BUKAN GADIS BIASA

Setelah cukup lama menyusuri gelapnya Hutan Puncak Bulan, Alana akhirnya tiba di ujung belantara yang seolah tak berujung. Bibir hutan itu terbuka lebar, menyambutnya seperti rahim gelap yang baru saja melepaskan seorang anak ke dunia luar. DIa berhenti sejenak, memandangi kelebatan pepohonan yang telah ia lalui—dingin, sunyi, dan penuh bisikan tak kasatmata. Senyum miring mengembang di sudut bibirnya, samar namun menyimpan teka-teki. Entah apa yang berkecamuk di benaknya, hanya ia dan langit malam yang tahu.

Ketika Alana membalikkan tubuhnya, barulah dia menyadari bahwa hari telah merambat menuju gelap. Cahaya matahari yang dulu menyelinap di sela-sela daun kini lenyap sepenuhnya, digantikan langit kelam tanpa bintang. Namun, bagi Alana, ini bukan hal baru.

Waktu di dalam Hutan Puncak Bulan tidak mengikuti aturan dunia fana. Di sana, siang dan malam bercampur seperti kabut dalam gelas air. Gelap selalu memeluk segalanya, menyelimuti hari-hari yang tak bernama. Dalam hutan itu, waktu hanyalah bayang-bayang yang menyesatkan.

"Sepertinya aku harus menginap di Desa Daun Perak malam ini," ucap Alana pelan, sambil merenggangkan tubuhnya yang terasa pegal dan letih.

Tubuhnya seperti baru saja melalui medan perang ototnya menegang, langkahnya berat. Namun belum jauh ia berjalan, langkah kakinya terhenti. Telinganya yang tajam menangkap suara dentuman dan desingan senjata. Suara itu pecah di udara malam, menggema seperti petir di lembah sunyi.

Dentuman itu… tidak jauh dari sini.

Alana mengerutkan kening. "Siapa mereka? Malam-malam begini bukannya istirahat, malah bertarung?" gumamnya, sambil menepuk pelan dahinya yang dingin diterpa angin.

Rasa penasaran mulai menggelitik pikirannya. Maka ia pun melesat, tubuhnya ringan bagaikan kabut yang berlari di atas rerumputan embun. Dalam hitungan detik, ia tiba di lokasi sumber suara sebuah celah terbuka di pinggir hutan yang diterangi cahaya rembulan yang samar.

Di sana, sekelompok orang berseragam biru muda tengah mengeroyok lima orang lain yang tampak terluka dan kelelahan. Pakaian mereka berbeda lebih rapi, lebih berwibawa. Alana cukup jeli untuk tahu bahwa mereka adalah bagian dari kekaisaran.

Tawa keras meledak dari salah satu pria berseragam biru muda. “Hahahaha! Ketua, lihat siapa yang kita temukan di sini seorang jenderal dari Kekaisaran Binzo!”

Nada suaranya merendahkan, seperti binatang buas yang mencium aroma darah mangsanya.

Jenderal itu, dengan nafas memburu dan tubuh penuh luka, hanya bisa berdiri dengan posisi bertahan. Darah mengalir dari lengan dan pelipisnya, namun matanya tetap menyala penuh api perlawanan. Keempat prajuritnya tergeletak di belakang, terengah-engah, sebagian bahkan tak sanggup berdiri lagi.

Namanya Jenderal Joe, sosok tangguh yang diperintahkan untuk berpatroli di perbatasan. Namun siapa sangka, dalam perjalanan pulangnya, ia justru bertemu gerombolan bandit laut yang terkenal ganas dan licik.

“Keparat kalian!” teriak Jenderal Joe, geram. “Aku tak pernah punya urusan dengan kalian! Kenapa menyerang kami?”

Seorang pria bertubuh besar melangkah maju. Matanya tajam seperti pedang, dan wajahnya menyimpan dendam yang mendidih.

“Ini bukan tentang dirimu, Jenderal. Ini tentang kaisarmu pembohong licik yang telah mempermainkan kami. Membunuhmu di sini… adalah persembahan kecil untuk rasa benciku pada Kekaisaran Binzo.”

Tangannya melambai ke arah anak buahnya.

“Serang dia.”

Dengan sigap, para bandit mengepung dan menghantam para prajurit satu per satu. Walau mereka bertarung dengan gagah berani, perbedaan jumlah dan kekuatan membuat mereka tumbang tak berdaya.

Kini, hanya Jenderal Joe yang tersisa. Nafasnya terputus-putus, langkahnya goyah. Ia berada di tingkat satu Petarung Senior—sedangkan lawannya, pemimpin bandit itu, berada di tingkat tiga. Perbedaan kekuatan itu bagaikan jurang antara bintang dan debu.

“Kenapa, Jenderal?” ejek sang pemimpin bandit, suara rendahnya menggema di udara. “Apa hanya segini kemampuanmu?”

Alana, yang sedari tadi hanya menyaksikan, menghela napas. Awalnya da tak berniat ikut campur dalam urusan kekaisaran. Namun melihat betapa gagahnya jenderal itu bertahan seorang diri, ia mengubah pikirannya. Mungkin tak buruk berkenalan dengan seorang jenderal kekaisaran…

Tanpa peringatan, tubuh Alana bergerak. Dalam sekejap, dia muncul di tengah-tengah arena pertempuran. Angin berputar di sekelilingnya, dedaunan beterbangan, dan tanah bergetar lirih kehadirannya seolah diiringi oleh kekuatan tak terlihat.

Para bandit mundur selangkah, kaget dengan kemunculan mendadak seorang gadis berwajah tenang dan mata sedingin danau di musim salju.

"Siapa kau?" tanya pemimpin bandit, matanya menyipit curiga.

Alana menoleh perlahan, rambutnya berkibar ditiup angin malam. Senyum tipis menghiasi wajahnya.

"Aku… hanya seorang pengembara yang tak suka keributan di malam hari."

Suara Alana lembut, tapi ada kekuatan tersembunyi di balik ucapannya seperti angin yang bisa berubah menjadi badai dalam sekejap.

Langit malam diam membisu. Angin berhenti berhembus, seolah dunia menahan napas menyambut pertarungan yang baru saja dimulai…

“Siapa kau, gadis sialan? Jangan ikut campur urusan orang lain!” hardik sang pemimpin bandit dengan nada sarkas yang diliputi kegelisahan.

Meski ucapannya terdengar sombong, matanya menyiratkan kewaspadaan. Naluri bertarungnya, yang telah ditempa oleh pertarungan demi pertarungan berdarah, berteriak bahwa gadis di hadapannya bukanlah manusia biasa. Ada sesuatu dalam diri Alana sesuatu yang tak terlihat, namun terasa mengerikan… Aura itu, dingin dan tajam, seperti bayangan kematian yang menyelimuti malam.

"Aku tidak peduli dengan urusan kalian," suara Alana terdengar datar, namun menggema seperti guntur yang menggema di pegunungan sunyi. "Aku hanya benci melihat sekumpulan pecundang yang hanya bisa menang jika menyerang secara keroyokan."

Perkataan itu membakar ego sang pemimpin bandit. Matanya menyala, dan wajahnya memerah oleh amarah. Tanpa ragu, ia mengangkat tangan dan memberi perintah.

“Serang dia! Robek tubuhnya!”

Puluhan bandit pun melesat ke arah Alana, menyerang seperti kawanan serigala lapar.

Namun Jenderal Joe yang masih berdiri dengan nafas tersengal maju satu langkah, mencoba menghentikan aksi Alana. “Terima kasih atas bantuannya, Nona, tapi... sebaiknya kau pergi. Dia terlalu kuat. Aku tidak ingin kau terluka.”

Kekhawatiran di wajah Joe tulus. Ia tak tahu siapa gadis itu, dan terlebih lagi ia tidak bisa mengukur tingkatan kekuatannya. Ada sesuatu yang misterius, bahkan menakutkan, dari cara gadis itu berdiri di bawah cahaya bulan.

Namun sebelum niat baiknya sampai, terdengar suara menjijikkan dari sang pemimpin bandit, disertai senyum licik.

“Tangkap gadis itu! Aku ingin bersenang-senang dengannya sebelum membunuhnya.”

Ucapan itu adalah belati yang menggores harga diri Alana. Kilatan amarah memancar dari matanya yang sejernih kristal, namun kini membara seperti bara api di dasar neraka. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia menarik pedang hitam dari balik punggungnya senjata itu tampak seolah terbuat dari bayangan dan malam.

Dengan gerakan ringan namun mematikan, ia mengayunkan pedangnya, melepaskan lima puluh persen energi Qi yang mengalir deras di nadinya. Angin berputar, tanah bergetar, dan dalam satu tebasan, dunia pun terdiam.

Seketika, kepala puluhan bandit laut terlepas dari tubuh mereka, menggelinding tanpa suara di atas rerumputan malam. Darah menyembur seperti hujan merah, namun Alana tetap berdiri tanpa ekspresi, seolah membunuh hanyalah hal sepele baginya.

Yang tersisa hanya si pemimpin bandit terduduk, terpaku, dan menggigil. Matanya melebar, seolah tak percaya pada kenyataan.

“Apakah dia… manusia?” batin Jenderal Joe, tubuhnya bergetar saat melihat pemandangan mengerikan yang baru saja terjadi di depan matanya.

“Kau keparat…” gumam pemimpin bandit penuh dendam. “Berani-beraninya kau membunuh orang-orangku tepat di depan mataku! Sayang sekali tubuhmu yang mulus harus hancur oleh tombakku!”

Dengan gerakan cepat, ia mengeluarkan tombak pusaka dari cincin semestanya. Energi menggelegar mengitari senjata itu, membentuk bayangan tombak raksasa.

“Tombak Penghancur Sukma!”

Tombak itu melesat ke arah Alana dengan kekuatan dahsyat yang mampu menghancurkan batu besar sekalipun.

Namun, Alana hanya menatapnya… dan sekali tebas, bayangan tombak itu hancur seperti kaca diterpa badai.

“Tidak… tidak mungkin…” suara pemimpin itu lirih, wajahnya berubah menjadi topeng ketakutan.

“Sudah selesai?” tanya Alana, datar. “Kalau begitu… giliranku.”

Aura pembunuhnya dilepaskan sepenuhnya gelap, dingin, dan menekan bagaikan langit runtuh. Tanah seakan merintih di bawah kekuatan itu. Jenderal Joe dan pemimpin bandit sama-sama terjatuh berlutut, tubuh mereka tak kuasa menahan tekanan yang begitu mencekik.

Alana melangkah maju, pedangnya terangkat.

“Matilah.”

Satu tebasan. Satu hembusan angin. Dan kepala sang pemimpin bandit pun bergulir di tanah, membisu selamanya.

Aura gelap yang melingkupi hutan pun perlahan menghilang. Alana menarik kembali kekuatan pembunuh dan aura kegelapannya. Udara kembali tenang, meski bau darah masih menguar dalam bisu.

“Apakah Anda baik-baik saja?” tanya Alana pelan.

“Sa… saya baik-baik saja, Nona. Terima kasih atas bantuan Anda,” jawab Jenderal Joe, wajahnya masih bingung, seolah baru saja menyaksikan dewi maut turun dari langit.

“Kalau begitu, saya pamit,” ucap Alana, hendak berbalik.

Namun langkahnya dihentikan oleh suara Jenderal Joe yang mendesak.

“Maaf, Nona… bagaimana jika Anda mampir ke kekaisaran? Saya akan menceritakan kepada Yang Mulia atas bantuan Anda. Saya yakin Kaisar Long akan senang bertemu Anda.”

Alana berpikir sejenak, lalu tersenyum tipis. Ia memang tidak terburu-buru. Pertemuan klannya masih sebulan lagi, dan sedikit petualangan tidak akan membahayakan.

“Baiklah, Paman. Lagi pula, aku penasaran seperti apa suasana istana kalian.”

“Ah, syukurlah!” seru Joe dengan lega. “Sebelumnya, perkenalkan, nama saya Joe. Nona bisa memanggil saya Jenderal Joe… atau Paman Joe.”

“Namaku Alana, dari Klan King,” jawabnya dengan anggun.

“Oh… ternyata Nona Alana dari Klan King. Kalau begitu, mari ikuti saya.”

Jenderal Joe berjalan di depan, memimpin, sementara Alana mengikutinya dari belakang. Langkah mereka menembus gelap malam, meninggalkan jejak sunyi dan darah yang belum kering.

Dalam hatinya, Jenderal Joe bertanya-tanya, "Benarkah dia Alana dari Klan King? Bukankah orang-orang mengatakan bahwa dia adalah gadis buruk rupa dan tak berguna?"

Namun yang dilihatnya kini adalah gadis cantik dengan kulit putih bak giok, mata setajam bulan, dan kekuatan yang mampu mematahkan para pembunuh sekelas bandit laut tanpa kedipan.

Bukan… dia bukan sekadar gadis dari Klan King. Dia adalah badai yang menari di antara bayang-bayang…

Setelah perjalanan beberapa saat, keduanya akhirnya tiba di gerbang istana. Prajurit penjaga yang berjaga segera mengenali Jenderal Joe dan tanpa banyak bicara, membukakan gerbang besar yang megah itu.

Langit malam menyambut mereka, sementara langkah-langkah Alana mulai menapaki babak baru dari takdir yang belum ia ketahui…

“Hormat kepada Jenderal Joe!” seru kedua penjaga gerbang serentak, membungkukkan tubuh sebagai bentuk penghormatan. Namun, mata mereka melewatkan sosok Alana, seolah kehadirannya hanyalah bayang-bayang samar dalam kegelapan malam.

Alana hanya menatap mereka sekilas, lalu menoleh ke arah langit. Ia tak tersinggung. Sudah terbiasa tak dianggap oleh mereka yang hanya melihat dari tampilan luar. Angin malam membelai wajahnya, seolah menyapu keangkuhan yang melayang di udara.

“Hei, apa kalian tidak melihat? Ada tamu terhormat di sini! Jangan bersikap tidak sopan kepada Nona Alana,” tegur Jenderal Joe, nadanya keras dan penuh tekanan. Hatinya gelisah. Ia tahu bahwa kekuatan gadis ini bukanlah hal yang bisa diremehkan. Jika gadis itu saja sudah sehebat ini, bagaimana dengan ayahnya? Gurunya? Atau mungkin saudara-saudaranya?

Kedua penjaga itu gemetar, wajah mereka pucat pasi seolah melihat bayangan kematian di balik tatapan Jenderal Joe. Mereka segera menunduk, suaranya gemetar, “Maaf atas ketidaksopanan kami, Nona.”

Namun Alana hanya diam. Tatapannya tenang, tanpa emosi. Ia tahu, permintaan maaf itu tak berasal dari hati. Hanya topeng agar selamat dari murka.

Melihat suasana yang tak nyaman, Jenderal Joe segera mengajak Alana masuk ke dalam aula utama istana. Suara langkah mereka menggema di lorong-lorong batu, seperti nyanyian gaib yang menyertai keheningan malam.

“Siapa gadis itu? Mengapa Jenderal Joe begitu menghormatinya?” bisik salah satu penjaga dengan nada penasaran.

“Mungkin hanya wanita penghibur yang disewa dari rumah bordir,” gumam yang lain dengan nada iri yang ditutupi ejekan. Mereka tak tahu, bahwa gadis yang mereka remehkan itu bisa menghapus nyawa hanya dengan satu tebasan.

Saat tiba di aula utama, puluhan pasang mata tertuju pada Alana. Gaun hitamnya yang sederhana, langkahnya yang anggun namun penuh ketegasan, memancarkan aura yang tak bisa dijelaskan. Bagaikan bunga lotus yang mekar di tengah rawa—anggun, tapi mematikan.

“Hormat kepada Yang Mulia Kaisar!” seru Jenderal Joe, membungkuk dalam-dalam.

“Salam hormat, saya Alana dari Klan King,” ucap Alana dengan sedikit membungkuk, cukup untuk menunjukkan sopan santun, tapi tidak merendahkan dirinya.

Namun salah satu jenderal istana, Jenderal Liu, menatapnya tajam, penuh arogansi.

“Hai, gadis kurang ajar! Berani sekali kau bersikap tak sopan di hadapan Kaisar!” bentaknya.

Alana menoleh perlahan, seulas senyum tipis menghiasi wajahnya. “Lantas? Bukankah dia hanya manusia… sama seperti kita?”

Kata-kata itu menggema, menampar kesombongan di aula megah itu. Jenderal Liu membara dalam amarah, namun Kaisar Long hanya mengangkat tangan, menenangkan suasana.

“Cukup. Aku memaklumi sikap Nona Alana. Aku pun pernah muda. Tak akan menunduk selain pada orang tua dan Sang Pencipta,” ucap Kaisar Long, suaranya bijak seperti gemercik air di mata air pegunungan.

Lalu ia menatap Jenderal Joe. “Apa yang terjadi padamu? Apakah tugasmu selesai?”

“Tugas telah selesai, Yang Mulia. Namun, saat dalam perjalanan pulang, saya dan pasukan saya dihadang oleh bandit laut. Keempat prajurit saya gugur dalam pertempuran. Saya sendiri hampir mati… jika bukan karena Nona Alana.” Jenderal Joe menunduk, suaranya rendah namun penuh penghormatan. “Dia membunuh ketua bandit dan seluruh dua puluh anak buahnya… dalam sekejap.”

Aula mendadak sunyi. Wajah-wajah yang tadinya meremehkan berubah menjadi penuh keterkejutan.

Jenderal Liu tertawa meremehkan. “Jenderal Joe, jangan membual di hadapan Kaisar. Mana mungkin seorang gadis seperti itu mampu mengalahkan petarung tingkat tiga? Mungkin kau hanya bersandiwara—melukai dirimu sendiri agar bisa membawa gadis jalangmu ke istana.”

Alana mengepalkan tangan. Asap tipis mengepul dari tangan kanannya, menyelimuti udara dengan ancaman mematikan. Mata tajamnya menatap Jenderal Liu bagai kilat di langit malam.

“Kau ingin mati dengan cara apa?” bisiknya dingin, membuat jantung siapa pun berdegup lebih cepat.

“Hahaha! Gadis rendah sepertimu ingin melawanku?” Jenderal Liu menarik pedangnya. “Ayo, kita bertarung di arena latihan! Aku akan mengubur kesombonganmu bersama jasadmu!”

Kaisar Long mengangguk pelan. Ia penasaran, apakah cerita Joe benar adanya. Semua mata tertuju pada Alana, gadis misterius dari Klan King.

Di arena, dua sosok berdiri berhadapan. Jenderal Liu menghunus pedang pusakanya, yang bersinar biru dan mengeluarkan aura mengguncang.

“Pedang Pembelah Bulan…” gumam seorang penonton yang mengenali senjata itu.

Namun Alana hanya tersenyum. Ia menghunus pedang hitamnya, dan seketika aura pembunuh menyelimuti arena. Pedang itu tampak seolah terbuat dari kegelapan itu sendiri—kelam, tajam, dan tak terukur.

Semua orang menahan napas. Detik itu juga, mereka sadar… gadis itu bukan manusia biasa.

Sementara itu, Jenderal Joe hanya bisa menghela napas panjang, pasrah akan hasil pertarungan yang akan segera terjadi. Ia tahu—sangat tahu—bahwa hasilnya sudah pasti. Bagi Alana, ini bukan pertarungan… melainkan pelajaran bagi mereka yang lancang menyentuh kehormatan dan harga dirinya.

“Majulah, orang tua... Kuharap kau tak akan menyesal telah menantangku bertarung hidup dan mati di sini,” ucap Alana dengan senyum tipis yang menampar harga diri. Tatapannya tajam, seolah menembus jantung dan mengoyak ego Jenderal Liu.

Amarah Jenderal Liu meledak. Bagaimana mungkin seorang gadis muda berani menantangnya tanpa gentar? Dengan penuh murka, ia mengerahkan seluruh kekuatan.

“Jiwa Pembelah Bulan!” teriaknya, lalu melesat dengan kecepatan luar biasa, mengarah lurus ke jantung Alana.

Namun, seperti angin yang menari di antara celah dedaunan, Alana melangkah ke samping dengan ringan. Dalam satu gerakan yang nyaris tak terlihat, kaki kirinya menghantam punggung Jenderal Liu.

Gedebuk!

Tubuh Jenderal Liu jatuh terjerembab ke tanah. Hidungnya pecah, darah mengalir seperti sungai merah yang tak terbendung.

Semua mata membelalak. Hening menyelimuti aula. Satu serangan. Hanya satu. Dan jenderal yang digadang-gadang sebagai salah satu pilar kekaisaran… tumbang seperti daun kering tertiup badai.

“Apa hanya ini kemampuanmu, orang tua?” ucap Alana santai, seolah tak terjadi apa-apa.

Jenderal Liu, yang merasa kehormatannya diinjak, berteriak keras

“Kau gadis sialan! Akan kubunuh kau dan kujual ibumu ke rumah bordil!”

Sontak suasana berubah. Kalimat itu seperti mencabik-cabik hati yang selama ini berusaha bersabar.

“Dasar bodoh,” gumam Jenderal Joe, wajahnya muram.

Aura pembunuh perlahan merembes keluar dari tubuh Alana. Gelap. Berat. Mencekik. Udara di dalam aula menjadi sesak. Bahkan Kaisar Long dan Pangeran Azka ikut terhuyung, sulit bernapas. Semua orang yang berada di sana seakan dihadapkan pada ambang kematian.

“Jangan pernah berani menghina ibuku…” Suara Alana pelan, tapi menggema seperti petir dalam jiwa mereka.

Tanpa aba-aba, ia melesat dan menebaskan pedang hitamnya.

“Aaaaaaaaa!!” Jenderal Liu berteriak histeris. Kedua kakinya terputus, jatuh ke lantai seperti kayu lapuk. Darah menyembur liar.

Langkah demi langkah, Alana mendekatinya. Wajahnya tetap dingin. Tanpa belas kasih.

Sejak kapan kemarahan bisa terlihat begitu indah dalam bentuk kehancuran?

Satu tebasan lagi dan tangan kanan Jenderal Liu pun terpisah dari tubuhnya.

“Aaaaa! Bunuh saja aku, dasar iblis!” raung Jenderal Liu, putus asa.

Para pejabat, prajurit, dan bangsawan yang menyaksikan hanya bisa meneguk ludah. Tak ada satu pun yang berani mengeluarkan suara. Seorang gadis muda... menyiksa salah satu jenderal terkuat Kekaisaran seperti mainan yang sudah rusak.

“Nona... bukankah ini terlalu kejam?” suara Kaisar Long akhirnya terdengar, lemah dan penuh kecanggungan.

“Bukankah ini adalah kesepakatan?” Alana menatap dingin. “Lalu mengapa Kaisar ikut campur? Dan... mengapa aku harus menuruti permintaan Anda?”

“Tundukkan sikapmu di hadapan Kaisar!” tegur Pangeran Azka, namun Alana bahkan tak menoleh padanya.

“Karena aku adalah Kaisar di sini!” ucap Kaisar Long, suara penuh wibawa. Ia melepaskan auranya, memperlihatkan kultivasi Raja Tingkat Satu. Aura itu mengguncang seisi aula. Ia yakin gadis itu akan ketakutan.

Namun yang terjadi justru sebaliknya.

“Wah... wah… ternyata sang Kaisar ingin mengingkari kesepakatan,” ucap Alana seraya memperlihatkan tingkat kultivasinya—Raja Tingkat Lima.

Seketika itu juga, semua orang memuntahkan darah.

“Apa... dia monster?”

“Tak mungkin! Bagaimana bisa kultivasimu lebih tinggi dariku?! Kau pasti bersekutu dengan iblis!” Kaisar Long frustrasi, suaranya pecah.

Alana hanya tertawa geli. Suaranya melengking, nyaring, dan menghantui.

“Hahahahaha... Jika kau tak tahu apa-apa, jangan sembarangan bicara.”

Ia melepaskan 50% dari aura kegelapannya.

Dan saat itu juga, seluruh aula tenggelam dalam rasa takut. Aura itu… terlalu gelap, terlalu pekat, seolah menghisap cahaya dan kehidupan. Semua orang berlutut tanpa bisa melawan. Jantung mereka berdetak begitu cepat, seakan tak mampu menahan nyawa mereka di tubuh yang gemetar.

Bahkan Kaisar Long sendiri merasakan ujung kematian menyentuh tengkuknya.

Dengan wajah dingin, Alana menebas kepala Jenderal Liu. Darah mengucur deras, tapi dia tidak peduli. Ia menarik kembali auranya, membiarkan semua orang menghirup udara lega.

Ia kemudian memanggil nama yang asing namun megah:

“Mokuzo.”

Dari balik langit, seekor naga raksasa turun dengan angin dahsyat. Tubuhnya bersinar, sisiknya menyala seperti logam abadi. Semua orang ternganga.

“Itu... hewan abadi!”

“Siapa gadis itu? Apakah dia berasal dari dunia atas... atau dari neraka?”

Mokuzo menunduk penuh hormat. “Salam, Nona.”

“Antarkan aku ke perbatasan Desa Daun Perak,” perintah Alana.

Tanpa ragu, ia melompat ke punggung naga. Mokuzo mengepakkan sayap, menciptakan badai besar. Angin mengguncang bumi, memperingatkan dunia: jangan coba-coba mengganggu nona mereka.

Ketika Alana telah pergi, barulah mereka bisa bernapas lebih lega.

Kaisar Long berdiri, tubuhnya masih gemetar. Ia menyesal... sangat menyesal.

“Dengar baik-baik. Jika suatu hari Nona Alana berkunjung kembali ke istana ini, kalian semua wajib menunjukkan rasa hormat. Jika tidak… kekaisaran ini akan rata dengan tanah,” ucapnya sebelum pergi meninggalkan aula. Di belakangnya, Pangeran Azka dan para jenderal mengikuti, wajah mereka masih pucat.

“Entah mengapa... saat aura itu menyelimuti tubuhku, aku merasa seolah nyawa ini berada di ujung tanduk,” kata Pangeran Azka lirih.

“Ayah pun merasakannya… Itu bukan aura pembunuh biasa. Itu seperti... kematian yang berbicara,” jawab Kaisar Long, matanya menatap langit yang baru saja dilalui naga abadi.

Dan semua jenderal, tanpa terkecuali, hanya bisa mengangguk, diam dalam ketakutan dan kekaguman.

Episodes
1 AWAL
2 IDENTITAS BARU
3 MULAI PELATIHAN
4 ORGANISASI KALAJENGKING HITAM
5 puncak bulan
6 SILUMAN API
7 NAGA HITAM PENGHUNI PUNCAK BULAN
8 BUKAN GADIS BIASA
9 kematian ketua sin kalajengking hitam
10 KEMBALI KE KLAN
11 PETARUNG DEWA TAHAP AWAL
12 TAK SEBANDING
13 PERTEMUAN KLAN kematian pemimpin klan
14 MENJADI SAUDARA
15 pendaftaran murid baru
16 LAGI LAGI BANDIT LAUT
17 PANGERAN YANG SOMBONG
18 UJIAN TAHAP 1 ( warna yang alana capai)
19 SILUMAN GORILLA
20 UJIAN TAHAP 2
21 pemuda dari alam neraka
22 orang aneh
23 PETUNJUK TENTANG IBU
24 KEKACAUAN
25 RENCANA KAISAR
26 JANGAN MACAM MACAM DENGAN KU
27 KEMARAHAN ALANA
28 KEMATIAN KAISAR LONG DAN IBLIS GRASELA
29 KEBENARAN
30 UJIAN TAHAP KE 3 bagian 1
31 ujian tahap 3 bagian 2
32 ujian tahap 3 bagian 3
33 Rencana weiheng ( kepala keluarga gong)
34 PEDANG SALJU
35 memulai rencana
36 BERSELISIH TEGANG
37 kalian ingin berperang dengan ku
38 keputusan alana
39 PEPERANGAN #1
40 PEPERANGAN #2
41 KEDATANGAN SEKUTU
42 kekalahan bangsawan gong dan kekaisaran
43 KEKOSONGAN POSISI
44 PENYUSUP
45 jalan jalan
46 pelantikan
47 dilema
48 rencana pemimpin klan fu
49 malaikat maut berwajah bidadari
50 Rencana yang tersembunyi
51 kehangatan keluarga
52 memulai aksi
53 keributan kecil
54 manusia iblis bertanduk
55 akhir dari pemimpin klan fu
Episodes

Updated 55 Episodes

1
AWAL
2
IDENTITAS BARU
3
MULAI PELATIHAN
4
ORGANISASI KALAJENGKING HITAM
5
puncak bulan
6
SILUMAN API
7
NAGA HITAM PENGHUNI PUNCAK BULAN
8
BUKAN GADIS BIASA
9
kematian ketua sin kalajengking hitam
10
KEMBALI KE KLAN
11
PETARUNG DEWA TAHAP AWAL
12
TAK SEBANDING
13
PERTEMUAN KLAN kematian pemimpin klan
14
MENJADI SAUDARA
15
pendaftaran murid baru
16
LAGI LAGI BANDIT LAUT
17
PANGERAN YANG SOMBONG
18
UJIAN TAHAP 1 ( warna yang alana capai)
19
SILUMAN GORILLA
20
UJIAN TAHAP 2
21
pemuda dari alam neraka
22
orang aneh
23
PETUNJUK TENTANG IBU
24
KEKACAUAN
25
RENCANA KAISAR
26
JANGAN MACAM MACAM DENGAN KU
27
KEMARAHAN ALANA
28
KEMATIAN KAISAR LONG DAN IBLIS GRASELA
29
KEBENARAN
30
UJIAN TAHAP KE 3 bagian 1
31
ujian tahap 3 bagian 2
32
ujian tahap 3 bagian 3
33
Rencana weiheng ( kepala keluarga gong)
34
PEDANG SALJU
35
memulai rencana
36
BERSELISIH TEGANG
37
kalian ingin berperang dengan ku
38
keputusan alana
39
PEPERANGAN #1
40
PEPERANGAN #2
41
KEDATANGAN SEKUTU
42
kekalahan bangsawan gong dan kekaisaran
43
KEKOSONGAN POSISI
44
PENYUSUP
45
jalan jalan
46
pelantikan
47
dilema
48
rencana pemimpin klan fu
49
malaikat maut berwajah bidadari
50
Rencana yang tersembunyi
51
kehangatan keluarga
52
memulai aksi
53
keributan kecil
54
manusia iblis bertanduk
55
akhir dari pemimpin klan fu

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!