Setelah perjalanan yang cukup panjang, akhirnya Alana dan rombongan sampai di depan gerbang utama Akademi Binzo. Mata mereka terbelalak takjub melihat bangunan-bangunan megah menjulang tinggi bagaikan istana dari negeri langit. Pilar-pilar besar berukir, atap-atap melengkung dengan ukiran naga suci, dan taman-taman dengan bunga yang bermekaran bagai pelangi yang ditanam di bumi semua menyambut mereka dengan keanggunan yang tak biasa.
Namun, kekaguman itu tak menggoyahkan hati Alana. Baginya, ini hanyalah pemandangan biasa. Di kehidupan lamanya, dia telah melihat bangunan yang jauh lebih megah, lebih tinggi, dan lebih mencengangkan. dia telah hidup di antara keagungan dan kehancuran, antara surga yang indah dan medan perang yang kejam.
“Lihatlah betapa indahnya tempat ini! Aku jadi tak sabar ingin segera belajar di akademi ini,” seru King Feng dengan penuh semangat, suaranya seceria anak kecil yang melihat dunia baru.
Yang lain hanya tersenyum dan menggeleng, tidak seantusias dirinya.
Mereka mulai melangkah mendekati gerbang masuk, namun langkah mereka terhenti saat beberapa murid penjaga menghadang. Para penjaga itu mengenakan jubah akademi berwarna biru tua dengan lambang naga putih di dada mereka lambang kedisiplinan dan kehormatan.
“Maaf, bolehkah kalian menunjukkan kartu identitas?” tanya salah satu dari mereka dengan sopan.
Ketua keempat segera mengeluarkan kartu identitas milik mereka satu per satu. Kartu itu berkilau keemasan, menandakan bahwa mereka adalah anggota dari Klan King klasifikasi tinggi dalam struktur masyarakat kekaisaran.
Setelah memeriksa dan mengangguk puas, penjaga itu tersenyum ramah.
“Ternyata kalian dari Klan King. Baiklah, selamat datang dan semoga kalian diterima di akademi ini.”
“Terima kasih,” ucap ketua keempat sopan. Mereka pun melangkah masuk ke dalam halaman akademi, tapi langkah mereka kembali tertahan oleh suara teriakan keras dari arah belakang.
“Minggir! Pangeran Hong Li dan saudara-saudaranya ingin masuk!”
Suara itu datang dari seorang pelayan istana yang menunggang kuda dan memandu kereta kuda mewah berlapis emas. Kereta itu membawa putra-putra kaisar Long yang juga hendak mendaftar ke Akademi Binzo. Cahaya matahari memantul di permukaan kereta, membuatnya berkilau seperti kendaraan para dewa dari langit ketujuh.
Rombongan Alana segera menepi, memberi jalan tanpa banyak bicara. Mereka tahu, mencari masalah dengan anggota keluarga kekaisaran adalah tindakan bodoh. Dalam dunia ini, kebenaran bisa dibungkam oleh kekuasaan, dan keadilan sering kali bersujud pada takhta.
Salah satu dari pangeran itu berwajah tampan namun dingin dan angkuh menoleh sambil tersenyum remeh ke arah mereka. Senyum yang mengandung ribuan makna ejekan, cukup untuk membakar kesabaran Alana.
Tatapan gadis itu menajam. Amarah menyala dalam matanya seperti api yang siap melalap hutan kering.
“Jeje, kenapa menahan saya? Saya muak melihat wajahnya!” geram Alana, suaranya bergetar menahan emosi.
King Yuna segera menarik tangan adiknya, menenangkan dengan lembut.
“Sudahlah, Adik. Mereka belum mengganggu kita. Tak perlu cari masalah dengan darah istana,” bisiknya. Ia tahu benar, jika tak ditahan, maka tiga pangeran itu akan berakhir babak belur dalam waktu yang memalukan.
Alana mendengus, lalu melipat tangannya. “Baiklah… Jeje benar. Tapi lihatlah, antrean sudah begitu panjang.” Ia menunjuk ke arah barisan orang-orang yang tengah menunggu giliran mendaftar.
Mereka pun bergabung di bagian belakang barisan, menunggu dengan sabar. Sambil menunggu, Alana memperhatikan sekeliling. Bangunan akademi ini begitu detail, dengan sentuhan artistik dan spiritual yang kuat. Hawa energi spiritual bahkan terasa mengalir lembut di udara, seperti angin yang menyapu dedaunan kering di awal musim gugur.
“Cukup bagus… Sepertinya aku akan betah di tempat ini,” gumamnya pelan.
Namun matanya kembali memanas saat melihat pangeran-pangeran sombong itu berjalan langsung ke barisan paling depan tanpa niat mengantri.
Seperti diduga, orang-orang yang tadinya berdiri di depan segera mundur. Mereka tahu, jika menentang anak-anak kaisar, maka nyawa, keluarga, bahkan sekte mereka bisa terhapus dari peta kekaisaran. Diam lebih aman daripada keadilan yang tak punya pelindung.
“Dunia ini… bahkan antrian pun tunduk pada darah biru,” batin Alana getir, namun dia tetap menahan diri. Belum waktunya mengguncang langit, belum saatnya menghancurkan takhta dengan tangan sendiri. Tapi dalam hatinya, janji telah terpatri: kebusukan yang bersembunyi di balik mahkota akan ia bongkar, satu per satu.
Petugas registrasi itu mengerutkan dahi, alisnya terangkat saat melihat tiga pemuda berpakaian mewah menyelonong masuk ke barisan terdepan tanpa rasa bersalah sedikit pun. Aroma kesombongan menyertai langkah mereka, seolah dunia dan segala isinya hanya tanah pijakan untuk keangkuhan mereka.
“Hei, apakah kalian tidak tahu cara mengantre?” tegur petugas itu, nadanya dingin namun penuh wibawa. Ia tahu betul siapa mereka Pangeran Hong Li, Pangeran Fu Lin, dan Pangeran Yin Zen, anak-anak dari Kaisar Long. Namun, di tanah akademi ini, darah bangsawan bukanlah tiket untuk menginjak harga diri orang lain.
“Kau... rakyat rendahan, berani-beraninya menegur kami? Ayah kami adalah kaisar negeri ini!” sahut Pangeran Hong Li dengan nada congkak, suara lantangnya menggema seperti petir di langit cerah.
Petugas itu menatap tajam, keberanian terpahat di sorot matanya. “Walau ayahmu kaisar, jika ingin mendaftar di akademi ini, kau harus tunduk pada peraturan. Ini bukan istana kekaisaran, ini tanah para pembelajar.”
Kalimat itu menyulut amarah. Aura membunuh ketiganya meledak serentak, menyesakkan udara dan membuat beberapa orang menggigil ngeri. Tingkat kultivasi mereka, yang sudah mencapai Petarung Senior Tingkat Empat, begitu kuat hingga membuat tanah di sekitarnya terasa bergetar.
Para calon murid yang semula mengantre kini bersyukur telah memberi jalan lebih awal. Dalam hati mereka membatin, "Untung aku tidak menantang para pangeran itu... bisa-bisa kultivasiku direnggut, atau lebih buruk, aku lenyap tanpa jejak."
“Mana nyalimu tadi, hah? Sekarang kau gemetar seperti tikus kecil,” cibir Pangeran Hong Li sambil menatap petugas itu dengan tatapan merendahkan.
Meski lututnya gemetar dan napasnya tercekat oleh tekanan aura, petugas bernama Zhou Fu itu tetap berdiri. “Peraturan tetaplah peraturan. Semua harus mengantri.”
“Banyak omong! Kalau kau tak mau menulis nama kami, biar kami yang lakukan sendiri!” bentak Pangeran Hong Li. Ia mengayunkan tangannya dan serangan qi menghantam Zhou Fu hingga tubuhnya terpental. Darah menetes dari hidungnya, membasahi lantai batu yang dingin. Di sekelilingnya, para penjaga dan murid hanya membisu, ketakutan. Tak seorang pun berani menolong.
Namun sebelum Pangeran Hong Li sempat menyentuhkan tangannya ke buku registrasi, tiba-tiba sebuah kekuatan tak kasat mata mendorong tubuhnya keras hingga ia terlempar sejauh sepuluh langkah. Debu beterbangan, membentuk pusaran samar.
“Keparat! Siapa yang berani menyerangku?!” teriak Hong Li, wajahnya memerah oleh amarah dan rasa malu. Semua mata mencari pelaku, dan pandangan mereka akhirnya tertuju pada seorang gadis.
Dia berdiri di sana tenang, tegas, dan tak tergores sedikit pun oleh rasa takut. Mata itu memancarkan bara api yang siap membakar kesombongan siapa pun yang menginjak-injak keadilan.
“Apakah kalian tak memiliki otak hingga bertindak semena-mena di tempat yang bukan milik kalian?” suara Alana menggema, tajam seperti pedang yang baru ditempa dari api langit.
“Bukankah itu... Nona Alana?!” seru King Xian terkejut. “Sejak kapan dia di depan?”
Baru saja dia yakin gadis itu masih berdiri di belakangnya, namun entah bagaimana, dalam sekejap mata, Alana sudah berada di barisan terdepan. Sebuah kecepatan yang hanya dimiliki mereka yang berada di atas jalur kultivasi biasa.
King Yuna panik, hatinya berdesir cemas. “Apa yang akan terjadi kalau Pangeran itu mengadu pada Kaisar Long? Bagaimana jika adik Alana ditangkap dan dipenjara?”
“Tenang,” King Feng mencoba menenangkan. “Nona Alana tahu apa yang dia lakukan.”
Zhou Fu, yang masih berlutut menahan sakit, menatap Alana lekat-lekat. "Bukankah itu gadis dari restoran waktu itu? Apa dia… sekuat ini?"
“Kau siapa, berani menyakiti kakak pertama kami?!” bentak Pangeran Fu Lin.
“Manusia lemah yang hanya bisa bersembunyi di balik kekuasaan ayahnya tak pantas tahu siapa aku,” jawab Alana, suaranya sehalus embun namun menusuk seperti duri mawar berdarah.
Tanpa aba-aba, Fu Lin dan Yin Zen melompat, menyerang Alana dengan kekuatan penuh. Namun bagai angin yang tak bisa disentuh, Alana menghindar dengan gerakan yang anggun dan mematikan. Tangannya mengepal, energi qi mengalir seperti badai yang ditahan terlalu lama.
“Kalian membuatku muak.”
Satu pukulan telak melesat.
BOOOOOMMMMM!
Ledakan qi terdengar nyaring, membelah udara. Kedua pangeran terpental keras, tubuh mereka menghantam tanah dengan keras, membuat debu mengepul dan batu berjatuhan dari bangunan sekitar. Darah segar menetes dari hidung mereka.
Dari dalam ruangan, Kepala Akademi yang sedang memeriksa berkas murid baru menoleh geram. “Apa lagi sekarang?” gumamnya sebelum beranjak keluar. Namun langkahnya terhenti saat melihat tiga pangeran kekaisaran... berlutut dengan wajah penuh darah.
Dia menelan ludah. “Siapa… orang gila yang berani menghajar anak kaisar?!”
“Salam hormat, Kepala Akademi!” seru murid-murid serentak sambil membungkuk.
“Apa yang terjadi?! Siapa yang melakukan ini?!”
Sebelum siapa pun sempat menjawab, Alana sudah angkat bicara dengan santai seolah baru saja menyingkirkan sekelompok lalat pengganggu.
“Mereka menyerobot antrian dan memukul petugas registrasi. Jadi... aku hanya memberikan sedikit pelajaran pada pria-pria manja itu. apakah aku salah ?”
Kepala Akademi menoleh ke arah sumber keributan. Pandangannya tertuju pada seorang gadis muda yang berdiri tegak, tak gentar meski tiga pangeran kekaisaran baru saja terhempas oleh kekuatan tak kasat mata. Tatapannya menyusuri Alana dari ujung kaki hingga ujung rambut, mencoba menakar kekuatan spiritual di balik sikap tenang itu. Namun, alih-alih menemukan riak energi, ia justru merasakan kehampaan mutlak sebuah kekosongan yang hanya berarti dua hal: entah gadis itu sama sekali tak memiliki kultivasi... atau kekuatannya berada jauh di atas dirinya.
Kemungkinan kedua membuat tengkuknya dingin.
“Apakah benar seperti yang dikatakan, Nona?” tanyanya akhirnya, suaranya tenang namun ada nada hati-hati di dalamnya.
Alana hanya mengangguk pelan, laksana angin musim gugur yang tak banyak bicara namun membawa perubahan besar. Tatkala Kepala Akademi melirik pada para murid di sekitar, mereka pun ikut mengangguk, membenarkan cerita yang ia dengar.
DIa menghela napas panjang, napas seorang lelaki tua yang mengerti bahwa dunia tak sesederhana hitam dan putih. Ia tahu benar bahwa anak-anak kaisar memang memiliki kedudukan tinggi, namun itu bukan alasan untuk semena-mena di tempat ini. Dan ia bersyukur, nalurinya memintanya untuk bersikap bijak. Sebab jika tidak, mungkin dirinya sendiri yang akan menjadi korban kemurkaan gadis misterius itu.
“Maafkan aku, Pangeran,” ujarnya kepada Hong Li dan kedua adiknya. “Namun jika benar seperti itu, maka kalianlah yang telah melanggar aturan. Akademi ini bukan istana kekaisaran. Di sini, semua berdiri di atas aturan yang sama.”
Namun, ketiga pangeran itu menolak mendengarkan. Pangeran Hong Li berdiri, lalu membantu kedua saudaranya bangkit dari tanah. Darah di sudut bibir dan jubah mereka menjadi saksi bisu dari rasa malu yang mereka telan bersama angin siang.
“Waspadalah, gadis sialan!” geram Hong Li, matanya membara oleh dendam. “Aku akan pastikan klanmu hancur hingga tak bersisa!”
DIa yakin gadis itu akan gemetar, bersujud memohon ampun di hadapannya. Namun Alana hanya tersenyum tipis, senyum yang dingin dan mencemooh, seperti musim dingin yang menertawakan dedaunan yang luruh.
“Apakah kalian ingin memulai perang... dengan Klan King?” ucap Alana, suaranya tenang namun menggema bagai guruh yang turun dari langit malam.
Seketika, keheningan menggantung di udara. Semua yang hadir memandang Alana dengan mata terbelalak, seolah mereka baru menyadari bahwa gadis itu bukanlah sosok biasa. Siapa dia sebenarnya, hingga bisa mengucapkan ancaman sebesar itu dengan keyakinan tanpa ragu?
Klan King memang berada di urutan kedua klan terkuat di kekaisaran, namun semua tahu mereka tak memiliki pasukan sebesar keluarga kekaisaran. Mereka adalah klan terpandang, bukan bala tentara. Terlebih, King Yuna dan saudara-saudaranya masih muda, dan kekuatan mereka belum setara dengan para jenderal kerajaan.
Namun Alana... tampaknya bukan hanya sekadar bagian dari klan itu. Dia adalah badai yang tersembunyi dalam ketenangan, petir yang menanti dalam langit yang biru.
“Cukup... tunggu saja, gadis sialan!” geram Hong Li, sebelum akhirnya menarik kedua adiknya untuk pergi. Mereka menaiki kereta kuda kerajaan dan memilih untuk mendaftar paling akhir, menahan luka di tubuh dan ego yang lebih parah lagi.
Setelah kepergian mereka, suasana kembali tenang meski hawa tegang masih menggantung di udara. Alana kembali melangkah santai ke barisan paling belakang. Empat pasang mata menyambutnya dengan cemas King Yuna, King Feng, King Xian, dan King Yue menatapnya penuh tanya.
“Adik Alana, apakah kau benar-benar yakin dengan apa yang kau katakan tadi?” tanya King Yuna, suaranya penuh kekhawatiran yang tak dapat disembunyikan.
“Jika mereka berani menyentuh kita, maka tak ada pilihan lain selain melawan,” jawab Alana tenang, namun nada suaranya penuh keyakinan. “Tapi tenang saja. Aku sudah menyiapkan rencana.”
Keempat saudaranya saling bertukar pandang, sebelum akhirnya mengangguk. Meski mereka tak tahu apa yang sedang direncanakan Alana, namun keyakinan gadis itu seperti api yang menyalakan keberanian dalam diri mereka.
“Apapun yang terjadi, kami akan selalu mendukungmu, Nona,” ucap King Yue lirih namun pasti.
Pendaftaran pun kembali dilanjutkan. Meski langkah-langkah kembali berjalan, namun suasana telah berubah. Aura tempat itu menjadi lebih berat, lebih penuh tekanan. Semua yang hadir kini tahu bahwa Akademi Binzo bukan sekadar tempat untuk belajar ini adalah medan uji, tempat di mana kekuatan, prinsip, dan harga diri diuji sekaligus.
Dan di tengah kerumunan itu, seorang gadis dengan rambut sehitam malam berdiri tenang, membawa badai dalam diam dan petaka bagi mereka yang berani menyulutnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Chauli Maulidiah
bagoooosss.. sat. set...
2025-04-13
1