Cahaya pagi perlahan menembus tirai tipis jendela, mewarnai langit yang mulai merona jingga. Di dalam kamar penginapan yang masih diselimuti keheningan, King Yuna perlahan membuka matanya. Kelopak matanya yang berat itu terangkat pelan, menatap langit remang di luar sana. Dunia mulai terbangun.
dia duduk dan menoleh, pandangannya jatuh pada ranjang kosong di sebelahnya. Tempat tidur Alana telah dingin, tak berpenghuni. “Mungkin dia sudah pergi ke tempat ujian,” gumamnya dalam hati.
Alana, gadis misterius itu, selalu datang dan menghilang seperti bayangan senja yang tak bisa digenggam.
Tak ingin membuat rekan-rekannya menunggu lama seperti hari kemarin, Yuna pun segera bangkit. dia melangkah menuju kamar mandi dan membenamkan diri dalam air hangat, membiarkan tubuhnya rileks sejenak. Suasana hening dan uap air yang melayang perlahan seperti menyelimuti hatinya yang diam-diam merasa cemas akan ujian hari ini.
Setelah cukup berendam, Yuna berganti pakaian dan turun ke lantai bawah. Langkah kakinya ringan namun pasti. Dan benar saja, di meja yang tak jauh dari tempatnya berdiri, tampak Ketua Keempat bersama para murid lainnya sedang duduk menanti.
“Selamat pagi,” sapa Yuna dengan anggukan sopan, lalu duduk bersama mereka untuk sarapan.
Ketua Keempat menatapnya dan bertanya, “Ke mana Nona Alana? Mengapa kau datang sendirian?”
Yuna hanya mengangkat kedua bahunya pelan, memberi jawaban lewat gestur yang singkat tapi cukup jelas.
“Gadis itu sungguh aneh,” gumam King Xian, menggelengkan kepala. “Selalu datang dan pergi sesuka hati. Apa dia tidak pernah merasa lelah? Atau… mungkin energi Qi-nya tak terbatas seperti lautan ”
Ketua Keempat hanya tersenyum tipis. “Sudahlah, lebih baik kita sarapan dahulu. Setelah itu kita langsung menuju tempat ujian. Aku yakin, Nona Alana akan baik-baik saja.”
Pelayan pun datang membawa hidangan. Aroma masakan hangat memenuhi udara pagi yang sejuk. Mereka makan dengan lahap, mengisi tenaga untuk menghadapi ujian tahap dua yang segera dimulai. Butiran nasi dan irisan daging terasa lebih nikmat saat disantap dalam kebersamaan.
Setelah semua makanan habis tanpa tersisa, mereka bangkit dan bersiap menuju arena ujian yang telah ditentukan.
---
Sementara itu, di penginapan tempat Fu Lin bermalam, Alana baru saja terbangun. Ia menggeliat pelan, meregangkan otot-ototnya yang kaku, lalu menatap ke luar jendela. Sinar matahari sudah cukup tinggi, menyusup masuk ke sela-sela kamar.
Matanya membelalak. “Sudah siang?” serunya panik, lalu segera melirik ke arah Fu Lin yang masih meringkuk sambil memeluk guling kesayangannya.
“Jeje, bangun! Kita bisa terlambat ke akademi!” seru Alana, mengguncang tubuh temannya.
Namun yang dibangunkan justru mengerang malas. “Kamu saja yang pergi dulu, Nona… aku masih mengantuk…”
Alana memutar bola matanya, kesal bukan main. Tapi tentu saja, dia tak akan menyerah semudah itu. Dengan senyum licik tersungging di bibir, Alana pun mulai menyalurkan Qi-nya ke tenggorokan.
“JEJE, BANGUN! HARI SUDAH SIANG!”
Suara menggelegar itu mengguncang seisi penginapan. Fu Lin langsung melompat dari tempat tidur, matanya terbelalak, napasnya memburu. Ia menoleh ke kanan dan kiri, seolah mencari sesuatu.
“NONA! Kenapa berteriak di telinga saya?” protesnya kesal, sambil memegang telinga yang masih berdenging.
“Karena Jeje terlalu nyenyak hingga tak bangun-bangun,” jawab Alana dengan ekspresi gemas. Wajahnya tampak lucu saat kesal, seperti anak kecil yang kehilangan mainannya.
Seluruh penghuni penginapan pun ikut terbangun karena teriakan tersebut. Beberapa tampak mengintip dari balik pintu, sisanya menggerutu dalam hati. Namun Alana hanya mengangkat bahu, tak merasa bersalah sedikit pun.
Fu Lin menghela napas panjang. Tak ingin membuat masalah berlarut, ia akhirnya bangkit. “Baiklah, Nona Alana… tunggu sebentar, aku bersiap dulu.”
DIa pun bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Beberapa saat kemudian, keduanya pun meninggalkan penginapan.
Langkah Alana terasa ringan. DIa memang sengaja tidak mampir ke penginapannya sendiri karena yakin King Yuna dan yang lain pasti sudah berada di arena. Angin pagi menyapa wajah mereka, membawa harapan dan ketegangan yang perlahan menyatu di dada.
Dan benar saja, saat Alana dan Fu Lin tiba di tempat ujian, pandangan mereka langsung disambut oleh kerumunan peserta yang telah berkumpul lebih dulu. Cahaya pagi memantul dari permukaan batu-batu putih di arena, menari-nari seperti kilau harapan dan ketegangan yang berbaur jadi satu.
Tatapan Alana menyapu tempat itu. Di tengah keramaian, ia menemukan empat saudara seperguruannya tengah duduk—mereka terlihat tenang, namun jelas bersiaga. Seperti kesatria sebelum pertempuran, mereka menyatu dalam aura kesiapan.
Tanpa berkata sepatah pun, Alana menggenggam tangan Fu Lin dan melangkah menghampiri mereka. Langkah mereka ringan, tapi kehadiran mereka berat bagai angin yang membawa musim baru.
Sontak, perhatian peserta lain tertuju pada mereka. Bisikan lirih terdengar dari berbagai penjuru:
“Lihat… itu Nona Fu Lin, dia tampak begitu akrab dengan gadis dari Klan King itu…”
“Mereka berdua sangat cantik… terutama gadis mungil di samping Fu Lin, imut dan penuh misteri…”
Namun Alana tak memedulikan suara-suara lirih itu. DIa melangkah lurus, matanya hanya tertuju pada rekan-rekannya. Dia tak punya waktu untuk basa-basi, terlebih dengan bayangan ujian yang sudah di ambang mata.
Namun bukan hanya teman yang mengawasinya tiga pangeran dari istana kekaisaran juga tengah menatap Alana dengan mata tajam dan penuh dendam. Salah satu dari mereka berbisik lirih, “Kau boleh tersenyum hari ini… tapi aku pastikan senyummu akan sirna dalam ujian ini.”
Ya, semakin hari, semakin banyak pihak yang membenci Alana. Seolah takdir sedang mengujinya, menghadiahi setiap langkahnya dengan batu, duri, dan api. Tapi mungkin inilah jalannya jalan menuju puncak kultivasi, tempat hanya yang terkuat yang bisa bertahan.
“Selamat pagi semua,” sapa Alana dengan suara lembut yang memecah riuh. Keempat teman seperguruannya sontak menoleh dan tersenyum saat mengenali suara itu.
“Adik Alana, dari mana saja kau? Dan salam untuk Nona Lin,” ucap King Yuna ramah.
“Saya Fu Lin, senang bisa bertemu kalian semua,” balas Fu Lin sambil membungkuk hormat.
Alana tersenyum tipis. “Ceritanya panjang, Jeje. Nanti saja setelah ujian selesai akan kuceritakan semuanya. Tapi… bolehkah Lin jeje duduk bersama kita?”
Permintaan itu langsung disambut hangat, terutama oleh King Yue yang dalam hati berbunga-bunga. Ya kali menolak duduk di samping gadis secantik itu, gumamnya dalam batin.
“Aku tak keberatan, adikku. Justru senang rasanya mendapat teman baru,” ujar King Yuna sambil mempersilakan.
Akhirnya, keenam anak muda itu duduk bersama. Canda dan tawa kecil mengisi ruang antara detik, mencairkan ketegangan menjelang ujian.
Namun suasana segera berubah ketika dua pria paruh baya muncul dan berdiri di tengah arena. Wajah mereka tegas, aura mereka menggema layaknya lonceng yang menandakan dimulainya babak penting.
“Selamat pagi semuanya. Kami adalah ketua akademi yang akan memandu ujian tahap kedua hari ini. Sebelum dimulai, kami akan membagikan gulungan undian. Masing-masing dari kalian harus mengambil satu gulungan,” ucap salah satu dari mereka.
Gulungan-gulungan kecil beterbangan di udara terlihat seperti bunga-bunga emas yang beterbangan tertiup angin. Peserta pun segera terbang, berlomba-lomba meraih undian, bagai burung yang mengejar cahaya di tengah fajar.
Namun Alana hanya duduk. Diam. Tak bergerak. Tatapannya tenang, seperti air danau yang tak terusik. Para ketua dan bahkan Kaisar Long yang hadir mulai berbisik meremehkan.
“Apakah gadis itu tidak bisa terbang? Atau dia memang bodoh?”
Mereka seolah lupa… lupa bahwa gadis yang duduk anggun itu pernah menggemparkan istana dengan amarah dan kekuatannya.
Lalu, satu gulungan melayang perlahan ke arahnya, seolah dituntun takdir. Dengan gerakan ringan, Alana mengulurkan tangan dan menangkapnya.
“Bahkan dengan duduk santai, aku masih bisa mendapatkan satu,” gumamnya sambil membuka gulungan itu. Angka 31. Alis Alana sedikit terangkat. Aneh… bukankah hanya ada 60 peserta? Harusnya hanya 30 pertandingan saja…
Sementara itu, para peserta kembali ke tempat duduk masing-masing. Salah satu ketua kembali melangkah ke tengah dan berbicara lantang.
“Baiklah, jika semua sudah mendapatkan nomor undian, maka mari kita mulai ujian tahap dua. Tapi sebelumnya… adakah yang mendapatkan nomor 31?”
Seluruh peserta memeriksa gulungan mereka dengan cemas. Namun tidak ada yang mengangkat tangan hingga akhirnya Alana berdiri dan memperlihatkan gulungannya.
“Dia lagi…” bisik beberapa peserta.
“Nomor 31… maksudnya apa, Ketua?” tanya King Yuna, mulai cemas.
Ketua itu mengangguk dan menjelaskan, “Nomor 31 adalah nomor spesial. Peserta yang mendapatkannya akan langsung lolos ke babak final tanpa perlu bertarung di tahap awal.”
Sontak arena mendadak hening. Wajah-wajah para peserta memucat, sebagian melongo tak percaya.
“Betapa beruntungnya dia…”
“Tanpa bertarung… langsung final? Ini mimpi…”
Fu Lin menatap Alana dengan kagum. “Wah, nona… kau sangat beruntung…”
Namun King Yue tertawa kecil. “Bukan Nona Alana yang beruntung… tapi kita semua yang beruntung, karena tidak harus melawan dia.”
Fu Lin hanya bisa mengangguk, dalam hati dia tahu betapa mengerikannya kekuatan Alana. Bahkan iblis pun gentar menghadapi api dalam jiwanya.
Dan kini, panggung telah disiapkan. Para pemain telah mengambil tempat. Ujian kedua akan segera dimulai dan angin perubahan kembali berhembus, membawa harum pertempuran yang baru akan di mulai
Alana tidak memusingkan hasil undian itu. Dalam hati kecilnya, justru ada rasa lega yang menggelitik , karena dengan begitu, dia bisa kembali memejamkan mata dan melanjutkan tidurnya yang sempat terputus.
Biarlah dunia bertarung... sementara aku beristirahat sejenak dari keramaian dunia.
“Baiklah, peserta dengan nomor urut satu, silakan maju ke arena,” seru salah satu ketua ujian dengan suara lantang.
Dua sosok melesat turun dari tribun peserta, anggun seperti burung api dan angin malam yang menyatu dalam tarian. Seorang gadis muda dengan tatapan tajam berdiri berhadapan dengan seorang pemuda yang tampak penuh percaya diri.
Gadis itu adalah perwakilan dari Klan Ling Ling Vei, sementara lawannya berasal dari Sekte Daun Perak.
“Sebaiknya Nona menyerah saja. Kau belum cukup kuat untuk melawanku,” ucap sang pemuda dengan nada meremehkan, suara congkaknya menggema seperti angin malam yang membawa ejekan.
“Cih, jangan banyak omong. Apakah semua laki-laki sepertimu jika ingin bertarung hanya bisa mengandalkan mulut?” balas Ling Vei, dengan nada sinis yang menusuk seperti bilah belati.
Si pemuda berkerut kesal. Ia mengeluarkan pedangnya dari cincin semestanya, lalu melesat menyerang tanpa aba-aba.
“Tutup mulutmu, Nona!”
Namun serangannya mudah dihindari. Gadis itu melompat ringan seperti bayangan yang menari di atas air. Pemuda itu kembali menyerang dari atas—cepat, tapi masih bisa dielakkan dengan gerakan gesit bak angin lembut di musim semi.
“Sial!” umpatnya, merasa diremehkan. Ia kembali maju dengan amarah, tapi kali ini Ling Vei menyerang balik. Serangan cepatnya menghantam perut sang pemuda, membuatnya terpental keras dari arena.
“Pemenangnya adalah Nona Ling Vei,” seru ketua ujian. Sorak sorai menggema, menyambut kemenangan gadis muda itu.
Pertarungan-pertarungan berikutnya berlangsung dengan seru dan mendebarkan. Bagi sebagian besar peserta, ini adalah pertarungan penentu nasib. Namun tidak demikian bagi Alana.
DIa hanya memejamkan matanya, tenang dan damai, seolah tak ada hiruk-pikuk di sekelilingnya.
Hingga giliran King Yuna tiba. Ia berdiri anggun di tengah arena, berhadapan dengan lawan yang tak asing Pangeran Yin Zen, putra keempat dari Kekaisaran Binzo.
“Jadi kau saudara dari gadis sialan itu,” kata Yin Zen dengan suara dingin dan penuh dendam.
“Benar. Aku adalah kakak perempuannya,” jawab King Yuna santai, tanpa ada sedikit pun rasa gentar dalam sorot matanya.
“Kalau begitu, akan kubuat kau merasakan hal yang sama seperti yang telah dilakukan gadis itu pada kami.”
Pangeran Yin Zen menyerang lebih dulu. Serangannya cepat, telak menghantam perut King Yuna, membuatnya terpental ke belakang dan berdarah di hidung.
“Hahaha! Kau tak akan bisa menang dariku!” seru Yin Zen angkuh.
Namun King Yuna hanya tersenyum samar. dia melirik ke arah teman-temannya yang mengangguk penuh keyakinan. Tatapan mereka membakar semangatnya, seperti api yang kembali menyala dari bara yang hampir padam.
Ia mencabut pedangnya. Bilahnya berkilau keperakan, memantulkan cahaya mentari seperti bayangan dewi perang yang turun dari langit. Ia mulai menyerang balik gerakan-gerakannya cepat, penuh presisi, seperti tarian yang mematikan.
Kini keadaan berbalik. Pangeran Yin Zen mulai kewalahan. Beberapa sayatan menghiasi tubuhnya, darah mengalir dari luka-luka tipis yang menandai kehebatan lawannya.
“Sial… kemampuan berpedangnya terlalu hebat,” gumamnya penuh kesal.
“Akan kuakhiri pertarungan ini.”
King Yuna mulai mengalirkan energi Qi ke dalam pedangnya. Cahaya biru kemerahan mulai menyelubungi bilahnya, membentuk aura tajam yang menusuk langit.
Pangeran Yin Zen menyadari bahaya itu. Ia buru-buru menciptakan dinding perlindungan dari energi Qi miliknya.
“Serangan lemahmu tak akan menembus pertahananku,” katanya percaya diri
Tapi King Yuna sudah terlalu muak. dia melesat secepat cahaya, lalu melepaskan serangan penuh tenaga. Dentuman keras terdengar. Pangeran Yin Zen terpental hebat, menghantam tembok arena hingga retak. DIa jatuh, tak sadarkan diri.
Kaisar Long yang menyaksikan putranya dikalahkan dengan mudah oleh seorang perempuan hanya bisa menahan amarah yang membuncah di dadanya.
“Pemenangnya adalah Nona Yuna dari Klan King,” seru ketua ujian.
Tepuk tangan pun bergemuruh, menggema ke seluruh penjuru arena. Tiga saudara seperguruan King Yuna juga berhasil menang dan masuk ke babak final.
Ketua keempat tampak bahagia meski para muridnya belum tentu menjadi juara, tetapi dengan masuk ke final, mereka sudah dianggap lulus dari ujian tahap kedua.
“Baiklah, pertandingan terakhir hari ini akan segera dimulai. Nomor urut tiga puluh, Nona Fu Lin dari Klan Fu, akan berhadapan dengan Pangeran Li Ming dari Kekaisaran Binzo.”
“Jeje, kalahkan dia untukku,” ucap Alana pelan namun penuh keyakinan.
Fu Lin tersenyum, lalu menjawab, “Tentu, Nona. Lihat saja… aku akan mengalahkannya dalam waktu singkat.”
Ia turun ke arena dengan langkah ringan namun anggun, berhadapan dengan Li Ming yang memandangnya dengan senyum menjijikkan.
“Nona, lebih baik kau menyerah dan menikah denganku. Aku tak tega jika harus melukai kulit mulusmu,” ucap Li Ming penuh hinaan.
Namun Fu Lin hanya diam. DIa bahkan tak sudi menatap pria itu. Tatapannya justru tertuju pada Alana, lalu tersenyum tenang.
“Berani sekali kau mengabaikanku!”
Li Ming melesat menyerang, namun serangannya seperti ilusi di mata Fu Lin. Semua gerakannya terlalu mudah ditebak.
“Apakah hanya segini kemampuan seorang pangeran?” ujar Fu Lin dingin, mencoba memancing amarahnya.
“Jaga mulutmu!” teriak Li Ming, lalu mempercepat pola serangannya. Namun Fu Lin tetap tenang, menari di antara serangan-serangan seperti daun yang menolak jatuh.
Dan akhirnya, dia bosan.
Dengan satu gerakan cepat, fu lin mempercepat serangan dan melepaskan pukulan telak ke dada Li Ming. Sang pangeran terpental keras, darah menyembur dari mulutnya.
“Nona Fu Lin memang sangat kuat.”
“Sudah sewajarnya. Dia berasal dari Klan nomor satu.”
Sementara itu, Kaisar Long yang melihat kedua putranya kalah oleh perempuan merasa dipermalukan. Wajahnya gelap dan penuh murka. Ia segera pergi meninggalkan arena untuk menjenguk mereka.
“Pemenangnya adalah Nona Fu Lin!” seruan itu disambut gemuruh tepuk tangan dan sorak kagum dari seluruh penonton.
“Wah, Nona Lin memang hebat,” ucap King Xian.
“Jeje Lin memang luar biasa,” sahut Alana sambil mengacungkan jempol. Mereka pun tertawa bersama, membiarkan kehangatan persahabatan menyelimuti mereka di tengah arena yang dipenuhi bayang-bayang kompetisi.
“Baiklah, ujian tahap kedua kami cukupkan sampai di sini. Selamat bagi kalian yang berhasil melaju ke babak final,” ucap sang pemandu dengan suara lantang, menggema di seluruh penjuru arena. “Besok, pertandingan akan jauh lebih berat. Bersiaplah, karena tantangan yang akan kalian hadapi tak hanya menguji kekuatan, tapi juga hati dan keberanian.”
Ucapan itu disambut dengan sorak sorai dan beberapa desahan lega. Para peserta pun mulai meninggalkan arena satu per satu. Langkah-langkah mereka menyisakan jejak kelelahan dan harapan. Cahaya senja menyapu langit, mewarnai langit kekaisaran dengan semburat jingga yang hangat, seolah ikut merestui langkah para pejuang muda yang kini kembali ke penginapan mereka masing-masing.
Alana dan saudara nya pun tak ingin berlama-lama. Mereka memilih kembali lebih awal agar dapat beristirahat dengan tenang. Langkah mereka ringan, namun dalam diam ada percik antisipasi akan hari esok. Mereka berjalan beriringan di bawah bayang-bayang pepohonan, ditemani desir angin yang lembut membelai wajah
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments