Sementara itu, di Jakarta, Chaca mulai mengerjakan beberapa pekerjaan yang tadi sudah diajarkan oleh Rayya. Dan, rupanya ia mudah memahaminya, tidak begitu sulit. Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul jam lima sore.
“Chaca, sebelum pulang, ikut saya dulu ya,” pinta Rayya sembari mendekati meja kerja wanita itu.
“Ke mana, Mbak?” tanya Chaca penasaran.
“Nanti kamu juga bakal tahu. Ayo ... sekarang rapikan mejanya, besok bisa dilanjutkan lagi,” titah Rayya yang rupanya sudah membawa tas kerjanya.
Chaca hanya manut saja, setelah semuanya rapi, barulah wanita itu mengikuti teman sekaligus atasannya. Dan, tak lama kemudian mereka tibalah di salah satu mall yang masih berada di daerah SCBD. Tatapan Chaca tampak mengagumi penampilan pengunjung mall mewah tersebut, dan jujur saja bikin ia agak minder, dan hal itu terlihat oleh mata Rayya.
“Ayo Cha, kita masuk,” ajak Rayya sembari menarik lengan wanita itu ke salah satu store baju yang ada di sana.
“Ya, Mbak,” sahut Chaca bergegas melangkah masuk dan berdiri di sampai Rayya.
Rayya langsung menuju ke rak pakaian wanita, dan mulai memilih-milih. Sedangkan Chaca hanya bisa sekilas saja melihatnya, walau sebenarnya ia tertarik untuk melihat model-model baju yang cocok untuk ia bekerja. Setidaknya ia ingin memantaskan diri saat bekerja.
“Cha, ayo dicoba baju-baju ini, Mbak mau lihat,” pinta Rayya sembari memberikan beberapa stel baju kerja.
“C-Coba, Mbak?” Chaca mendadak bingung.
“Iya, ayo cepetan dicoba, biar kamu cepat pulang, anakmu pasti sudah menunggu,” desak Rayya dengan mendorong bahu wanita itu ke ruang ganti.
“Kok, disuruh cobain ya,” gumam Chaca pelan, dan bergegas masuk ke dalam ruang ganti.
Ada sekitar setengah jam, Chaca mencoba pakaian yang dipilihkan Rayya. Dalam benak Chaca ada rasa senang saat ia mematut penampilannya di depan cermin. Hanya saja saat melihat harganya, ia langsung lemas. Harganya tidaklah murah, cukup mahal.
“Oke, semua bajunya tolong dibungkus ya, Mbak,” pinta Rayya saat Chaca sudah selesai mencoba lima stel baju kerja, sembari memberikan blackcard kepada karyawan store.
“Eh, Mbak Rayya, ini maksudnya apa? Baju in harganya mahal loh, Mbak?” cegah Chaca saat itu juga.
Wanita itu tersenyum, “Hadiah dari Mbak buat kamu. Kalau kamu sudah mau membuka diri dan mau berubah,” ujar Rayya dengan santainya.
“Ya Allah, Mbak, tapi baju-baju ini sangat mahal harganya, biar sebagian pakai uang aku aja,” pinta Chaca bergegas mengambil dompet dari tasnya.
Dan, Rayya langsung menahannya. “Enggak usah Chaca, biar Mbak aja yang bayar, kalau kamu mau bayar sebaiknya buat beli sepatu pantofel, kamu sangat memerlukannya,” ujar Rayya sembari melirik flat shoes yang saat ini ia pakai.
Chaca tersenyum malu. Malu dengan sepatunya yang warnanya pun tampak usang.
“Kalau begitu nanti bantu aku pilihkan sepatu buat kerja ya Mbak.”
“Oke, setelah ini kita cari sepatu buat kamu, dan beli beberapa make up dan skin care buat kamu.”
Chaca mengangguk dan hatinya terasa hangat, seakan memiliki saudara perempuan yang sangat perhatian padanya.
***
Sekitar jam delapan malam, Chaca baru tiba di mansion. Wajah wanita itu tampak berseri-seri seakan tidak ada beban, dan tak lupa paper pag yang ia bawa pulang begitu banyak. Bik Rahma yang melihatnya pulang langsung bergegas menyambutnya.
“Kok kamu pulangnya malam, Nduk?” tanya Bik Rahma sembari membantu membawa bawaan Chaca.
“Maaf ya, Bik, tadi pulang kerja diajak ke mall sama bu bos. Aqila nggak rewel'kan, Bik?”
“Untungnya sih nggak rewel, tapi nyonya barusan tanyain kamu sudah pulang atau belum.”
“Oh.” Bibir Chaca membulat, lalu bergegas masuk ke dalam. Baru sehari meninggalkan anak bekerja rasanya kangen berat, tapi setidaknya tadi siang ia menyempatkan menanyakan kabar Aqila pada bibinya.
Beberapa menit kemudian setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, Chaca langsung mengambil alih Aqila dari nanny-nya.
“Ulu-ulu, anak Mama sudah ngantuk ya, padahal Mama kangen berat sama kamu, Sayang,” gumamnya sembari mengecup pipi gembul Aqila.
“Baru pulang kerja, Cha?” Suara Mama Maryam terdengar jelas di ruang tengah.
Chaca menoleh. “Iya Mah, maaf kalau pulangnya telat, tadi ada sedikit keperluan sama bu bosnya,” jawab Chaca.
Mama Maryam mengangguk, lalu duduk di salah satu sofa di sana. “Chaca meskipun kamu sudah bekerja, jangan sampai melupakan Aqila. Dan, kamu ingat, status kamu istrinya Wira, harus jaga nama baiknya di luar sana.”
Chaca tersenyum getir. “Mah, statusku hanya diketahui oleh keluarga di sini saja, yang dikenal orang di luar sana hanyalah bu Adelia sebagai istrinya pak Wira. Tapi, Mama tidak usah khawatir, insyaAllah aku selalu menjaga marwahku. Bahkan dulu sampai mantan suamiku meninggal dunia bersama kekasihnya, aku masih setia menantinya.”
Wanita paruh baya itu tidak bisa berkutik, selama ini ia juga tahu jika anak bungsunya tetap berpacaran dengan kekasihnya meski sudah menikahi Chaca.
“Mah, terima kasih selama ini sudah menerima aku dan Aqila di sini. Walau pastinya di hati kecil Mama berat menerima menantu dari kalangan biasa saja, tidak seperti bu Adelia yang sederajat. Tapi, setidaknya kali ini aku sudah tidak mau berdiam diri. Karena tidak selamanya aku jadi bagian keluarga ini, aku tidak mau selamanya menjadi orang ketiga di keluarga pak Wira dan bu Adelia. Jika nanti tugasku sudah selesai, aku harap Mama dan Papa mau melepaskan aku dan Aqila dari sini.”
Mama Maryam kembali terdiam.
***
Empat hari telah berlalu, Chaca mulai menikmati aktivitas barunya dan belajar menyesuaikan diri di tempat kerjanya. Perlahan-lahan ia mulai belajar banyak hal di tempat barunya itu, dan mencoba bersosialisasi dengan rekan-rekan kerjanya.
Sementara itu, Wira dan Adelia pun sudah kembali ke Jakarta dalam beberapa hari yang lalu. Hanya saja Wira belum bisa mendatangi mansion kedua orang tuanya karena Adelia mengeluh perutnya sakit, terpaksa pria itu menunda keinginannya.
Namun, hari ini, menjelang sore Wira harus memenuhi undangan sahabatnya untuk menghadiri ulang tahun kantornya di salah satu restoran mewah di hotel bintang lima di Jakarta Selatan, dan tak mungkin ia menolaknya.
“Adel, kamu tidak perlu ikut, istirahatlah ... biar cepat sembuh,” ujar Wira yang tampak rapi.
“Mas, aku kuat kok untuk ikut, perutku sudah enakkan kok,” rengek Adelia agak manja.
Wira agak memicingkan matanya saat menatap istri pertamanya. “Jadi, kamu selama tiga hari ini pura-pura sakit perut?” tanya Wira menduga ke sana.
“Eh, enggak kok Mas, a-aku beneran sakit perut dari kemarin,” jawab Adelia. “Cuma, nanti pasti Hans menanyakan Mas kok nggak ajak istrinya. Aku jadinya nggak enak,” jawab Adelia dengan suaranya memelas.
Bersambung ... ✍️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Ais
suami istri sama iya nya sm munafiknya sm pembohongnya makanya cocok dan berjodoh dipikir kasihan alm adik wira ini ya apa jng"smua bagian dr rencana wira ya menjerumuskam adiknya untuk terpaksa menikahi chaca dan kompensasinya membiarkan adik wira ini semasa hidup ttp menjalin hubungan sm kekasihnya smp akhirnya mereka mengalami kecelakaan
2025-03-02
10
Inooy
nama baik yg mana maaa yg harus d jaga itu?? sementara Chaca aj g d hargain ma anak nya ibu,,malah dua2 nya g ngehargain Chaca....
Ezzar menikahi Chaca g menganggap Chaca istri nya, malah dia dgn santai nya selingkuhin Chaca..apapun alasan nya mesti nya Ezzar harua bisa menjaga marwah nya..ini malah kalah ma teh botol sosrooo 🤦♀️
Wira jg sama, hanya mengatas namakan melindungi penerus Brawijaya kamu rela turun ranjang..tp sayang nya kamu 11 12 ma adik kamu..sama2 g menganggap Chaca...
2025-03-03
1
Ira Sulastri
Cerita masih bikin penasaran 🤔, tp saya sangat berharap nantinya Wira yg akan bucin ke Chaca. Chaca tunjukkan pada suami dan kakak madu mu, walaupun orang kampung tp kamu pintar, elegan dan berkelas hanya karena keadaan lah yg membuat mu tidak bisa kuliah. Rawat dirimu sendiri jg Aqila, tunjukkan tanpa bantuan suamimu itu kamu bs hidup, kan benar setelah akad ga dapat nafkah dr suami kamu
2025-03-02
1