Hari ini adalah hari yang dinanti, hari pertemuan besar Klan King. Hari di mana keluarga-keluarga cabang dari pelosok negeri, bahkan yang berada di luar wilayah Kekaisaran Binzo, datang untuk menghadiri pertemuan agung di kediaman keluarga utama tempat di mana Alana kini tinggal.
Sejak fajar mengintip dari balik jendela langit, para tamu telah berdatangan. Sebagian langsung menuju aula pertemuan utama, sementara yang lain memilih berjalan-jalan, menapaki kemegahan tempat yang hanya mereka dengar dari cerita dan bisikan para tetua.
“Wah… tempat ini sepuluh kali lebih luas dan megah dari tempat tinggal kita,” ucap seorang pemuda sambil memandang sekeliling, matanya membelalak dalam kekaguman.
“Yah, namanya juga kediaman keluarga utama, tentu saja berbeda jauh dengan kita yang hanya dari keluarga cabang,” sahut temannya, tersenyum getir. Mereka adalah putra dari pemimpin cabang pertama Klan King. Sebenarnya, keberadaan mereka di sini bukan karena keinginan pribadi, melainkan perintah sang ayah. Mereka enggan datang, terlebih karena kabar yang beredar bahwa orang-orang dari keluarga utama terkenal angkuh dan merendahkan siapa pun yang tak setara.
Di dalam kediaman Klan King, suasana begitu riuh. Orang-orang berlalu lalang, saling menyapa, sebagian berbincang hangat, sebagian lagi berselimut aroma persaingan tersembunyi. Topik yang paling banyak dibicarakan tetaplah satu: perbedaan antara keluarga cabang dan keluarga inti, seolah garis tak kasat mata membelah derajat dan harga diri.
Namun di tengah hiruk pikuk itu, terdapat satu pemandangan yang kontras seorang gadis yang masih terlelap dalam damai. Gadis itu tak lain adalah Alana, sang putri tunggal dari ketua pertama . Di saat dunia bersiap menyambut pertemuan penting, dia masih setia berpeluk pada bantal dan gulingnya, tenggelam dalam dunia mimpi yang sunyi dan menenangkan.
Sinar matahari pagi akhirnya menyusup masuk melalui sela-sela tirai, menyentuh lembut wajah Alana dan membangunkannya perlahan. Dengan helaan napas panjang, ia membuka matanya, lalu menepuk pelan keningnya.
“Haahh... kenapa aku bisa lupa hari ini adalah hari pertemuan klan?” gumamnya, nada suaranya setengah malas, setengah pasrah.
DIa segera menuju kamar mandi, merendam tubuhnya dalam air hangat. Setiap tetes air serasa menghapus sisa kantuk dan beban pikiran. Ada kedamaian yang hanya bisa ditemukan dalam keheningan air seolah tubuh dan jiwa menyatu dalam ketenangan abadi. Setelah selesai, dia berdandan dengan rapi.
Hari ini, Alana memilih mengenakan gaun merah marun yang tak mencolok namun memancarkan keanggunan. Gaun itu dihiasi sulaman bunga dan kilauan mutiara yang berkilau lembut saat terkena cahaya. Rambut panjangnya ia ikat rapi, dihiasi ikat kepala bergambar burung phoenix simbol keabadian dan kekuatan. alana tersenyum menatap bayangannya di cermin.
“Setidaknya... aku masih terlihat layak untuk menghadiri pertemuan yang membosankan itu,” ujarnya pelan.
Alana keluar dari kamarnya dan menuruni anak tangga. Di ruang tengah, ia berjumpa dengan Bibi Ming, wanita paruh baya yang selalu merawatnya sejak kecil.
“Bibi, aku akan menghadiri pertemuan klan. Tolong siapkan sarapan untukku setelah aku kembali,” ucap Alana santai.
“Baik, Nona... tapi... apakah Anda benar-benar ingin menghadiri pertemuan itu menggantikan Tuan?” tanya Bibi Ming dengan nada heran. Ia tahu betul, selama ini Alana selalu menolak bahkan ketika ayahnya sendiri yang mengajak, Alana lebih memilih menyepi di perpustakaan klan.
“Iya, Bibi. Memangnya aku sedang bercanda?” sahut Alana sambil mengangkat sebelah alis.
“Maaf, Nona... Tapi jika begitu, tolong berhati-hati. Banyak orang yang tidak menyukai Anda, terutama dari keluarga cabang...” ucap Bibi Ming cemas, matanya menunjukkan kekhawatiran yang tulus.
Alana tersenyum ringan. “Bibi tak perlu khawatir. Aku tahu caraku menjaga diri. Lagi pula, pecundang seperti mereka tak akan bisa menyentuhku... bahkan merobek ujung bajuku pun tak sanggup.”
Dengan langkah tenang, dia melangkah keluar dari paviliun. Meski tahu dirinya telah terlambat, Alana memilih berjalan santai. Tatapannya menyapu wajah-wajah keluarga cabang yang tengah berada di halaman.
“Hemm... tidak buruk. Dengan sumber daya terbatas, mereka bisa mencapai tingkat petarung junior. Lumayan untuk ukuran keluarga cabang,” gumamnya.
Namun langkahnya terhenti ketika melihat keributan kecil di kejauhan. Beberapa murid inti terlihat memaki tiga pemuda yang tampaknya berasal dari keluarga cabang.
“Hei! Apa kau tidak punya mata? Lihat makanan yang kubawa jatuh karena ulahmu!” bentak salah satu murid inti dengan nada tinggi.
“Maafkan kami, Senior. Adik saya tidak sengaja menabrak Anda. Saya akan menggantinya...” ucap salah satu pemuda, yang tampak paling dewasa dari ketiganya.
“Kau tahu berapa mahal makanan ini? Keluarga cabang sepertimu tak akan mampu membayarnya!” ejek sang murid inti dengan angkuh.
Ketiga pemuda itu mengepalkan tangan mereka menahan emosi yang nyaris meledak. Andai bukan karena perintah ayah mereka, mereka takkan sudi menginjakkan kaki di tempat yang penuh kesombongan ini.
Melihat ketegangan yang semakin memanas, Alana pun melangkah maju. Suaranya lembut, namun ada hawa dingin dan panas yang bersatu di dalamnya seperti badai yang datang tanpa aba-aba.
“Hei, apa yang kalian lakukan?!”
Suara lantang Alana memecah udara, menembus keramaian seperti halilintar di siang bolong. Seketika mereka yang tengah berseteru menoleh ke arah suara itu. Betapa terkejutnya mereka saat melihat sosok gadis itu berdiri tegak, dengan tatapan setajam bilah pedang yang telah lama diasah.
"N-Nona Alana..."
Ucapan itu meluncur dari bibir para murid inti, penuh kegugupan dan ketakutan. Mereka masih sangat mengingat dengan jelas reputasi Alana gadis muda yang membawa nama besar, sekaligus kekuatan yang menakutkan di balik paras cantiknya.
"Apa yang membuat kalian begitu sombong dan angkuh?"
Suara Alana begitu tenang, namun mengandung nada ancaman yang menusuk sukma.
"Apakah ini ajaran dari senior Yung Rogi? Jika demikian, maka aku akan langsung menemuinya dan melaporkan perbuatan kalian."
Ancaman itu membuat mereka goyah. Ketakutan menyelimuti raut wajah mereka, bagaikan anak kecil yang tertangkap basah mencuri buah di halaman istana.
"M-maafkan kami, Nona Alana. Kami bersumpah tak akan mengulanginya lagi."
"Baiklah. Aku maafkan kali ini."
Alana menurunkan sedikit tekanannya, namun sorot matanya masih menyala.
"Namun jika lain kali kudapati kalian kembali bersikap sombong dan merendahkan orang lain, maka akulah yang akan menghajar kalian."
Saat itu, Alana melepas aura pembunuh nya dingin, tajam, dan tak berbelas kasih. Aura itu menyelimuti udara seperti kabut neraka yang tak kasat mata, membuat lutut para murid inti gemetaran. Bahkan ketiga pemuda dari keluarga cabang hanya bisa terpaku, bertanya-tanya dalam diam: siapa sebenarnya gadis ini? Mengapa para murid inti begitu takut padanya?
(Aura pembunuh tidak dimiliki sembarang orang. Seorang kultivator hanya dapat memilikinya setelah menumpahkan darah dan jiwa dalam jumlah yang tak terhitung. Namun berbeda dengan Alana ia sendiri pun tak mengerti mengapa aura itu telah lama menetap dalam dirinya. Seolah dirinyq telah dilahirkan dalam pelukan kegelapan...)
Setelah para murid itu pergi dengan kepala tertunduk, Alana mendekati ketiga pemuda yang masih berdiri kebingungan.
"Hei, kenapa kalian diam saja seperti patung?"
Ucapannya mengejutkan mereka.
"Ah! Maafkan kami, Nona. Terima kasih telah menolong kami dari perlakuan mereka tadi," ucap salah satu dari mereka penuh rasa syukur.
"Perkenalkan, nama saya Fu Lin, dan ini kedua adik saya: Xuan Ye dan Mian Ning. Kami berasal dari keluarga cabang kedua yang bermukim di Kekaisaran Liu," katanya sambil membungkuk hormat.
"Salam hormat, Nona Alana," ucap Xuan Ye dan Mian Ning serempak.
Alana tersenyum tipis.
"Oh, dari keluarga cabang kedua rupanya. Senang bertemu kalian. Aku pamit dulu."
Ia pun melangkah pergi, menyisakan aroma bunga mawar yang tertiup angin pagi.
"Dia… sangat berbeda dari keluarga inti lainnya," gumam Xuan Ye.
"Dan sangat cantik. Entahlah, melihat Nona Alana… seperti melihat seorang dewi turun dari langit," tambah Mian Ning dengan wajah memerah.
"Dasar bodoh," Fu Lin menoyor kepala adiknya.
"Ayo, kita harus menyusul ayah."
---
Ketika Alana tiba di gedung utama, ruangan itu telah dipenuhi oleh para tamu dari keluarga cabang. Deretan kursi terisi rapi, para perwakilan berdiri dengan penuh wibawa. Lima murid inti yang menjadi perwakilan menyambut kedatangannya.
"Selamat pagi, Nona Alana," sapa mereka dengan senyum dan kekaguman yang tak bisa disembunyikan.
"Selamat pagi," jawab Alana lembut, senyumnya membuat jantung mereka berdetak lebih cepat dari biasanya seakan musim semi baru saja mekar di hati yang beku.
Tanpa banyak bicara, Alana melangkah masuk ke aula besar. Langkahnya tenang namun penuh karisma. Mata-mata dari berbagai penjuru menatapnya heran. Beberapa bahkan saling berbisik ketika melihatnya menuju panggung utama.
"Siapa dia? Mengapa dia berjalan ke sana?"
Bisik keluarga cabang yang tak mengenalnya.
Fu Lin pun mengerutkan kening.
"Mengapa dia tak duduk bersama para murid lainnya?"
Dengan tenang, Alana mendekati kursi yang bertuliskan nama ayahnya salah satu ketua utama dan duduk di sana. Keheningan menyelimuti ruangan. Ketegangan mulai terasa, hingga akhirnya suara lantang memecahnya.
"Hei! Gadis rendahan sepertimu tidak pantas duduk di sana! Kau seharusnya berada di gudang!"
Bentak ketua kedua dengan nada penuh penghinaan.
Suasana mendadak mencekam. Para tamu yang tak paham duduk diam, tak berani ikut campur. Mereka hanya keluarga cabang tak punya kuasa melawan untuk itu
Namun Alana hanya tersenyum tipis, senyum yang membungkus tajamnya hinaan.
"Jadi... kau menghina anakmu sendiri?"
Suara Alana tenang, namun kata-katanya mengiris lebih tajam dari belati.
"Kurang ajar! Aku akan membunuhmu!"
Ketua kedua tak mampu menahan amarahnya. Ia melepaskan aura pembunuhnya, menghantam ruangan dengan tekanan yang menusuk paru.
Tapi Alana masih tersenyum. Kali ini senyumnya berubah... bukan lagi lembut, melainkan menakutkan.
Dalam sekejap, mata Alana berubah—dari coklat muda menjadi perpaduan biru menyala dan merah membara. Rambutnya berubah menjadi ungu pekat, berkilau seperti malam tanpa bulan. Lalu… ia melepaskan aura kematian.
Udara menjadi berat. Napas tersendat. Semua yang berada di sana merasakan seolah jantung mereka berhenti berdetak. Keringat dingin mengalir tanpa henti. Aura itu bukan sekadar ancaman itu adalah perwujudan kematian yang berjalan di hadapan mereka.
Ketua kedua dan ketiga terduduk lemas, tubuh mereka gemetar hebat seperti sehelai daun yang dilanda badai. Sementara Alana masih duduk dengan anggun, seolah badai yang ia timbulkan hanyalah bisikan angin baginya.
"Kau ingin melawan aku? Apakah kau pantas?"
Sarkasme itu meluncur dari bibir Alana, tajam dan menusuk, seperti pisau tipis yang menggores tanpa meninggalkan darah—namun membekas hingga ke dasar hati.
Ia menarik kembali aura kematian-nya perlahan, dan dalam sekejap, penampilannya kembali seperti semula. Rambut ungu pekat berubah menjadi hitam legam, mata merah dan biru yang menyala laksana bintang jatuh di malam gulita kini kembali bersinar lembut seperti embun pagi.
Semua orang yang semula dicekam ketakutan akhirnya bisa menghela napas meski berat, seolah paru-paru mereka baru saja dibebaskan dari belenggu yang tak kasat mata. Namun, ketegangan tetap menggantung di udara. Diam-diam mereka tahu... badai belum benar-benar pergi.
"Aura yang tadi... berbeda. Lebih gelap, lebih mengerikan. Seolah kematian sendiri hadir di ruangan ini sepuluh kali lipat lebih nyata," ujar Fu Lin pelan, memandangi kedua tangannya yang masih gemetar hebat, tak mampu ia kendalikan.
Ruangan menjadi sunyi. Terlampau sunyi. Tak seorang pun berani bergerak, bahkan untuk sekadar menggeser duduk. Mereka takut, takut jika satu gerakan keliru akan membangunkan amarah gadis yang kini bersandar tenang di kursinya, matanya terpejam seolah dunia ini tak lagi menarik untuk dilihat.
Tak lama kemudian, langkah-langkah berat terdengar dari arah pintu utama. Seolah menyayat lantai, menandakan kehadiran seseorang yang penting. Para hadirin sontak berdiri, menunduk dengan penuh hormat. Wajah-wajah mereka masih menegang, namun kewajiban menyambut tak bisa diabaikan.
Pemimpin Klan King akhirnya tiba. Tatapannya menyapu ruangan, lalu berhenti pada satu titik: seorang gadis muda yang tak berdiri, tak menunduk, tak menunjukkan hormat sedikit pun. Ia hanya… tidur dengan tenang, seolah tak ada seorang pun yang berarti di matanya.
Suara bisik-bisik kembali terdengar.
"Gila... kenapa dia begitu tidak sopan?"
"Dia tak tahu siapa yang datang?"
"Walaupun dia kuat, tapi pemimpin klan sudah di tingkat Pendekar Raja tujuh... sedangkan dia mungkin baru Petarung Raja tingkat satu."
Keringat dingin mulai membasahi pelipis para tamu undangan. Keangkuhan Alana dianggap keterlaluan.
Namun sang pemimpin klan hanya memandangi gadis itu dengan pandangan penuh muak.
"Gadis sampah itu… dari dulu sampai sekarang tetap menyebalkan," gumamnya. Ia melepaskan aura pembunuh miliknya yang sangat kuat, lalu melesat cepat, menghentak tanah hingga sebagian panggung bergetar hebat.
"Hei, gadis buta! Apa kau tidak bisa melihat siapa yang datang? Kau seharusnya mati saja!"
Bentakan pemimpin klan memekik seperti kilat di langit mendung.
Namun Alana hanya membuka matanya perlahan. Dalam tatapannya, tak ada ketakutan. Hanya kehampaan... dan kejenuhan.
"Untuk apa aku menghormati orang sepertimu?"
Ucapannya tenang, namun efeknya bagai gempa di dasar lautan tak terlihat, tapi siap menghancurkan segalanya.
"Sepatutnya aku membunuhmu sejak dulu! Anak bodoh tak tahu diri! Kau hanya gadis dengan kekuatan seujung kuku tapi berani menantangku!"
Alana bangkit dari duduknya, pelan, anggun, namun penuh amarah yang mulai mendidih.
"Pecundang sepertimu tidak pantas menjadi pemimpin klan. Aku heran mengapa para pendahulu menunjukmu. Egois. Tamak. Tak pernah peduli pada rakyat, hanya pada kekuasaan."
Sekali lagi, perubahan terjadi. Aura Alana meledak. Mata merah dan biru kembali bersinar, rambutnya berubah menjadi ungu pekat seperti malam tanpa bintang. Aura kegelapan meliuk dari tubuhnya, menari-nari seperti roh penasaran yang haus darah.
Pemimpin klan terkejut. Tubuhnya refleks mundur setapak.
"I-Ini… gadis ini... dirasuki iblis?"
Ketua kedua dan ketiga yang merasa dipermalukan sejak awal segera bangkit, berdiri di sisi pemimpin klan.
"Dengan bergabungnya pemimpin klan, kita bisa menghancurkannya," bisik mereka yakin.
"Sepertinya kalian ingin mati bersama orang bodoh ini," ucap Alana, tersenyum miring. Senyuman yang membuat darah membeku.
"Jaga ucapanmu, bocah!"
Tanpa aba-aba, ketiganya menyerang. Aura mereka membentuk badai energi. Serangan gabungan itu meledak di panggung utama. Tanah berguncang, tiang-tiang patah, dan debu mengepul menutupi pandangan.
Semua terdiam. Mereka berpikir… Alana telah hancur. Tak mungkin gadis itu selamat dari serangan dahsyat seperti itu.
Bahkan Ketua Keempat ikut terpental karena efek ledakan. Untung ia cepat membentuk perisai qi sebelum tubuhnya menghantam tembok.
Dari sudut ruangan, King Yuna tersenyum puas.
"Bahkan Kaisar Long pun tak akan selamat dari serangan itu," ucapnya pelan, penuh kepuasan.
"Itulah akibat menentangku, pemimpin Klan King!"
Kata pemimpin klan dengan suara lantang dan penuh kemenangan.
Namun, saat debu perlahan hilang… tak ada jasad. Tak ada darah. Tak ada tulang. Hanya kehampaan.
"Kau begitu bangga dengan kemampuan sampahmu itu?"
Suara dingin itu terdengar dari arah pintu masuk.
Mereka semua menoleh. Alana berdiri santai, bersandar pada kusen pintu. Entah sejak kapan ia berada di sana.
"T-Tidak mungkin! Bagaimana bisa kau masih hidup?!"
Teriak pemimpin klan, wajahnya pucat pasi.
"Itu yang kalian sebut serangan gabungan? Hah, aku bahkan tak perlu bergerak," ejek Alana, lalu menarik keluar pedang hitam dari dimensi gelap. Pedang itu memancarkan aura yang pekat dan berat—seperti membawa kematian bagi siapa pun yang memandangnya.
"Kau akan menyesali semua yang telah kau lakukan, pemimpin klan."
Dalam sekejap, ia melesat seperti kilat. Belum sempat pemimpin klan merapal jurus, suara mengerikan terdengar kepalanya terlepas dari tubuh, menggelinding dengan mata yang masih membelalak tak percaya.
Keheningan menyelimuti aula.
Semua mata membelalak, napas tercekat. Seorang gadis muda membunuh pemimpin klan hanya dengan satu tebasan… dan mereka bahkan tak bisa melihat bagaimana ia bergerak.
Alana berbalik, menatap kedua ketua yang tersisa. Keduanya sudah berlutut, tubuh gemetar, wajah penuh keringat.
"Ampuni kami, Nona... kami… kami yang buta ini, tak bisa melihat betapa tingginya langit dan dalamnya lautan," ucap mereka dengan suara gemetar.
Alana menatap mereka tanpa emosi. Di matanya, mereka bukan musuh. Bukan pula korban. Hanya debu... yang tak layak diberi simpati.
"Baiklah, aku akan memaafkan kalian," ucap Alana pelan, namun penuh wibawa. Tatapan matanya tak lagi membara seperti api neraka, tapi tetap menusuk dan tajam. "Namun, kalian tetap akan menerima hukuman… karena kalian telah memilih diam di hadapan kejahatan."
Suara Alana menggema, seolah langit pun mendengarkan. Di balik ketegasan itu, ia bisa merasakan ketulusan dalam penyesalan mereka penyesalan yang terpancar dari mata yang nyaris kehilangan harapan. Maka ia pun melunak, sedikit saja.
"Apapun itu, Nona… kami akan menerimanya tanpa ragu," jawab mereka serempak. Suara mereka lirih, namun penuh tekad. Mereka bahkan siap jika harus kehilangan akar spiritual mereka—harga paling berharga dalam hidup para kultivator.
Alana mengangguk pelan. Angin berdesir lembut, seolah menyampaikan pesan bahwa langit pun menyaksikan keadilannya.
"Kalian akan dihukum enam bulan penjara," ucapnya tegas, "karena telah ikut melindungi kejahatan pemimpin klan. Namun, hukuman ini bukan untuk menyiksa—melainkan untuk menebus dosa yang telah kalian tutupi."
Ketua keempat segera maju setelah mendapat perintah, wajahnya tampak lega karena diberi kepercayaan langsung oleh Alana. Ia pun membawa kedua ketua yang telah berlutut itu menuju penjara klan. Mereka berjalan dengan kepala tertunduk, tak ada protes, hanya penyesalan yang dalam.
Sementara itu, di bangku undangan, King Yuna dan King Xian duduk terpaku. Meski mata mereka mengarah pada panggung, pikiran mereka berkelana ke masa lalu yang penuh noda.
"Aku… entah kenapa merasa malu," gumam King Yuna, suaranya nyaris seperti bisikan angin.
"Begitu banyak dosa yang kulakukan padanya… dan dia bahkan tak membalas dendam sepenuhnya."
King Xian hanya diam. Hatinya seperti dipukul ombak kesadaran yang tak henti menghantam. Mereka menyadari satu hal: keagungan bukan hanya tentang kekuatan, tapi tentang keadilan dan kasih yang terbungkus dalam kebijaksanaan.
Alana perlahan melompat ke panggung tertinggi, gaunnya berkibar seperti kelopak bunga musim semi yang diterpa angin lembut. Dari tempat tinggi itu, ia menatap mereka semua—tatapan pemimpin sejati, dingin namun berwibawa.
"Dengarkan baik-baik," ucapnya lantang. Suaranya bagaikan genderang perang yang membangunkan semua kesadaran. "Karena pemimpin klan telah mati, maka akan ada kekosongan dalam kursi kekuasaan. Tapi kalian tak perlu khawatir… karena aku sendiri yang akan memilih penggantinya. Seseorang yang layak, yang bisa membawa keadilan dan harapan."
Ia berhenti sejenak. Udara menjadi berat, namun bukan karena tekanan—melainkan karena setiap kata Alana menyusup ke relung hati mereka yang terdalam.
"Apakah ada yang tidak setuju?" tanyanya tajam.
"Tidak, Nona! Kami sepenuhnya setuju!" seru seluruh keluarga cabang serempak. Suara mereka menggema, memantul pada dinding aula, menggetarkan lantai dan langit-langit.
"Baiklah. Aku mohon maaf jika pertemuan kali ini terasa kacau," lanjut Alana, nadanya lebih lembut, seperti embun pagi yang menyentuh dedaunan.
"Tidak, Nona," ucap seorang pria dari keluarga cabang, "Kami justru bersyukur. Pemimpin yang telah mati itu tak pernah mempedulikan kami. Dengan kematiannya, kami merasa seperti mendapatkan kembali kebebasan yang telah lama direnggut."
Anggukan dan bisikan setuju terdengar dari berbagai penjuru.
"Kalau begitu, kalian boleh kembali ke klan masing-masing. Jika aku telah menemukan calon pemimpin yang layak, aku akan memanggil kalian kembali," tutup Alana.
Satu per satu mereka berdiri dan meninggalkan tempat itu. Ada yang menoleh sekali lagi, menatap sosok gadis muda yang kini terlihat seperti dewi sekaligus iblis dalam satu wujud. Sosok yang tak akan mereka lupakan seumur hidup.
Tiga bersaudara itu berjalan pergi dengan perasaan campur aduk. Mereka tak menyangka bahwa gadis cantik, dengan wajah semanis rembulan di malam purnama, bisa berubah menjadi pengadil yang begitu mengerikan.
Setelah semua undangan pergi, Alana menghampiri mayat sang pemimpin klan yang terkapar tanpa kepala. Ia menatap tubuh itu sejenak, lalu mengangkat tangan. Api biru dan merah menyatu, menyelimuti tubuh itu dalam kobaran suci. Dalam hitungan detik, tubuh itu tak lagi meninggalkan jejak—hanya abu yang terbang tinggi, seperti dosa yang dihapuskan oleh langit.
"Semoga jiwa gelapmu menemukan tempatnya," gumam Alana pelan.
Ia pun berjalan meninggalkan bangunan itu. Langkahnya tenang, meski kekuatannya masih bergetar di udara. Ia menuju paviliunnya untuk beristirahat bukan karena lelah fisik, tapi karena jiwa yang menanggung luka lama kembali terbuka.
Namun, Alana tahu… ini baru permulaan dari pertarungan yang jauh lebih besar. Karena di dunia yang keras ini, keadilan tak pernah datang tanpa pertumpahan darah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments