Keesokan paginya, Wira kembali ke kamar Chaca dengan membawa dokumen. Ia meletakkannya di meja di hadapan wanita itu. “Ini surat perjanjian pernikahan. Bacalah, dan jika kamu setuju, tanda tangani. Saya akan membawa Aqila ke sini setelah itu.”
Chaca menatap dokumen itu dengan pandangan kosong. Ia merasa seperti sedang menandatangani nasibnya sendiri. “Kamu benar-benar kejam, Pak Wira!”
Wira tersenyum tipis. “Saya tidak kejam, hanya melakukan apa yang perlu dilakukan. Tidak lebih.”
Chaca menggeleng. “Saya tidak akan menandatanganinya.”
Wira menghela napas panjang, lalu mendekat. “Kalau begitu, kamu tidak akan pernah melihat Aqila lagi. Sederhana.”
Chaca merasakan hatinya hancur berkeping-keping. Ia tahu Wira tidak bercanda. Namun, ia juga tahu bahwa menyerah pada permintaan pria itu berarti mengorbankan dirinya sendiri.
Sesaat di antara mereka berdua masih hening. Namun, tiba-tiba saja kepala pelayan datang membawa troli makanan mengantarkan sarapan pagi untuk Chaca atas perintah Wira. Ya, wanita itu keadaannya sedang dikurung sejak semalam oleh Wira, sehingga di pagi hari Chaca tidak bisa keluar dari kamar seperti biasanya. Meski pikirannya ingin kabur, tapi pengawasan Wira begitu ketat.
Sang kepala pelayan tanpa bersuara menyajikan semua makanan di atas meja sofa, lalu membungkukkan tubuhnya saat berpamitan pada Wira, tuannya.
“Sebaiknya kamu sarapan terlebih dahulu, agar kamu bisa berpikir dengan jernih. Setelah itu tanda tangani suratnya,” titah Wira, masih memaksa.
Pandang mata Chaca menengadah, sirat matanya yang penuh luka kini agak menajam. Sudut bibirnya menyunggingkan senyuman tipis.
“Pak Wira yang terhormat, sudah saya katakan, saya tidak akan menandatangani surat tersebut. Dan tidak ada pernikahan di antara kita!” Dengan lantangnya Chaca berbicara.
Pria itu membalas tatapan adik iparnya, kakinya melangkah perlahan-lahan ke tempat duduk wanita itu. “Ini penawaran saya yang terakhir, Chaca. Turuti permintaan saya, atau—“ Pria itu membungkukkan tubuhnya di hadapan wanita itu, sehingga Chaca sedikit terkesiap dan tersentak mundur ke belakang.
“Hidupmu akan ada di penjara selamanya! Saya tidak akan segan menyeret kamu ke sana dengan segala cara,” bisik Wira mengancam.
Degh!
Wajah Chaca pias saat itu juga, kedua tangannya yang ada di atas pangkuannya terkepal. Wira menyeringai tipis, lalu kembali berbisik. “Menikah, menjadi istri kedua saya atau tinggal di penjara seumur hidupmu. Hanya dua pilihan yang saya berikan!”
Perlahan-lahan kepala Chaca menoleh, tampak jelas wajah Wira yang penuh dengan kelicikannya.
“Keterlaluan Anda, Pak Wira!” sentak Chaca, emosinya meluap.
Wira menegakkan kembali tubuhnya. “Sudah saya katakan padamu berulang kali, apa pun bisa saya lakukan. Mungkin tadi saya mempersilakan kamu jika memang tidak mau menandatangani surat perjanjian itu. Tapi dipikir-pikir jika saya bebaskan ... pastinya kamu akan mencari jalan untuk meraih Aqila dari keluarga kami. Maka dari itu mungkin sebaiknya kamu tinggal di hotel prodeo,” ujar Wira dengan senyum liciknya.
Hari Chaca bergemuruh, lantas ia berdiri dan melayangkan tangannya ke pipi Wira dengan kerasnya. Pria itu terkesiap, sampai wajahnya berpaling ke samping. Untuk pertama kalinya pria itu ditampar oleh wanita, selama ini Adelia sebagai istrinya saja sangat menghormatinya dan tidak pernah menamparnya.
“Beraninya, kamu!” Suara Wira menggema.
“Kenapa? Pikir Pak Wira saya tidak berani menampar Anda! Apa salah saya pada Pak Wira ... hah! Di luar sana masih banyak wanita yang bisa Anda pilih untuk dijadikan istri kedua! Tanpa harus menikah dengan saya! Saya ingin hidup bebas, dan tidak berada di dalam keluarga Brawijaya!” pekik Chaca, dengan sisa tenaganya meluapkan isi hatinya.
Wira mengusap pipinya yang masih terasa perih, pandangannya kembali menatap wanita itu. Lalu, ia menarik tubuh Chaca dengan merangkul paksa pinggang wanita itu.
“Akh!” Chaca memekik karena tubuhnya tersentak, kedua tangannya lantas menyentuh dada Wira seakan menjadi dinding yang memisahkan tubuhnya dengan tubuh Wira agar tidak begitu menempel. Pandangan mata mereka pun bersirobok.
Sirat mata Wira tampak berapi-api menghadapi adik iparnya yang sejak awal menolaknya secara terang-terangan, dan hal itu baginya bak merendahkan harga dirinya.
“Salahnya kamu sudah terlanjur masuk ke dalam keluarga Brawijaya! Dan jangan bertanya mengapa saya memilih kamu! Sepatutnya kamu bersyukur saya memilih kamu bukan wanita di luar sana!” sentak Wira.
“Tapi saya tidak pernah bersyukur dipilih oleh Anda, Pak—Akh!”
Chaca memejamkan mata saat Wira kembali menyentak tubuhnya, hingga mereka berdua pun semakin rapat dengan sempurnanya. Dibalik sorot mata Wira yang tajam, ada percikan yang tak bisa diartikan saat memandang wanita itu.
“Berdebat denganmu tidak ada gunanya, Chaca. Menghabiskan waktu saya saja di sini. Sebaiknya kamu sarapan, isi tenaga, dan bersiap-siaplah!” perintah Wira dengan sorot matanya yang mengintimidasinya.
Tubuh Chaca menegang, menatap bingung pria itu seraya mencerna maksud perkataan Wira barusan. Apakah mungkin?
Perlahan-lahan Wira menarik napas panjang tanpa melepaskan pandangan matanya, lalu mengurai pelukannya, meski terasa lambat gerakan tangannya.
Pria itu lantas berbalik badan dan berjalan menuju pintu tanpa berbalik badan. Luruhlah tubuh Chaca ke lantai usai pertengkarannya kembali.
“Maksudnya, a-ada a-apa ini?” tanya Chaca, pikiran mendadak buntu.
Wira yang sudah keluar dari kamar Cacha memberikan instruksi untuk tetap berjaga di sana, kemudian ia menghubungi asisten pribadinya melalui ponselnya.
“Dzaki, acara dimajukan, siapkan sore ini juga di mansion orang tua saya. Hubungi semua pihak yang terkait,” perintah Wira dengan tegasnya.
“Sore ini!” Dzaki terkejut, walau sebenarnya sudah diatur untuk minggu depan.
“Ya, sore ini juga!” tegas Wira.
“Siap, Tuan Wira.”
Wira mengakhiri teleponnya, kemudian bergegas mencari kedua orang tuanya beserta istrinya. Dan rupanya mereka semua berada di taman belakang menikmati sarapan pagi dengan bermain bersama Aqila.
Adelia menangkap sosok suaminya, lantas ia melambaikan tangannya dengan senyuman lebarnya. Dari kejauhan Wira menghela napas membuang ketegangan yang sempat terjadi, lalu membalas senyuman Adelia sembari melangkah ke sana.
“Duh, cucu Oma pintar ya makannya,” puji Mama Maryam saat menyuapi cucu satu-satunya.
“Pagi Mah, Pah,” sapa Wira ketika sudah mendekat, lalu duduk di sebelah istrinya.
“Pagi juga, Wira,” balas Mama Maryam bergantian dengan Papa Brawijaya.
Salah satu maid bergegas menaruh piring untuk Wira, lalu menyiapkan kopi.
Sejenak Wira memandang Aqila yang kini tersenyum lebar padanya dengan tatapan yang tampak ceria. “Om.” Suara riang Aqila terdengar renyah. Samar-samar pria itu tersenyum, lalu mengusap lembut pipi Aqila yang belepotan.
“Semalam Aqila tidak rewelkan, Mah?” tanya Wira sembari menunggu istrinya menuangkan nasi goreng untuknya.
“Aqila,‘kan sudah terbiasa juga tidur sama Mama dan Papa, pastinya tidak rewel, hanya sesekali saja cari mamanya,” balas Mama Maryam apa adanya.
“Baguslah kalau begitu.”
“Gimana, hasil pembicaraan kamu sama Chaca? Dia setuju?” tanya Papa Brawijaya.
Wira menunda menikmati sarapan paginya, ia menatap istrinya kemudian beralih kepada kedua orang tuanya.
“Sore ini saya akan menikahinya, Pah, Mah. Dan tampaknya tidak bisa menunggu minggu depan, ketimbang nanti dia berusaha kabur seperti kemarin,” ujar Wira serius.
Bersambung ... ✍️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
ir
seharusnya kalo memang ingin Chaca jadi istrimu ngomong nya baik² Wira bukan mlah makin di tekan kaya gitu, bisa kan nanya baik² kenapa nolak alasannya apa? kalo memang ada perasaan cinta ya di perlakukan baik, ini udah di tekan sana sini, di ancam, lagipun kamu bisa kasih jaminan suatu saat si ondel² itu ga berulah, pasti akan ada masa si Chaca di katain pelakor nanti, pelaku macak korban, kalo aku jadi chaca aku juga bakal buat surat perjanjian, yakin si wira ga ada perasaan cinta kalo aku si ga yakin
2025-02-26
7
Ais
aneh ya wira ini obsesi banget dia pengen nikahi chaca apa mungkin aqila anak kandung wira tapi karena malam itu di kamar adik wira gelap jadi dikira chaca adik wiralah yg melakukan pemerkosaan itu entah wira wkt itu dlm kondisi sadar memperkosa chaca atau dlm keadaan dia kena obat perangsang entahlah dan adelia kamu hrs siap"tersingkir jd istri wira karena pelan tapi pst cinta wira kayaknha sdh lama hilang buat kamu karena dr awal chaca masuk kekeluarga brawijaya wira sdh jatuh cinta diam"sm chaca ini
2025-02-26
4
Inooy
pendirian mu sungguh teguh Chaa,,sekali tidak tetap tidak...dn kamu benar2 berani menampar Wira, tp hati2 karena tindakan mu Wira bakalan memperketat penjagaan dn ruang gerak mu makin d persempit 🥺
dn kamu Wiraa,,kamu memperlakukan Chaca seperti seorang tahanan..ruang gerak nya d batasi, selalu menekan Chaca supaya menuruti smua kemauan mu...hati2 Wiir smua perlakuan mu akan berimbas k diri kamu sendiri,,karena yg akan d simpan d memori Chaca smua perlakuan kasar kamu,,walaupun yg bertindak bukan kamu secara langsung, tp para bodyguard mu..
suatu saat d saat kamu merasakan cinta, jangan harap Chaca akan respect terhadap mu,,ingat ituuu!!!
2025-02-27
0