kematian ketua sin kalajengking hitam

Saat ini, Alana berada di perbatasan sebuah desa yang belum pernah dia lewati sebelumnya. gadis itu sengaja memilih jalur berbeda dari ketika pertama kali menuju Puncak Bulan, demi mengecap sedikit rasa petualangan dalam perjalanan pulangnya ke klan.

Angin sore berhembus pelan, menyapu ujung jubahnya yang berwarna hitam kelam. Cahaya matahari yang mulai redup jatuh lembut di wajahnya, menambah kesan tenang sekaligus misterius. Matanya yang tajam menatap lurus ke arah desa itu desa asing yang menyimpan aroma samar dari aura jahat yang tertanam di dalamnya.

Namun Alana tak terlalu mengindahkan rasa was-was itu, selama tidak ada yang mencoba mengganggunya atau menyakiti warga yang tak bersalah, dia tak berniat mencampuri urusan orang lain.

Dengan langkah ringan namun penuh kewaspadaan, Alana melewati gerbang desa. Baru beberapa langkah, dua pria bersenjata menghentikan langkahnya. DIa menatap keduanya dari ujung kaki hingga kepala, mengangkat sebelah alis saat mengenali simbol kalajengking hitam pada pakaian mereka.

Senyum tipis terbit di bibirnya, senyum yang lebih menyerupai ejekan ketimbang keramahan.

"Pergilah dari sini. Desa ini tak menerima tamu," ucap salah satu dari mereka, nadanya tinggi dan penuh ketidaksopanan.

Alana mendongak, menatap langsung ke arah pria itu. "Wah... bukankah kalian anggota Kalajengking Hitam? Lalu kenapa kalian menjadi penjaga gerbang? Atau jangan-jangan, organisasi kalian sudah sebegitu miskinnya hingga menyuruh anggotanya jadi penjaga pintu?"

Nada bicara Alana setajam belati, menancap dalam ke harga diri mereka. Namun jauh di lubuk hatinya, ia justru heran apa yang sebenarnya dilakukan kekaisaran selama ini? Mengapa organisasi hitam seberani ini memeras rakyat tanpa satu pun tindakan tegas?

Mungkin setelah urusan di klan selesai, aku akan menyampaikan hal ini pada kekaisaran yang selama ini hanya tahu duduk di atas singgasana... tanpa melihat luka rakyatnya, gumam Alana dalam hati, getir.

"Jaga ucapanmu, bocah! Kami masih bersikap baik, tapi kau malah menghina kami!" teriak salah satu penjaga, menodongkan pedangnya ke arah Alana.

Namun, yang dibalas Alana bukan rasa takut, melainkan kemarahan yang membara. "Dan kenapa jika aku menghina sampah seperti kalian, yang hanya berani pada mereka yang lemah?" ucapnya, suaranya meledak-ledak, seperti petir di langit musim panas.

Dalam sekejap, Alana menghunus pedang hitamnya. Cahaya senja memantul pada bilah tajamnya, menari seolah menyambut darah yang akan mengalir. Satu tebasan cepat, dan kepala salah satu penjaga terlepas dari tubuhnya. Darah menyembur, membasahi tanah desa yang telah lama kering dari keadilan.

Penjaga satunya tersentak. Tangan gemetar, keringat dingin membasahi pelipisnya. "Ja-jangan bunuh aku! Aku murid dari ketua keempat! Kau akan menyesal jika me—"

Belum sempat kalimatnya selesai, pedang Alana sudah menebas lehernya. Kepalanya jatuh ke tanah, dengan mata terbuka lebar seolah tak percaya dirinya mati di tangan seorang gadis.

Langkah Alana memasuki desa begitu tenang, seolah kematian yang baru saja dia tinggalkan hanyalah angin lalu. DIa memperhatikan orang-orang yang berjalan dengan kepala tertunduk, wajah-wajah penuh ketakutan dan keputusasaan, seperti bunga yang layu sebelum sempat mekar.

Namun langkahnya terhenti saat sesuatu menabrak kakinya. Ia menoleh, dan mendapati seorang anak perempuan berusia sekitar lima tahun memandangnya dengan mata polos nan jernih. Senyum kecil terbit di wajah Alana senyum yang berbeda dari sebelumnya. Ada kelembutan dalam tatapannya.

"Jadi, adik kecil, apa yang membuatmu menabrakku?" tanya Alana lembut, seakan suaranya berubah menjadi semilir angin pagi.

"Kakak... ada olang jahat," jawab si kecil dengan wajah polos.

Tak lama, seorang wanita paruh baya berlari mendekat dengan napas tersengal dan wajah panik. Ia menunduk dalam-dalam.

"Ma-maafkan anak saya, Nona," ucap wanita itu ketakutan, mengira Alana bagian dari Kalajengking Hitam.

Orang-orang di sekitar mulai menoleh. Mereka penasaran dengan keributan itu, dan begitu mata mereka menangkap sosok Alana, desah kekaguman tak bisa ditahan. Gadis itu bagaikan lukisan hidup kulitnya seputih giok, sorot matanya tajam tapi tak sepenuhnya dingin. Tak ada aura jahat, justru ada rasa agung yang membuat lutut mereka hampir goyah.

"Siapa dia?" bisik seseorang.

"Apakah dia dari Kalajengking Hitam? Tapi... auranya terlalu mulia."

"Tak mungkin. Bahkan anggota Kalajengking Hitam tidak akan membuatku merasa seperti sedang menghadap dewi kematian."

Alana menunduk menatap wanita paruh baya itu. "Tidak apa-apa, bibi. Anakmu sangat menggemaskan. Dan jangan khawatir... aku bukan orang jahat. Aku hanya kebetulan lewat dan mampir ke desa ini."

Raut wajah sang ibu langsung berubah lega.

Namun kegelisahan masih membayang di matanya. Ia lalu berkata pelan, "Nona... sebaiknya cepat pergi. Desa ini tak lagi aman. Kalajengking Hitam telah menguasai tempat ini. Mereka menculik gadis-gadis desa dan membawanya ke pusat desa... Kami takut, nona. Sangat takut."

Alana terdiam sejenak. Matanya menyapu desa yang kini bagai neraka kecil tersembunyi di balik kedamaian palsu. Langit yang mulai gelap menjadi saksi bisu amarah yang mulai membara di hatinya.

Angin bertiup pelan, membawa bisikan keputusasaan dari rumah-rumah reot yang ditinggali oleh rakyat tak berdaya. Dan saat itu, Alana tahu... dia tak akan pergi begitu saja.

“Jangan khawatir, Bibi. Saya akan baik-baik saja,” ucap Alana dengan suara tenang namun tegas. “Dan saya pastikan, mereka semua akan mati hari ini juga.”

Kata-kata wanita paruh baya itu menggugah amarah dalam dada Alana. Sebagai seorang perempuan, dia tak bisa membiarkan kehinaan itu terus terjadi. Hatinya berkecamuk bagai badai yang menggulung laut, menyapu semua kedamaian dalam dirinya.

"Apakah serendah itu derajat wanita di zaman ini?" gumamnya geram, angin tipis menyapu rambut hitamnya yang terurai, seolah ikut merasakan bara kemarahan di dalam jiwanya. "Jika begitu, biarlah aku yang membuat mereka menyesal telah menghina para wanita."

Di dunia asalnya, perlindungan terhadap wanita adalah hukum mutlak sebuah pilar dalam keadilan. Di tempat ini? Keadilan hanyalah bayangan samar di bawah langit yang tercemar dosa.

"Aku akan membawa cahaya hukum baru ke tempat ini... Namun aku harus menjadi seseorang yang berpengaruh untuk mewujudkannya," bisiknya dalam hati, seperti janji kepada langit.

Tanpa membuang waktu, Alana melesat menuju balai desa. Di sana, matanya menangkap pemandangan menjijikkan anggota Kalajengking Hitam berkeliaran, tertawa-tawa seolah dunia ini milik mereka. Dengan tenang, dia mencabut pedang hitamnya. Cahaya senja yang menyusup dari balik awan memantul di bilahnya, menciptakan bayangan kematian.

Satu gerakan. Satu tebasan. Dan kepala pertama jatuh menyentuh tanah dengan suara tumpul.

Seisi balai terhenyak. Para anggota yang bersantai sontak panik, menggenggam senjata dan mengepung Alana.

“Beraninya kau datang sendirian ke tempat ini dan membunuh saudara-saudara kami, dasar gadis sialan!” teriak salah satu dari mereka.

“Maaf, bukan berani... tapi memang sudah waktunya sampah seperti kalian dibersihkan dari dunia ini,” ucap Alana, dingin bagai musim salju yang datang tiba-tiba.

“Hahahaha, kau pikir bisa melawan kami sendirian? Lebih baik menyerah, ketua kami pasti akan memperlakukanmu dengan baik,” ujar salah satu dari mereka sambil menunjukkan senyum jijik, seolah membayangkan sesuatu yang keji.

Suara tawanya membekas di telinga seperti cacing menjalar. Alana mengangkat wajahnya. “Hentikan suara menjijikkan kalian itu,” ucapnya pelan, lalu...

Seketika, aura kegelapan menyelimuti seluruh ruangan. Nafas mereka tercekat, tubuh kaku tak bisa digerakkan seolah terikat oleh rantai gaib. Mata mereka membelalak dalam kepanikan.

“A-a-apa yang terjadi pada tubuhku...?” desis salah satu dengan nafas tersengal.

Sementara itu, di dalam bangunan balai, Ketua Sin pemimpin Kalajengking Hitam cabang desa itu merasa jantungnya mencelus. dia merasakan tekanan hebat, aura mengerikan yang belum pernah dia kenal sebelumnya. Bulu kuduknya berdiri, peluh dingin membasahi pelipisnya.

"Apakah aku pernah menyinggung kultivator hebat?" pikirnya panik. Tapi lamunannya buyar ketika suara keras mengguncang dinding desa:

“Keluar kau, manusia rendahan! Apakah ketua Kalajengking Hitam begitu pengecut hingga bersembunyi di balik tembok busuk ini?!”

Suara Alana bergema, dibumbui energi qi yang membuat langit mendung seketika.

Ketua Sin terkejut dan memanggil tiga bawahannya. Mereka keluar dengan tubuh gemetar, dan yang pertama mereka lihat adalah sosok gadis muda berdiri di atas tumpukan mayat, matanya menyala bagai api dari dunia arwah.

“Siapa kau?! Aku tak pernah menyinggungmu! Kenapa kau menyerang kami dan membunuh pasukanku?!” Ketua Sin mencoba menunjukkan wibawa, meski getaran suaranya mengkhianati rasa takutnya.

Alana melangkah perlahan, seperti bayangan maut yang mengendap.

“Kenapa kalian memperlakukan penduduk desa ini sekejam itu?” tanyanya datar, namun dinginnya menusuk seperti bilah es.

“Mereka hanya orang biasa. Kenapa kau begitu marah? Itu salah mereka sendiri karena mereka lemah!” jawab Ketua Sin, mencoba membenarkan kebiadaban dengan logika bangkai.

“Oh, orang lemah, ya?” gumam Alana. Ia mengangguk, lalu...

Sreks

Sebilah pedangnya menebas tangan kiri Ketua Sin.

“AAARGHHH!!” teriak pria itu kesakitan, lututnya ambruk mencium tanah.

“Gadis sialan! Serang dia!” teriak Ketua Sin kepada tiga bawahannya. Namun sayang, baru saja mereka bergerak, kepala mereka telah jatuh bersamaan, seperti buah yang dipetik maut.

Ketua Sin menatap pemandangan itu dengan mata kosong. Napasnya tercekat. Tidak ada harapan.

“Kalau kau membunuhku, pemimpin Kalajengking Hitam akan memburumu. Bahkan keluargamu pun tak akan selamat!” ancamnya, sisa keberanian terakhirnya dibungkus dengan nama besar sang pemimpin.

Namun Alana hanya tersenyum miring, seperti seseorang yang mendengar lelucon konyol.

“Lucu. Kau pikir aku punya keluarga untuk dijadikan ancaman?”

Suara angin mengalun, membawa harum darah dan aroma dendam. Langit memucat, seolah ikut menyaksikan eksekusi yang akan segera terjadi.

"Mengapa kau mempermainkan gadis-gadis muda yang tak berdosa?" tanya Alana, dingin, tanpa gentar menghadapi ancaman Ketua Sin. Suaranya tak bergetar, hanya membekukan udara di sekitarnya, seolah kata-kata itu menyatu dengan angin malam yang menggigilkan tulang.

Namun Ketua Sin hanya tertawa pendek, tatapannya meremehkan, bibirnya melengkung licik.

"Bukankah wanita itu diciptakan hanya untuk memuaskan nafsu para lelaki?" ucapnya enteng, seolah nyawa dan harga diri seorang wanita tak lebih dari debu yang bisa ditiup angin.

Alana memejamkan mata sejenak. Dalam dirinya, amarah membara seperti gunung api yang menunggu letusan. Ia membuka mata, lalu tanpa berkata sepatah pun, pedangnya berkelebat cepat. Dua cahaya hitam melesat, dan seketika, suara jerit pilu mengoyak langit.

"Aaaaaa!! Gadis sialan! Bunuh saja aku!!" teriak Ketua Sin, kedua matanya kini gelap, kehilangan cahaya dan harapan.

"Membunuhmu?" Alana mendekat perlahan, sorot matanya seperti malam tanpa bintang. "Tidak. Kematian adalah pembebasan. Kau belum layak mendapatkannya… belum sebelum kau merasakan neraka yang sebenarnya."

Pedang Alana kembali menancap, kali ini menghujam bagian tubuh yang melambangkan masa depan seorang pria. Teriakan Ketua Sin kembali memecah kesunyian, namun tak seorang pun menolong.

"Bunuh saja aku… tolong bunuh saja aku…" pintanya, kini suara itu lemah, terisak, seperti angin terakhir sebelum lilin padam.

Alana tersenyum tipis. Hanya seulas, namun menakutkan. Ia mengangkat tangannya, dan api menyala dari telapak tangannya. Api itu tak seperti api biasa. Warnanya merah keemasan, seperti bara yang menyimpan dendam ratusan wanita yang terluka.

Ketua Sin terbakar. Jeritannya menjadi simfoni terakhir kejahatannya sebelum tubuhnya lenyap jadi abu. Udara kembali hening. Namun aroma pembalasan masih mengambang, seperti dupa yang belum selesai terbakar.

Setelahnya, Alana menghampiri tumpukan mayat dan membakar semuanya. Ia tahu, jasad-jasad itu bisa membawa penyakit jika dibiarkan membusuk. Api menjadi penutup sempurna dari kisah kelam Kalajengking Hitam.

"Hei, sampai kapan kalian akan bersembunyi?" serunya sambil melirik ke arah rerumputan yang bergoyang tak jauh dari sana. Dari balik semak, muncullah para penduduk desa, wajah mereka pucat, penuh takut. Beberapa wanita menunduk dalam-dalam, beberapa pria bahkan tak berani menatap.

Akhirnya, seorang pria tua, tampak bijak namun lusuh, melangkah maju. Ia membungkuk hormat.

"Maafkan kelancangan kami, Nona."

Alana menghela napas. Angin sepoi meniup ujung jubahnya, membawa aroma debu dan bara.

"Aku tak mempermasalahkannya. Yang jahat sudah musnah. Namun ingat ini: wanita bukanlah boneka, bukan pelipur nafsu atau makhluk rendah. Jika suatu hari aku mendengar ada yang memperlakukan wanita semena-mena lagi... maka aku akan kembali. Dan takkan ada ampun."

Suaranya lembut, namun setiap katanya mengandung petir yang menyambar batin mereka. Para penduduk hanya mengangguk siapa yang berani membantah?

Para wanita menatap Alana dengan kagum, bahkan beberapa menitikkan air mata. Hati mereka terasa baru seolah seorang dewi keadilan telah turun dari langit untuk membela suara yang selama ini dibungkam oleh dunia.

"Terima kasih, Nona. Kami takkan melupakan ini. Bolehkah kami tahu nama Nona, agar kami bisa mengabadikannya dalam kisah kami?" tanya kepala desa itu dengan penuh hormat.

"Namaku Alana. Tapi tak perlu kalian sebarkan apa yang kulakukan hari ini. Cukup simpan dalam hati kalian, dan teruskan semangatnya."

Setelah berkata begitu, tubuh Alana melesat pergi, hanya menyisakan debu tipis dan bayangan keberanian yang belum pernah mereka saksikan.

"Nona Alana… kami akan selalu mengingatmu…" bisik para gadis di sana.

Tak sampai sehari, berita tentang kehancuran kelompok Kalajengking Hitam sampai ke Istana Kekaisaran.

Di ruang utama istana, Pangeran Azka duduk gelisah.

"Ayah… menurut Ayah, siapa gadis itu?" tanyanya pada Kaisar Long.

Sang Kaisar menatap kosong, lalu menghela napas.

"Aku tak tahu. Tapi jika benar dia gadis yang kemarin, maka… posisiku dalam bahaya."

Azka mengernyit, tak puas dengan jawaban itu.

"Kalau begitu, mengapa Ayah tak mengirim jenderal-jenderal istana untuk melindungi desa-desa di bawah kekuasaan Ayah?"

Kaisar Long mendengus.

"Diamlah, Azka. Kau masih muda, belum tahu apa-apa. Desa-desa itu hanya dihuni rakyat biasa. Mengirim jenderal hanya akan membuang sumber daya kekaisaran."

Pangeran Azka berdiri, matanya menajam, kecewa tak terbendung.

"Bukankah tugas seorang Kaisar adalah melindungi rakyatnya… bukan menghitung untung rugi dengan nyawa manusia?"

Ia lalu pergi, meninggalkan ruangan dengan langkah kecewa. Di luar jendela, angin malam berhembus perlahan. Dan di kejauhan, suara Alana seolah masih bergema—membelah langit, membakar dunia lama, dan menciptakan harapan baru.

Episodes
1 AWAL
2 IDENTITAS BARU
3 MULAI PELATIHAN
4 ORGANISASI KALAJENGKING HITAM
5 puncak bulan
6 SILUMAN API
7 NAGA HITAM PENGHUNI PUNCAK BULAN
8 BUKAN GADIS BIASA
9 kematian ketua sin kalajengking hitam
10 KEMBALI KE KLAN
11 PETARUNG DEWA TAHAP AWAL
12 TAK SEBANDING
13 PERTEMUAN KLAN kematian pemimpin klan
14 MENJADI SAUDARA
15 pendaftaran murid baru
16 LAGI LAGI BANDIT LAUT
17 PANGERAN YANG SOMBONG
18 UJIAN TAHAP 1 ( warna yang alana capai)
19 SILUMAN GORILLA
20 UJIAN TAHAP 2
21 pemuda dari alam neraka
22 orang aneh
23 PETUNJUK TENTANG IBU
24 KEKACAUAN
25 RENCANA KAISAR
26 JANGAN MACAM MACAM DENGAN KU
27 KEMARAHAN ALANA
28 KEMATIAN KAISAR LONG DAN IBLIS GRASELA
29 KEBENARAN
30 UJIAN TAHAP KE 3 bagian 1
31 ujian tahap 3 bagian 2
32 ujian tahap 3 bagian 3
33 Rencana weiheng ( kepala keluarga gong)
34 PEDANG SALJU
35 memulai rencana
36 BERSELISIH TEGANG
37 kalian ingin berperang dengan ku
38 keputusan alana
39 PEPERANGAN #1
40 PEPERANGAN #2
41 KEDATANGAN SEKUTU
42 kekalahan bangsawan gong dan kekaisaran
43 KEKOSONGAN POSISI
44 PENYUSUP
45 jalan jalan
46 pelantikan
47 dilema
48 rencana pemimpin klan fu
49 malaikat maut berwajah bidadari
50 Rencana yang tersembunyi
51 kehangatan keluarga
52 memulai aksi
53 keributan kecil
54 manusia iblis bertanduk
55 akhir dari pemimpin klan fu
Episodes

Updated 55 Episodes

1
AWAL
2
IDENTITAS BARU
3
MULAI PELATIHAN
4
ORGANISASI KALAJENGKING HITAM
5
puncak bulan
6
SILUMAN API
7
NAGA HITAM PENGHUNI PUNCAK BULAN
8
BUKAN GADIS BIASA
9
kematian ketua sin kalajengking hitam
10
KEMBALI KE KLAN
11
PETARUNG DEWA TAHAP AWAL
12
TAK SEBANDING
13
PERTEMUAN KLAN kematian pemimpin klan
14
MENJADI SAUDARA
15
pendaftaran murid baru
16
LAGI LAGI BANDIT LAUT
17
PANGERAN YANG SOMBONG
18
UJIAN TAHAP 1 ( warna yang alana capai)
19
SILUMAN GORILLA
20
UJIAN TAHAP 2
21
pemuda dari alam neraka
22
orang aneh
23
PETUNJUK TENTANG IBU
24
KEKACAUAN
25
RENCANA KAISAR
26
JANGAN MACAM MACAM DENGAN KU
27
KEMARAHAN ALANA
28
KEMATIAN KAISAR LONG DAN IBLIS GRASELA
29
KEBENARAN
30
UJIAN TAHAP KE 3 bagian 1
31
ujian tahap 3 bagian 2
32
ujian tahap 3 bagian 3
33
Rencana weiheng ( kepala keluarga gong)
34
PEDANG SALJU
35
memulai rencana
36
BERSELISIH TEGANG
37
kalian ingin berperang dengan ku
38
keputusan alana
39
PEPERANGAN #1
40
PEPERANGAN #2
41
KEDATANGAN SEKUTU
42
kekalahan bangsawan gong dan kekaisaran
43
KEKOSONGAN POSISI
44
PENYUSUP
45
jalan jalan
46
pelantikan
47
dilema
48
rencana pemimpin klan fu
49
malaikat maut berwajah bidadari
50
Rencana yang tersembunyi
51
kehangatan keluarga
52
memulai aksi
53
keributan kecil
54
manusia iblis bertanduk
55
akhir dari pemimpin klan fu

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!