imut. Ia pergi ke dapur dan membuatkanku secangkir teh manis. Sikapnya selalu menghormati seorang tamu.

"Bagaimana dengan hubunganmu dengan Raisa? Ada kemajuan, kan?" Ia duduk. Kakinya tampak menyamping.

"Yaaa ada. Perlahan-lahan ada kemajuan kok." Aku senang ia menanyakan hal ini. Sebuah senyum bertengger di antara kedua sudut bibirnya.

"Trus kalau kamu Re. Siapa yang sedang deketin kamu?" tanyaku balik.

Baru kali ini aku menanyakan hal yang seperti ini kepadanya. Ia selalu menutup rapat-rapat tentang hal yang seperti ini, bahkan kepadaku sendiri,

"Ga ada sih. Cuma lagi nunggu seseorang." ia menyipitkan matanya.

"waahhh ada gebetan baru nih. Siapa tuh?" tanyaku dengan semangat.

"Bukan siapa-siapa, tapi aku yakin dia bakalan datang nantinya." Ia tertawa saat mengatakan kalimatnya.

Aku menyeduh teh untuk terakhir kalinya dan berpamit kepada Rere untuk pulang. Hari sudah semakin sore. Ibuku pasti sudah mengkhawatirkanku yang belum pulang seharianku. Kami sama-sama melambaikan tangan saat aku sudah keluar dari area rumahnya. Sepertinya Rere tidak kecewa sebagaimana dugaanku sebelumnya.

*Namun di hati Rere berkata,

"Aku tau kamu pergi dengan Raisa. but, it's okay. Yang penting kamu sudah mengkhawatirkanku hingga kamu datang ke sini, Rangga. Kamu pasti takut melihatku marah. But, kamu itu lucu kalau melihatku marah. Kejar terus Raisa-mu, Rangga."

Dengan sedikit senyum ia menghela nafas dan menggerakkan kaki untuk masuk kerumah*.

***

Terpopuler

Comments

Reree

Reree

kasian ih rere😔

2020-07-09

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!