Fajar kini merekah perlahan, menggantikan kelam malam yang perlahan sirna. Sinar mentari mulai menyapu cakrawala, membasuh bumi dengan kehangatan lembutnya. Namun, ketenangan pagi itu ternoda oleh amarah yang membuncah di dalam aula besar klan.
"Apa?! Putriku terluka karena si sampah itu?!"
Raungan murka ketua kedua menggema, menyelimuti ruangan dengan aura pembunuh yang begitu pekat hingga membuat para pengawal di sekelilingnya menunduk ketakutan. Ia baru saja kembali ke klan, namun kabar buruk menyambutnya dengan pedang kemarahan yang menyayat batinnya. Putrinya, yang ia banggakan, kini terbaring lemah di ruang kesehatan dengan luka yang cukup parah.
"Kita harus memberi pelajaran pada anak itu, Paman! Dia juga berani melukai anakku!"
Ketua ketiga, keponakan ketua kedua, ikut meluapkan emosinya. Sejak lama, mereka membenci Alana. Bahkan ketika gadis itu masih kecil, mereka selalu menghasut anak-anak mereka untuk membencinya juga. Kebencian yang telah lama tertanam kini menemukan jalannya untuk mekar dalam balas dendam.
"Tenanglah, keponakanku. Kita akan membalasnya, tapi bukan sekarang. Dua bulan lagi, pemimpin klan akan mengadakan pertemuan besar. Aku sudah punya rencana sempurna untuk menghancurkan si sampah itu!"
Senyum ketua kedua menegang, menyiratkan niat jahat yang membara di balik matanya yang tajam. Apa yang mereka rencanakan? Akankah Alana mampu menghindari jebakan mereka dan membalikkan keadaan?
---
Di tempat lain, Alana perlahan membuka matanya. Kepalanya terasa berat, pikirannya masih samar. Cahaya matahari yang masuk melalui celah jendela menyambutnya dengan kelembutan yang hampir asing.
"Huh... apa-apaan dengan dua bunga itu?" gumamnya sambil memijat pelipisnya.
Namun, sesuatu terasa berbeda. Ada perubahan aneh yang mengalir dalam tubuhnya. Seperti ada kekuatan baru yang terbangun dari tidur panjangnya. Dengan segera, dia mengambil posisi meditasi, memejamkan matanya untuk melihat ke dalam dirinya.
Dan di sanalah dia melihatnya.
Akar spiritualnya kini bersinar dengan dua elemen yang saling bertolak belakang api yang menyala-nyala dengan liar dan es yang dingin serta tajam. Mata Alana membulat, hatinya bergetar.
"Sepertinya ini akibat dari aku menyerap energi dari mawar api dan es..." bisiknya, lalu bibirnya melengkung dalam senyum penuh kemenangan. "Tapi ini bukan kutukan. Ini berkah. Dengan kekuatan ini, aku akan mewujudkan tujuan terbesarku! Aku akan menjadi lebih kuat dan membuktikan bahwa Raja Zeus tidak salah memilihku."
Dengan semangat baru yang membara, Alana membuka matanya, bangkit dari tempat tidur, dan segera menuju kamar mandi. Ia ingin menyegarkan tubuhnya, menghapus sisa keringat yang melekat setelah pertempuran sebelumnya.
---
Saat Alana keluar dari kamarnya, aroma harum masakan memenuhi udara. Di meja makan, pelayannya yang setia, Bibi Ming, tengah menata sarapan dengan telaten.
"Selamat pagi, Nona. Apakah Nona ingin sarapan sekarang?" tanya Bibi Ming sambil membungkuk hormat.
Alana mengangguk, lalu duduk di kursinya. "Di mana Ayah? Kenapa dia tidak sarapan bersamaku?"
"Tuan sedang keluar sebentar. Ada urusan penting yang harus beliau selesaikan," jawab Bibi Ming.
Alana mengangguk-angguk, lalu mulai menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Pipinya yang penuh dengan makanan tampak menggemaskan, membuat Bibi Ming tersenyum gemas.
"Baiklah, Nona. Saya permisi ke belakang. Jika Nona membutuhkan sesuatu, panggil saja saya."
"Tunggu, Bibi!" Alana tiba-tiba menghentikan langkah Bibi Ming. "Apakah di sekitar klan ini ada tempat yang sangat berbahaya?"
Bibi Ming terdiam sesaat, terkejut dengan pertanyaan yang tidak terduga. "Sejauh yang saya tahu, ada sebuah hutan yang sangat ditakuti, bahkan oleh pemimpin klan. Hutan itu berada di selatan Klan Ming, berbatasan dengan Desa Kembang Wangi dan Desa Daun Perak. Konon, siapa pun yang berani masuk ke dalamnya, tidak akan bisa keluar lagi."
Bulu kuduk Bibi Ming meremang hanya dengan membicarakannya. Namun, bukannya takut, mata Alana justru berbinar dengan ketertarikan.
"Apa nama tempat itu, Bibi?" tanyanya penuh minat.
"Orang-orang menyebutnya Puncak Bulan. Nama yang indah, tetapi menyimpan ketakutan yang mengerikan..." jawab Bibi Ming dengan suara bergetar. "Saya harap Nona tidak berniat pergi ke sana. Tempat itu terlalu berbahaya."
Alana tersenyum tipis, mencoba menenangkan pelayannya. "Baiklah, baiklah..."
Namun, di dalam hatinya, ia sudah memiliki rencana sendiri.
---
Tak lama setelah itu, King Kenzo ayah Alana tiba di ruang makan, wajahnya yang lelah seketika berubah cerah ketika melihat putrinya.
"Selamat pagi, putri ayah," sapanya hangat sambil menduduki kursi di sebelah Alana.
"Ayah sudah kembali? Urusan ayah sudah selesai?" tanya Alana.
"Masih ada satu hal lagi yang harus ayah selesaikan. Tapi karena ayah rindu putri ayah yang cantik ini, ayah memutuskan untuk pulang dulu sebentar," balas King Kenzo dengan senyum menggoda.
"Ayah..." Alana mengembungkan pipinya, membuat sang ayah tertawa kecil.
Namun, senyuman King Kenzo perlahan memudar. "Putriku, dua bulan lagi pemimpin klan akan mengadakan pertemuan besar. Semua anggota klan dari dunia bawah akan berkumpul di sini. Tapi... sepertinya ayah tidak bisa menghadirinya. Ayah harus menjalankan misi lain."
Nada suaranya menyiratkan kesedihan. Sejak kepergian istri tercintanya, ia merasa tak mampu memberi cukup perhatian pada Alana.
"Tidak apa-apa, Ayah," jawab Alana lembut. "Ayah harus menjaga diri baik-baik saat menjalankan misi. Jangan khawatir, aku akan mewakili ayah dalam pertemuan klan nanti."
King Kenzo menatap putrinya dengan bangga sekaligus perasaan bersalah. "Maafkan ayah, putriku. Sejak ibumu pergi, ayah tak bisa selalu ada untukmu."
Alana tersenyum, lalu memeluk ayahnya erat. "Sudahlah, Ayah. Lagi pula, di sini ada Bibi Ming yang selalu merawatku dengan baik."
King Kenzo membelai rambut putrinya dengan penuh kasih. Namun, kejutan lain datang dari Alana.
"Ayah, aku akan melakukan pelatihan tertutup selama dua bulan penuh."
Mata King Kenzo membulat. Putrinya? Melakukan pelatihan tertutup? Ini pertama kalinya ia mendengar hal seperti itu dari Alana.
Perubahan ini... begitu cepat dan mencengangkan.
"Baiklah, putriku. Berlatihlah dengan keras. Ayah akan selalu mendukungmu, apapun hasilnya nanti," ucap King Kenzo dengan senyum penuh kebanggaan. Ia memilih untuk tidak bertanya lebih dalam, takut akan mempengaruhi semangat putrinya.
"Terima kasih, Ayah." Alana membalas dengan senyum lembut, sebelum berbalik dan pergi ke kamarnya.
Di dalam kamar, ia mulai mengumpulkan barang-barang yang akan dibawa. Puncak Bulan telah lama menjadi tempat yang ingin dikunjunginya, dan kini saatnya ia berangkat.
Namun sebelum pergi, ia mengangkat kedua tangannya, lalu hawa dingin dan panas mulai menyatu dalam genggamannya. Sebuah lingkaran cahaya terbentuk, perlahan membesar hingga menutupi seluruh area paviliun ayahnya.
"Dengan begini, tak akan ada kecoak yang bisa masuk ke sini," gumamnya puas. Ia tahu King Yuna dan King Sin kemungkinan besar akan kembali mengusiknya.
Setelah memastikan semuanya siap, Alana melesat dengan kecepatan luar biasa menggunakan teknik peringan tubuhnya. Langkahnya ringan bak angin, membawa tubuhnya melayang melewati batas klan.
Saat hampir mencapai gerbang, matanya menangkap dua sosok familiar—murid yang pernah ia pukul di depan perpustakaan klan. Kedua pemuda itu langsung menunduk dalam ketakutan.
Alana melangkah mendekat, membuat mereka menelan ludah dengan gugup. Wajah mereka pucat, seperti baru saja bertemu dengan iblis.
"Kenapa kalian ketakutan?" tanyanya, nada suaranya lembut namun penuh wibawa.
"T-tidak... tidak apa-apa, Nona," ucap salah satu dari mereka dengan suara gemetar.
Alana menatap mereka sejenak, lalu tersenyum tipis. "Sudahlah, aku sudah memaafkan kalian. Tapi berjanjilah, jangan pernah merendahkan orang lain, siapapun itu."
Mereka menatapnya dengan terkejut sebelum akhirnya mengangguk cepat. "Terima kasih, Nona! Kami tidak akan mengulanginya lagi."
"Bagus. Ngomong-ngomong, siapa nama kalian?"
"Ah, maaf, Nona! Nama saya Aron, dan ini teman saya, Azka."
Alana mengangguk. Ia bisa merasakan energi mereka cukup kuat. Sebagai petarung junior tingkat tiga, mereka memiliki potensi besar.
"Baiklah, Aron-gege dan Azka-gege. Aku memiliki sebuah tugas untuk kalian. Aku harus pergi selama dua bulan ke depan. Bisakah kalian menjaga paviliun ayahku dan melindungi Bibi Ming saat aku tidak ada?"
Aron dan Azka membelalakkan mata mereka. Mereka tidak percaya bahwa Alana memanggil mereka 'gege', sebutan hormat untuk kakak laki-laki.
"Saya siap, Nona!" jawab Azka penuh semangat.
"Kami bersumpah untuk melindungi paviliun dan setia kepada Nona!" Aron menambahkan dengan keyakinan.
Alana tersenyum puas. "Baiklah, Gege. Aku pamit dulu. Tapi jangan beri tahu siapapun tentang kepergianku."
"Baik, Nona!" jawab mereka serempak.
Saat Alana melesat menuju arah selatan, Azka menatap Aron dengan cemas. "Hey, Aron... ke mana sebenarnya Nona Alana pergi? Kenapa arahnya menuju selatan?"
Aron mengernyit. "Aku juga tidak tahu. Setahuku, di sana hanya ada... hutan Puncak Bulan."
Mereka saling bertatapan, wajah mereka tegang. "Jangan-jangan..."
Azka menelan ludah. "Semoga saja Nona baik-baik saja..."
Sementara itu, di tempat lain, suasana mencekam menyelimuti sebuah ruangan gelap. Seorang pria bertubuh besar duduk di singgasananya, sorot matanya penuh ancaman.
"Brian, apakah kau sudah menemukan siapa yang membunuh kelima anggota kita?" tanyanya dengan suara dingin, seperti pisau yang menusuk tulang.
Seorang pria berambut pendek menelan ludah sebelum menjawab, "Maaf, Ketua. Saya sudah menyelidiki dan menyamar, tapi tidak ada yang mau berbicara. Mereka seolah-olah takut menyebutkan siapa pelakunya."
Mata sang ketua menyipit. "Cari tahu siapa dia! Aku akan menunjukkan akibatnya bagi siapapun yang berani menyinggung Kalajengking Hitam."
Aura membunuh menyebar dari tubuhnya, membuat napas Brian menjadi berat. Keringat dingin membasahi pelipisnya.
"B-baik, Ketua. Saya akan segera menyelidikinya!" buru-buru Brian berkata sebelum berbalik dan pergi, tidak ingin menjadi sasaran amarah pimpinannya.
Setelah Brian pergi, sang ketua tersenyum dingin. "Siapapun kau... jika berani melawan Kalajengking Hitam, maka kematian lah balasanmu."
Bayangannya menghilang dalam kegelapan.
Di saat yang sama, Alana terus melaju menuju Puncak Bulan, tanpa menyadari bahaya yang semakin mendekatinya. Langkahnya ringan bak angin, namun badai mengintai di ujung perjalanan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments