SILUMAN API

Sudah hampir seharian Alana melesat di udara, tubuhnya ringan berkat teknik peringan tubuh yang dia kuasai dengan gemilang. Angin berdesir melewati wajahnya, membelai lembut seperti belaian ibu yang lama telah tiada. Di bawah langit yang perlahan memudar dari jingga ke kelabu, Alana terus melaju menuju selatan. Namun sepertinya, hutan Puncak Bulan masih tersembunyi jauh di balik cakrawala yang membentang tak berujung.

“Sebentar lagi malam,” gumamnya pelan, semburat senja memantul di matanya yang tajam. “Sepertinya aku harus mempercepat langkahku agar tak perlu menginap di jalanan terbuka.” Maka,alana pun menambah kecepatannya, tubuhnya melesat laksana bayangan yang tak terjamah.

Tak lama kemudian, Alana tiba di sebuah desa yang cukup ramai. Lampu-lampu minyak mulai dinyalakan, menerangi jalanan berbatu dan kios-kios kecil yang masih buka, menjual aneka makanan dan rempah. Malam turun perlahan seperti kelambu lembut dari langit, membawa dingin dan rasa kantuk.

“Untuk malam ini... aku akan beristirahat di desa ini,” ucapnya lirih, sebelum turun dari langit dan berjalan menuju gerbang utama desa yang dijaga oleh dua penjaga bersenjata.

Salah satu penjaga itu maju selangkah. “Maaf, nona. Bisakah kau menunjukkan kartu identitasmu?” ucapnya sopan, menunduk hormat.

Alana mengeluarkan kartu identitas miliknya simbol klan King terpampang jelas di permukaan logam emas yang berkilau halus.

Kedua penjaga itu membelalak, lalu cepat-cepat membungkuk hormat. “Silakan masuk, nona. Mohon maaf telah mengganggu perjalanan Anda. Kalau boleh tahu, apa tujuan Anda ke desa ini?”

“Sebenarnya tujuan utamaku adalah hutan Puncak Bulan. Namun karena aku merasa lapar dan tubuhku butuh istirahat, aku singgah di sini untuk bermalam,” jawab Alana jujur.

Ucapan itu membuat kedua penjaga terkejut. Bahkan beberapa penduduk yang tak jauh dari gerbang ikut melirik, bisik-bisik mulai terdengar.

“Siapa gadis ini? Apa dia tidak tahu seberapa mengerikannya hutan itu?” bisik seorang wanita tua pada suaminya.

“Apakah nona benar-benar ingin ke sana?” tanya penjaga itu dengan nada khawatir. Di matanya, Alana terlihat seperti remaja biasa ramping, mungil, dan manis bukan seseorang yang mampu menembus bahaya yang bahkan para pendekar enggan dekati.

Alana tersenyum tipis, lalu mengangkat tangannya. Dalam sekejap, aura kuat memancar dari tubuhnya. Udara di sekitar bergetar, dan kekuatan dari seorang petarung Raja tingkat lima menyelimuti seluruh area seperti kabut tak terlihat namun menyesakkan dada. Para penjaga dan warga yang melihat hanya bisa terpaku, mata mereka membelalak dalam keterkejutan.

“Saya hanya ingin menjawab kekhawatiran kalian, bukan untuk menyombong,” ucapnya lembut, namun tegas. “Aku akan baik-baik saja.”

Penjaga itu membungkuk lebih dalam. “Maaf, nona… bukan maksud saya meremehkan Anda.”

“Tidak apa-apa, paman. Aku tahu kalian hanya khawatir.”

Lalu dia menoleh, matanya menelusuri jalan desa. “Oh iya, apakah di sini ada penginapan atau rumah yang disewakan?”

“Silakan lurus saja, nona. Tak jauh dari sini, ada penginapan Giok Salju.”

“Terima kasih.” Alana lalu mengeluarkan kantong kecil berisi koin emas dan membagikannya pada kedua penjaga. “Ini untuk kalian. Sebagai rasa terima kasih karena telah bersikap sopan dan ramah.”

Mereka menerima dengan mata berbinar. Lima koin emas cukup untuk mencukupi hidup mereka selama berbulan-bulan.

“Terima kasih banyak, nona! Semoga perjalanan Anda diberkahi,” ucap mereka serempak.

Setelah Alana berlalu, salah satu penjaga menatap temannya. “Tak kusangka… gadis lima belas tahun itu… dia monster.”

“Benar. Aku saja, umur empat puluh, masih terjebak di tingkat petarung senior pertama,” keluh temannya sambil menggeleng.

Sementara itu, Alana terus berjalan. Cahaya lampu minyak menari-nari di mata hitamnya yang bersinar. Setelah beberapa waktu, ia menemukan bangunan besar nan bersih, berdiri anggun seperti istana kecil di antara rumah-rumah biasa. Di depan bangunan itu tertulis: Penginapan Giok Salju.

Tanpa ragu, dia mendorong pintu masuk. Denting bel kecil terdengar, dan seketika seluruh ruangan hening. Semua mata tertuju padanya seorang gadis muda berparas rupawan dengan langkah anggun, mengenakan jubah sederhana namun memancarkan wibawa yang tak bisa dijelaskan.

Alana merasa sedikit risih, namun tetap melangkah tenang menuju meja resepsionis. Ia tersenyum hangat.

“Selamat datang di Penginapan Giok Salju. Ada yang bisa saya bantu?” sambut seorang wanita muda dengan senyum lembut, usianya tampak tak jauh berbeda dari Alana. Suaranya mengalun pelan, seperti desir angin musim semi yang menyapa dedaunan.

“Bisakah aku memesan satu kamar?” tanya Alana lirih, suaranya tenang namun terdengar jelas di antara bisik-bisik dan pandangan orang-orang yang tertuju padanya. dia mulai merasa risih oleh tatapan tatapan tajam yang mencoba menelanjangi sosoknya dengan prasangka.

Penginapan Giok Salju menjulang tiga tingkat, bangunannya anggun namun bersahaja. Lantai paling bawah dipenuhi aroma rempah dan hidangan hangat, karena di situlah restoran dan meja resepsionis berada. Lampu minyak yang menggantung di langit-langit menebar cahaya temaram, menciptakan suasana hangat di tengah malam yang menggigil.

“Maaf, nona. Hanya tersisa satu kamar... tapi itu kamar VIP. Harga per malamnya lima koin emas. Apakah nona masih ingin memesannya?” ucap sang resepsionis dengan nada ragu. Matanya meneliti penampilan Alana yang sederhana—gaun hitam polos tanpa perhiasan mencolok, namun ada sesuatu yang misterius terpancar dari dirinya.

Tanpa berkata sepatah kata pun, Alana mengangkat tangannya. Dari cincin penguasa yang melingkar di jarinya, muncul lima koin emas yang berkilau seperti matahari senja yang memantul di permukaan danau.

Beberapa tamu yang duduk tak jauh dari sana menahan napas. Mata mereka membelalak, seolah menyaksikan pemandangan mustahil seorang gadis dengan pakaian biasa, begitu mudah mengeluarkan kekayaan sebesar itu.

“Te-terima kasih, nona… ini kunci kamar Anda. Selamat beristirahat,” ucap sang resepsionis, kini dengan suara lebih rendah dan hormat. DIa menunduk sedikit, menyadari bahwa gadis di hadapannya bukan orang biasa.

Alana mengangguk pelan, lalu mengambil kunci itu dan melangkah menuju lantai tiga tempat kamar VIP berada. Langkah-langkahnya tenang, seperti irama hujan di musim dingin, namun setiap pijakannya meninggalkan kesan mendalam pada lantai kayu yang dipijaknya.

Di sudut dekat resepsionis, seorang pemuda dengan pakaian mewah memperhatikan Alana dengan penuh minat. Matanya menyala seperti api kecil yang tertiup angin penasaran.

“Paman, apakah kau mengenal gadis tadi?” tanyanya dengan suara rendah namun jelas. Di balik suaranya tersembunyi kekaguman yang belum sempat ia pahami.

Pelayan tua di sampingnya menggeleng perlahan. “Maaf, Tuan Muda. Sepertinya dia baru pertama kali datang ke desa ini.”

Wajah sang pemuda merenung. Ia tampak seperti bangsawan, mungkin anak seorang pejabat. Tapi untuk sesaat, bahkan kekuasaan dan statusnya terasa tak berarti dibandingkan dengan sosok gadis asing yang baru saja naik ke lantai tiga.

---

Di dalam kamarnya, Alana duduk bersila di atas kasur empuk yang terasa asing. Ia memejamkan mata, membiarkan keheningan meresap ke dalam napasnya. Dalam keheningan itu, pikirannya kembali tertuju pada alam bawah sadar yang penuh misteri tempat di mana dua jenis bunga tumbuh dalam kehampaan yang tak terjamah waktu.

“Aku harus kembali… menyerap energi dari mereka. Mawar Api dan Mawar Es… kekuatan yang tak bisa diabaikan,” bisiknya dalam hati.

Dalam sekejap, kesadarannya berpindah. Ia kembali berada di hamparan tak berujung, tempat langit tak punya batas dan tanah tak memiliki warna. Di sanalah dua jenis bunga berdiri megah: satu menyala seperti bara abadi, dan satu lagi bersinar beku bagaikan embun terakhir sebelum fajar.

Langkah-langkah Alana membelah keheningan. Setiap tapaknya menciptakan riak cahaya yang memancar dari tanah hampa itu. Ia mencari altar batu tempatnya bermeditasi dahulu, tempat suci dalam ruang sunyi yang hanya bisa dijangkau oleh jiwa yang telah ditempa oleh rasa sakit dan kehampaan.

Setelah cukup lama berjalan dalam diam, ia menemukannya—altar itu masih sama seperti sebelumnya, berlumut oleh waktu tapi bercahaya oleh kekuatan lama yang tak pernah padam.

Ia duduk di hadapannya, lalu mulai bermeditasi. Dua bunga mawar itu, seolah mengenali panggilannya, mulai menyalurkan energi masing-masing ke dalam tubuh Alana. Satu hangat membakar, satu dingin menusuk. Energinya liar, mengamuk seperti dua dewa yang berseteru di dalam tubuh seorang gadis.

Rasa sakit melanda tubuhnya. Separuh tubuhnya serasa terbakar api neraka, sementara sisi lainnya membeku hingga ke sumsum. Namun Alana tetap diam, menahan semua itu dalam keheningan yang penuh kesadaran.

Lama kelamaan, rasa sakit itu mereda. Energi keduanya mulai menari, berputar mengelilingi tubuh Alana. Dari punggungnya, perlahan tumbuh sepasang sayap—indah dan aneh, bagai ciptaan dewa dan iblis sekaligus.

Satu sayap menyala, memercikkan api suci yang tak bisa dipadamkan oleh hujan dunia. Sayap lainnya membeku, memancarkan hawa dingin yang bisa menghentikan detak jantung makhluk hidup.

Keduanya berputar, seperti menari dalam simfoni kekacauan dan kesatuan.

Dan pada akhirnya, kedua sayap itu menghilang—kembali masuk ke dalam dantian Alana. Energinya kini tak lagi bertarung, melainkan menyatu, seperti siang dan malam yang memahami peran masing-masing dalam lingkaran kehidupan.

Alana membuka matanya. Ia menarik napas dalam, lalu membiarkannya keluar perlahan. Napas itu bukan sekadar udara, tapi hembusan jiwa yang baru saja menyeberangi badai.

"Aku telah melangkah lebih jauh," gumamnya pelan.

Setelah menenangkan tubuh dan pikirannya, ia berdiri. Tubuhnya terasa lebih ringan, tapi juga lebih kuat. Seperti tanah yang baru disiram hujan, jiwanya pun merekah.

Alana kembali ke alam nyata. Langit di luar telah mulai menguning, pertanda fajar segera menyingsing. Dunia baru menanti langkahnya.

Cahaya pagi perlahan menyusup melalui celah jendela kamar, menyapu wajah Alana yang tenang. dia membuka matanya perlahan, menatap langit yang mulai beranjak biru. Betapa cepat malam berlalu. Meski tak memejamkan mata sedetik pun, tubuhnya tetap terasa segar karena dia bukan manusia biasa, dia adalah kultivator, makhluk yang melampaui batas batas fana.

“Lebih baik aku sarapan, agar perut ini tidak bernyanyi kesepian,” bisiknya pelan, suara lembutnya hampir menyatu dengan desir angin pagi.

Setelah mandi, ia mengenakan gaun panjang berwarna hitam yang menjuntai anggun, kontras dengan kulitnya yang pucat dan bersinar. Rambut panjangnya ia ikat dengan pita emas yang bersinar di bawah cahaya pagi. Dalam balutan sederhana namun anggun itu, Alana tampak seperti ratu dari kerajaan gelap yang turun ke dunia manusia.

Saat melangkah ke lantai bawah, tatapan demi tatapan tertuju padanya. Orang-orang terpukau, seolah menyaksikan bintang jatuh yang turun ke bumi dalam bentuk seorang gadis. Namun Alana hanya menatap ke depan, tenang dan tak peduli. Ia memilih duduk di sudut, mencari kesunyian di tengah keramaian.

Namun belum sempat ia duduk, langkahnya terhalang.

"Hei, nona cantik, maukah kau menemaniku makan?" ucap seorang pemuda dengan senyum genit. Di belakangnya berdiri tiga pengawal berbadan besar.

“Minggir. Aku tak sudi menemanimu,” jawab Alana dingin, suaranya setajam ujung pedang.

Pemuda itu tersinggung, wajahnya berubah merah padam. Salah satu pengawalnya maju dengan angkuh, membentak, “Hati-hati kau, nona! Tuan muda sudah bersikap ramah. Apa kau tidak tahu, dia anak kepala desa di sini!”

Alana menatapnya malas. “Sayangnya, aku tak tertarik pada anak-anak manja seperti dia.”

Suasana menjadi tegang. Para pengunjung menunduk, tak berani ikut campur. Mereka tahu, pemuda itu sering berbuat semena-mena. Tak ada yang bisa menentangnya… hingga hari ini.

“Kalau begitu, jangan salahkan aku!” Pemuda itu geram, lalu memberi isyarat pada pengawalnya untuk menyeret Alana.

Tapi sebelum mereka menyentuhnya, aura membunuh yang dingin dan mengguncang meledak dari tubuh Alana. Ruangan seketika membeku dalam ketakutan. Bahkan udara terasa berat untuk dihirup.

Alana mengangkat tangannya dan dari cincin penguasanya, muncul pedang hitam legam. Dalam sekejap, satu tebasan melayang—dan kepala ketiga pria itu jatuh bergelinding di lantai. Darah memercik, keheningan menjadi saksi ketegasan seorang gadis yang tak akan membiarkan kehormatannya diinjak.

Seisi penginapan terdiam, sebagian menahan napas, sebagian lagi menutup mulut agar tak berteriak. Mereka baru menyadari, gadis yang tampak muda itu bukanlah makhluk biasa. DIa adalah badai yang berselimut ketenangan.

Sang pemuda terduduk, tubuhnya gemetar. Ketakutan membanjiri matanya. Celananya basah, jelas dia telah kehilangan kendali atas tubuhnya.

“Jangan mendekat... Jangan bunuh aku! Ayahku kepala desa! Dia kenal dengan pejabat tinggi kekaisaran! Jika kau membunuhku, kau akan menyesal!” teriaknya, putus asa.

Alana berjalan perlahan ke arahnya, langkahnya ringan, tapi setiap tapak menggema seperti takdir yang menghampiri. “Berapa gadis yang telah kau nodai?” tanyanya pelan namun tajam seperti pisau.

“Le-lebih dari lima puluh…” jawabnya dengan suara bergetar.

Wajah Alana menjadi gelap. Amarahnya meluap seperti api yang tak lagi bisa dibendung.

“Sepertinya desa ini perlu pemimpin baru,” ucapnya lirih, lalu dengan satu ayunan, ia memotong masa depan pemuda itu. Jeritan nyaring membelah udara, dan para lelaki yang menyaksikan langsung menutup bagian tubuh mereka dengan refleks.

Dengan satu tebasan terakhir, kepala si pemuda terlepas. Sunyi. Hanya ada bisikan ketakutan dan decak kagum yang tertahan.

Namun Alana belum selesai. Ia menatap tubuh itu dingin, lalu bergumam, “Ada energi jahat di tubuhnya... Aku harus memastikan.”

Tanpa berkata banyak, ia melesat meninggalkan penginapan menuju kediaman kepala desa. Setibanya di sana, ia merasakan aura gelap yang begitu kental dari dalam bangunan.

Di telapak tangannya, ia memanggil sihir es. Sebuah bola kecil terbentuk, lalu membesar dengan cepat, bercahaya dingin. Alana melemparkannya dan dalam sekejap, ledakan dahsyat mengguncang udara. Rumah kepala desa hancur menjadi puing-puing dan debu.

Penduduk desa berbondong-bondong mendekat. Di tengah kepulan asap, berdiri Alana gadis muda dengan pedang dan tatapan membara.

“Bukankah itu nona dari penginapan? Apa yang terjadi?!”

Suara keras memecah suasana. “Keparat! Siapa yang berani menyerang rumahku?!”

Dari balik reruntuhan, muncullah kepala desa, wajahnya penuh luka. Ia melihat Alana, dan segera mengenalinya.

“Siapa kau?! Aku tak punya urusan denganmu!”

Alana menjawab tenang, namun tajam, “Jawab aku. Apakah kau bersekutu dengan Siluman Api?”

Kerumunan terdiam. Bisik-bisik mulai terdengar.

“Siluman api...? Apa maksudnya…? Jangan-jangan selama ini…”

Wajah kepala desa menegang. Tapi dia tersenyum sinis. “Kau luar biasa, gadis kecil. Aku tadinya ingin membiarkanmu hidup. Tapi karena kau telah mengetahui rahasiaku, maka kau harus menjadi tumbal untuk junjunganku!”

Ia mulai melafalkan mantra. Udara berubah. Dingin yang menusuk digantikan panas yang membakar. Lalu muncullah sosok raksasa, tubuhnya membara seperti magma, matanya merah menyala.

Siluman Api… sang penjaga kegelapan… kini hadir untuk melawan sang Ratu dari Alam Kegelapan.

Aura iblis itu begitu mencekam, menggulung langit desa dengan kabut kelam dan tekanan yang membuat dada serasa dihimpit batu raksasa. Banyak penduduk jatuh pingsan, tubuh mereka tak kuat menahan tekanan dari kekuatan kegelapan yang terpancar dari sosok siluman api.

Namun, di tengah kekacauan dan ketakutan itu, Alana hanya tersenyum tipis. Senyuman yang lebih dingin dari es, namun menyala seperti bara di tengah kegelapan. Ia menatap makhluk itu dengan mata setenang dan sedalam danau malam.

“Apa yang membuatmu memanggilku?” suara sang iblis menggema berat, seperti suara dari jurang maut.

Kepala desa segera menunduk, tubuhnya gemetar, lututnya menyentuh tanah. “Maafkan hamba, Junjungan. Hamba hanya ingin Anda membunuh orang yang telah melukai hamba.”

Siluman itu memiringkan kepala, lalu bertanya dengan suara malas, “Siapa orang yang ingin kau bunuh?”

Kepala desa menunjuk ke arah Alana dengan jari yang gemetar. “Dia... dia ada di belakang Anda, Tuan.”

Sang iblis perlahan membalikkan tubuhnya. Tatapannya awalnya tajam, siap melahap siapa pun musuh bawahannya. Namun, begitu matanya bertemu dengan sosok Alana, langkahnya terhenti. Ia terdiam, menatap penuh heran dan ketakutan.

Sebuah kenangan purba menyelinap ke dalam pikirannya… Aura itu… kekuatan itu…

“Ka-kau…” gumamnya.

“Jadi, kau ingin membunuhku?” ucap Alana datar, lalu melepaskan aura kegelapannya sendiri. Aura yang bahkan lebih pekat dan menyesakkan dari milik sang iblis. Tanah bergetar, langit menggulung awan hitam, dan udara seolah membeku oleh tekanan spiritualnya.

Penduduk yang masih sadar segera berlutut tanpa bisa melawan. Bahkan lutut mereka menghantam tanah dengan suara keras.

Sementara itu, sang siluman menelan ludahnya. Tubuh besarnya yang membara kini berguncang ketakutan. Ia sangat mengenal aura itu—sumber kekuatan kegelapan dari zaman purba.

Tanpa berpikir panjang, ia menjatuhkan diri ke tanah dan bersujud di hadapan Alana.

“Ampuni saya, Ratu... saya pantas dihukum...” suaranya bergetar seperti ranting rapuh di tengah badai.

Alana menatapnya tenang. “Baiklah. Aku tidak akan menghukummu, jika kau mau pergi dari sini dan tak kembali.”

Siluman itu segera bangkit dan bersiap melesat pergi. Namun sebelum ia sempat meninggalkan tempat itu, Alana mengangkat tangannya dan membuat sebuah lingkaran merah menyala di pergelangan tangan kanan sang iblis—sebuah segel kerajaan.

“Dengan segel itu, kau kini seorang tahanan istana. Jika kau melanggar, nyawamu bukan lagi milikmu,” ucap Alana datar.

Siluman itu menunduk dalam-dalam dan segera menghilang dalam kilatan api yang membara, meninggalkan keheningan mencekam.

Sementara itu, kepala desa masih terduduk lemas. Tubuhnya gemetar, wajahnya pucat pasi. Ia berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi, tapi pikirannya seolah tertelan kabut ketakutan.

Alana perlahan berjalan ke arahnya. Setiap langkahnya adalah ketukan takdir yang menghapus segala dosa tersembunyi.

“Berapa nyawa yang sudah kau korbankan untuk siluman itu?” tanya Alana dingin, tanpa emosi.

“Ti-tidak ada, nona... Ampuni saya…” jawab kepala desa tergagap, berusaha menghindari tatapannya.

Namun Alana bisa melihat kebohongan lebih tajam dari pedang mana pun. Tanpa ragu, ia mengayunkan pedangnya dan memotong kaki kanan kepala desa.

“AAARRRGHHH!!!” jeritnya menggema, mencabik langit pagi.

“Berapa nyawa?” tanya Alana lagi, kali ini lebih dingin, seperti bisikan kematian yang tak bisa dihindari.

“Bunuh aku, gadis sialan!” maki kepala desa dengan putus asa.

Tanpa ampun, Alana menebas tangan kirinya, dan darah memercik deras ke tanah. Jeritan kembali pecah, menusuk telinga para penduduk.

Setelah puas menyiksa, Alana mengayunkan pedangnya untuk terakhir kalinya. Kepala itu pun terpisah dari tubuhnya—mengguling ke tanah seperti simbol kejatuhan penguasa palsu.

Seisi desa membisu. Hening. Tak ada suara. Bahkan angin pun seolah takut bertiup terlalu kencang.

Alana menarik kembali pedangnya, dan perlahan menghapus aura kegelapan dari sekelilingnya. Ia berdiri tegak di tengah kerumunan, tatapannya dingin namun penuh kewibawaan.

“Dengar baik-baik,” suaranya menggema ke seluruh penjuru desa. “Kepala desa kalian telah melakukan dosa besar—bersekutu dengan iblis dan menjadikan rakyatnya sendiri sebagai tumbal. Aku telah menghukumnya atas perbuatannya.”

Ia berhenti sejenak, menatap wajah-wajah yang ketakutan namun penuh rasa hormat.

“Pilihlah pemimpin baru yang bersih dan adil. Jika tidak, aku akan kembali—dan kalian tak akan bisa lari dari keadilan langit.”

Tanpa berkata lagi, Alana melesat dengan ringan, tubuhnya membaur bersama angin pagi. Sosoknya menghilang, meninggalkan jejak bayangan dan perasaan gentar yang masih menggantung di udara.

Penduduk desa masih terdiam. Mereka baru saja menyaksikan murka dewi kegelapan.

“Lebih baik jika suatu hari nona itu kembali ke desa ini… kita tidak macam-macam dengannya,” gumam salah satu lelaki tua dengan suara serak.

Yang lain hanya mengangguk—sepakat dalam ketakutan yang masih membekas.

Terpopuler

Comments

Chauli Maulidiah

Chauli Maulidiah

kerreeeeeennn..

2025-04-13

1

Bell_Fernandez

Bell_Fernandez

Asyik banget bacanya!

2025-01-25

1

lihat semua
Episodes
1 AWAL
2 IDENTITAS BARU
3 MULAI PELATIHAN
4 ORGANISASI KALAJENGKING HITAM
5 puncak bulan
6 SILUMAN API
7 NAGA HITAM PENGHUNI PUNCAK BULAN
8 BUKAN GADIS BIASA
9 kematian ketua sin kalajengking hitam
10 KEMBALI KE KLAN
11 PETARUNG DEWA TAHAP AWAL
12 TAK SEBANDING
13 PERTEMUAN KLAN kematian pemimpin klan
14 MENJADI SAUDARA
15 pendaftaran murid baru
16 LAGI LAGI BANDIT LAUT
17 PANGERAN YANG SOMBONG
18 UJIAN TAHAP 1 ( warna yang alana capai)
19 SILUMAN GORILLA
20 UJIAN TAHAP 2
21 pemuda dari alam neraka
22 orang aneh
23 PETUNJUK TENTANG IBU
24 KEKACAUAN
25 RENCANA KAISAR
26 JANGAN MACAM MACAM DENGAN KU
27 KEMARAHAN ALANA
28 KEMATIAN KAISAR LONG DAN IBLIS GRASELA
29 KEBENARAN
30 UJIAN TAHAP KE 3 bagian 1
31 ujian tahap 3 bagian 2
32 ujian tahap 3 bagian 3
33 Rencana weiheng ( kepala keluarga gong)
34 PEDANG SALJU
35 memulai rencana
36 BERSELISIH TEGANG
37 kalian ingin berperang dengan ku
38 keputusan alana
39 PEPERANGAN #1
40 PEPERANGAN #2
41 KEDATANGAN SEKUTU
42 kekalahan bangsawan gong dan kekaisaran
43 KEKOSONGAN POSISI
44 PENYUSUP
45 jalan jalan
46 pelantikan
47 dilema
48 rencana pemimpin klan fu
49 malaikat maut berwajah bidadari
50 Rencana yang tersembunyi
51 kehangatan keluarga
52 memulai aksi
53 keributan kecil
54 manusia iblis bertanduk
55 akhir dari pemimpin klan fu
Episodes

Updated 55 Episodes

1
AWAL
2
IDENTITAS BARU
3
MULAI PELATIHAN
4
ORGANISASI KALAJENGKING HITAM
5
puncak bulan
6
SILUMAN API
7
NAGA HITAM PENGHUNI PUNCAK BULAN
8
BUKAN GADIS BIASA
9
kematian ketua sin kalajengking hitam
10
KEMBALI KE KLAN
11
PETARUNG DEWA TAHAP AWAL
12
TAK SEBANDING
13
PERTEMUAN KLAN kematian pemimpin klan
14
MENJADI SAUDARA
15
pendaftaran murid baru
16
LAGI LAGI BANDIT LAUT
17
PANGERAN YANG SOMBONG
18
UJIAN TAHAP 1 ( warna yang alana capai)
19
SILUMAN GORILLA
20
UJIAN TAHAP 2
21
pemuda dari alam neraka
22
orang aneh
23
PETUNJUK TENTANG IBU
24
KEKACAUAN
25
RENCANA KAISAR
26
JANGAN MACAM MACAM DENGAN KU
27
KEMARAHAN ALANA
28
KEMATIAN KAISAR LONG DAN IBLIS GRASELA
29
KEBENARAN
30
UJIAN TAHAP KE 3 bagian 1
31
ujian tahap 3 bagian 2
32
ujian tahap 3 bagian 3
33
Rencana weiheng ( kepala keluarga gong)
34
PEDANG SALJU
35
memulai rencana
36
BERSELISIH TEGANG
37
kalian ingin berperang dengan ku
38
keputusan alana
39
PEPERANGAN #1
40
PEPERANGAN #2
41
KEDATANGAN SEKUTU
42
kekalahan bangsawan gong dan kekaisaran
43
KEKOSONGAN POSISI
44
PENYUSUP
45
jalan jalan
46
pelantikan
47
dilema
48
rencana pemimpin klan fu
49
malaikat maut berwajah bidadari
50
Rencana yang tersembunyi
51
kehangatan keluarga
52
memulai aksi
53
keributan kecil
54
manusia iblis bertanduk
55
akhir dari pemimpin klan fu

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!