“Sialan! Sudah hampir dua hari, namun orang sewaan itu tak kunjung datang membawa kabar,” desis King Yuna sambil mondar-mandir di ruangannya. Napasnya memburu, kemarahan memenuhi dadanya seperti api yang tak menemukan udara untuk padam.
Wajahnya tampak tegang, sorot matanya gelap menatap lantai yang tak bersalah. Langkah-langkahnya keras, menorehkan kegelisahan yang memuncak.
“Ada yang tak beres... sudah seminggu ini aku tak melihat jalang itu berkeliaran di sekitar klan,” batinnya, kecurigaan mulai menjalar seperti racun yang menyusup pelan ke pembuluh darah.
"Apakah dia sudah mati? Atau... sedang merencanakan sesuatu? Balas dendam, mungkin?"
Ingatan tentang gadis itu Alana kembali membayang. Sejak kecil, Alana tak pernah absen ke perpustakaan, meski harus melewati hari-hari dengan cemoohan dan pukulan. DIa selalu datang, selalu membaca, seolah buku adalah satu-satunya pelukan hangat dalam hidupnya yang dingin.
Wajah King Yuna mengeras, rahangnya mengatup rapat.
“Sialan... awas saja kau. Aku akan membuatmu menyesal karena telah mempermalukanku di depan para murid,” ucapnya sambil mengepalkan tangan. Rasa malu dari kejadian itu masih menghantui egonya, seperti luka yang belum mengering meski waktu terus berjalan.
Namun jauh dari sana di tempat sunyi antara realita dan kesadaran,Alana masih tenggelam dalam meditasi yang telah berlangsung hampir dua hari. DIa duduk bersila di tengah hamparan bunga mawar api dan es, dua elemen yang seharusnya bertentangan namun justru tumbuh berdampingan dengan subur di alam bawah sadarnya. Tempat itu seperti dunia lain, sebuah surga yang diciptakan oleh jiwa yang pernah tersakiti, lalu bangkit dan menjelma jadi kekuatan yang agung.
Energi dari bunga-bunga itu mengalir masuk ke dalam tubuhnya—merambat pelan seperti aliran sungai tenang yang menyimpan badai di dasarnya.
Tiba-tiba, dantiannya bergetar hebat. Lonjakan energi terasa begitu kuat hingga mengguncang keseimbangan dalam tubuhnya.
“Sepertinya... aku akan menerobos,” batin Alana. Ia segera memusatkan seluruh Qi ke akar spiritualnya, memperkuat aliran yang kini membuncah seperti air bah yang menerjang bendungan.
Lalu, ledakan energi terjadi. Cahaya merah dan biru menyelimuti tubuhnya, membentuk pusaran kekuatan yang dahsyat. Ia berhasil menerobos ke Petarung Raja tingkat enam... namun proses itu tak berhenti di sana. Tanpa jeda, energi terus mengalir liar, menembus lapisan demi lapisan penghalang spiritual.
Tingkat tujuh… delapan… sembilan!
Dalam hitungan menit, Alana telah menembus empat tingkat sekaligus sesuatu yang nyaris mustahil bahkan bagi kultivator dari Alam Dewa.
DIa membuka matanya perlahan, hampir tak percaya. “Apakah ini... keberkahan semesta? Atau takdir baru yang sedang ditulis ulang untukku?”
Namun kegembiraannya terputus seketika saat tubuhnya kembali bergetar. Kali ini lebih hebat lebih dalam.
“Tak mungkin... apakah aku akan menerobos ke tingkat Petarung Dewa... secepat ini?” Suaranya tercekat, tapi tekadnya tak goyah.
Alam bawah sadar bergetar, langitnya yang semula tenang kini dilanda badai. Tiga petir berwarna emas, berbentuk naga raksasa, muncul di angkasa spiritual. Mata mereka menyala, menatap Alana dari kejauhan seolah tak percaya bahwa gadis muda ini berani menantang kekuatan langit.
“Baiklah,” gumam Alana dengan suara mantap. “Aku sudah siap. Datanglah, petir penguji.”
Petir pertama menyambar cepat, mengarah langsung pada jiwanya. Ledakan terjadi. Tubuh Alana bergetar hebat, darah menetes dari hidungnya di dunia nyata. Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya, namun ia menggertakkan gigi dan tetap bertahan.
Petir kedua datang lebih ganas. Energinya dua kali lipat lebih kuat dari yang pertama. Alana menjerit.
“AAAAAHHH!”
Tubuhnya seperti disayat ribuan pisau dan ditindih oleh gunung dalam waktu bersamaan. Tapi dari dasar rasa sakit itu, dia menyalakan kembali nyala jiwanya, nyala yang tak mau padam.
“Ujian seperti ini... takkan menjatuhkanku. Datanglah... petir terakhir!” teriaknya dengan segenap jiwa, suaranya seolah menggema ke seluruh langit spiritual.
Petir ketiga turun. Wujudnya seperti harimau kelaparan, ganas dan buas. Dengan kekuatan tiga kali lipat, petir itu menyambar tubuh Alana hingga terpental. Jiwanya seperti hancur, tubuh spiritualnya nyaris lebur, otot-ototnya seperti tercerai berai. Tapi dengan sisa-sisa kekuatan yang ia miliki, Alana bangkit kembali. Ia duduk bersila, menutup mata, lalu fokus menyatukan kembali tubuh dan jiwa yang retak.
Di titik antara hidup dan mati, antara terang dan gelap... Alana memilih untuk berdiri.
Dan langit, untuk pertama kalinya, bergeming di hadapan seorang gadis.
___
Di dunia bawah, langit yang semula cerah perlahan berubah muram. Cahaya matahari yang kokoh ditelan awan gelap, seperti harapan yang ditutupi kabut kesedihan. Petir mengaum bersahut-sahutan, menyambar langit seolah menyampaikan pesan ilahi. Badai besar pun melanda, mengguncang cakrawala. Fenomena ini bukanlah hal asing ia telah menjadi pertanda yang dikenal sejak lama: seseorang tengah menerobos ke tingkat Petarung Dewa dari dunia bawah.
Kehebohan pun menyebar luas ke empat kekaisaran. Setelah puluhan tahun yang sunyi, langit kembali berbicara. Fenomena agung itu adalah tanda kelahiran kekuatan baru, yang mampu mengguncang tatanan dunia yang selama ini stagnan dan beku oleh aturan lama.
“Sepertinya... seseorang telah berhasil menembus batas itu,” ucap seorang lelaki paruh baya dengan tatapan tajam menembus langit kelam. Ia berdiri di atas tebing tinggi, jubahnya berkibar tertiup angin. “Namun, siapa dia? Setahuku, tak ada satu pun dari dunia bawah yang mampu mencapai lebih dari Petarung Raja tingkat delapan. Hanya ada tiga orang yang pernah menembus batas itu, dan kini mereka telah tinggal di Alam Dewa.”
Langit terus bergemuruh, seakan merayakan atau justru mengutuk kelahiran kekuatan baru itu.
Bukan lagi rahasia bila seseorang berhasil mencapai tingkat Petarung Dewa, maka ia telah memenuhi salah satu syarat utama untuk memasuki Alam Dewa. Sebuah perjalanan yang telah ditetapkan oleh ruang dan waktu, disiapkan oleh nasib yang membisikkan takdir di telinga mereka yang terpilih.
“Akan lahir seorang kultivator hebat, yang telah ditakdirkan untuk mengubah dunia yang kacau ini menjadi sesuatu yang lebih baik... atau lebih buruk.” Seorang lelaki tua berambut putih berdiri di puncak gunung bersalju. dia menatap langit dan tersenyum samar, seolah melihat masa depan yang hanya bisa dia tafsirkan. “Suatu saat nanti, kita akan bertemu, siapapun kau adanya…”
Setelah ucapannya itu, sosok lelaki tua itu menghilang, dibawa angin seperti mimpi yang belum selesai. Tak ada yang tahu siapa dia apakah dia malaikat penuntun atau iblis penyamar? Kita hanya bisa menunggu jawaban waktu.
---
Sementara itu, jauh di istana kegelapan, Raja Zeus duduk di singgasananya yang megah, dikelilingi tumpukan dokumen dan laporan dari seluruh penjuru wilayah. Namun seketika, dia menghentikan aktivitasnya. Matanya menyipit, bibirnya membentuk senyum tipis.
Dari auranya, ia tahu persis siapa yang baru saja berhasil menerobos ke tingkat Petarung Dewa.
“Tak kusangka... dalam waktu kurang dari satu tahun, kau mampu mencapai tahap itu. Entah karena keberuntunganmu, atau memang takdirmu begitu mengagumkan,” gumamnya pelan, suara dalamnya menggetarkan ruang.
“Baiklah, aku akan menanti kejutanmu berikutnya,” lanjutnya sebelum kembali fokus pada dokumen-dokumen di hadapannya.
---
Alana masih duduk bersila. Matanya terpejam, napasnya perlahan. Ia mencoba membiasakan diri dengan kekuatan barunya. Rasa sakit yang tadi mendera mulai mereda, seolah tubuhnya perlahan berdamai dengan energi yang luar biasa besar.
Dengan tenang, dia kembali ke alam sadar dan membuka matanya. Pandangannya bersih dan jernih seperti permukaan danau saat pagi hari. Tubuhnya terasa ringan, seperti tidak lagi terikat oleh batas manusia biasa.
“Apakah ini... kekuatan Petarung Dewa?” bisiknya kagum, suara lirih yang hampir menyatu dengan angin.
Senyum kecil terlukis di wajahnya. Tapi senyum itu bukan senyum ramah, melainkan senyum dingin, tajam, dan penuh tekad.
“Dua hari lagi... pertemuan klan akan diadakan. Aku tidak akan melepaskan kalian begitu saja,” gumamnya, suaranya penuh ancaman dan kepastian. Senyum itu membuat bulu kuduk berdiri, bahkan bagi mereka yang tak berada di dekatnya.
Di tempat lain, pemimpin klan yang tengah mempersiapkan diri tiba-tiba merasakan merinding. dia memegang dadanya, detak jantungnya menjadi tak karuan.
“Sial... kenapa aku tiba-tiba merasa takut?” umpatnya, namun ia memilih untuk mengabaikannya dan kembali berkonsentrasi mempersiapkan pertemuan klan.
---
Sementara itu, Alana berdiri perlahan. DIa menyentuh lengannya sendiri, seolah memastikan bahwa tubuh barunya benar-benar miliknya. Lalu dia tersenyum dan berkata, “Sepertinya aku harus mandi dan sedikit berjalan-jalan. Sudah terlalu lama aku tidak berkeliling klan ini.”
alana berjalan ke arah kamar mandi, dan beberapa saat kemudian keluar dengan gaun yang pernah ia beli beberapa hari lalu gaun berwarna biru muda dengan sulaman bunga di bagian dada, benang emas menyulam keindahan di setiap helainya. Gaun itu sangat cocok di tubuh Alana, menonjolkan kulitnya yang putih mulus seperti batu giok yang dipahat para dewa.
dia melangkah keluar dari kamar, langkahnya tenang namun anggun. Dan di sana di ujung lorong, pelayannya tampak sedang menyapu lantai, membelakanginya, tak menyadari bahwa sang tuan rumah yang kini berbeda telah berdiri di belakangnya.
“Ehem... ehem.”
Suara lembut Alana terdengar dari ambang pintu, mengejutkan sosok yang sedang menyapu lantai. Pelayannya, Bibi Ming, seketika menghentikan aktivitasnya dan perlahan membalikkan badan. Matanya membelalak, terpesona pada sosok yang kini berdiri di hadapannya.
DIa memandangi Alana dari ujung kaki hingga ujung rambut, seolah tak percaya pada perubahan luar biasa yang dilihatnya. Wajah itu... anggun dan bersinar, seperti bunga sakura yang mekar dalam kabut fajar.
Untuk sesaat, waktu terasa berhenti. Bibi Ming terdiam, terpaku oleh aura yang terpancar dari Alana sebuah keanggunan yang tak pernah dia lihat sebelumnya, bahkan saat Alana masih berada dalam masa pelatihan.
Melihat Bibi Ming hanya mematung dan menatapinya tanpa suara, Alana mulai merasa canggung. Ia sempat melirik pakaiannya, bertanya-tanya dalam hati: "Apakah ada yang salah dengan gaunku?"
“Bibi… halo?” sapanya pelan, suaranya sehalus desir angin pagi.
Sapaan itu membuyarkan lamunan Bibi Ming. dia tersentak sadar, lalu tanpa menahan rasa rindu yang menyesak, segera berlari dan memeluk Alana erat-erat.
“Nona... akhirnya Nona selesai juga dari pelatihan tertutup. Bibi sangat merindukanmu,” ucap Bibi Ming dengan suara bergetar, matanya berkaca-kaca. Pelukan itu hangat, penuh cinta tulus dari seorang yang telah lama setia melayani.
“Iya, Bibi. Tapi... lepaskan dulu pelukannya, aku hampir kehabisan napas,” balas Alana sambil terkekeh kecil. Suaranya seperti nyanyian lembut yang menyentuh sanubari.
Mendengar itu, Bibi Ming buru-buru melepas pelukannya. Matanya menatap wajah Alana yang kini jauh berbeda dari dua bulan lalu. Wajah itu tampak bersih, halus, dan bercahaya, seperti batu giok yang diasah dengan tangan surgawi. Mungkin karena efek dari pil pemurni tubuh yang Alana konsumsi selama pelatihan... atau mungkin karena kekuatan dalam dirinya kini telah berkembang pesat, menyatu dengan jiwanya yang mulai dewasa.
“Nona… Anda terlihat begitu cantik,” puji Bibi Ming dengan tulus, senyum merekah di wajahnya.
“Ah, benarkah itu, Bibi?” tanya Alana sambil menyentuh pipinya sendiri, seolah tak percaya akan perubahan yang terjadi pada dirinya.
“Benar, Nona! Seperti bidadari yang turun dari langit,” jawab Bibi Ming penuh semangat.
Alana terkekeh kecil, lalu mengangkat dagunya angkuh sambil berkata, “Kalau begitu, apakah Bibi bisa membuatkan sarapan untuk nona yang cantik ini?”
Dengan senyum geli, Bibi Ming mengangguk. Tanpa menunggu perintah kedua, ia langsung bergegas menuju dapur, meninggalkan Alana yang kini melangkah ke ruang makan dengan santai.
Saat duduk, Alana menatap kosong ke arah jendela. Cahaya matahari pagi menerobos tirai, menyinari wajahnya yang tenang namun menyimpan kesedihan dalam. Dalam benaknya, sebuah nama terukir ayah.
“Bagaimana kabar Ayah di sana...? Semoga Ayah baik-baik saja…” bisiknya lirih.
Di kehidupan masa lalunya, Alana kehilangan sang ayah saat usianya baru menginjak delapan tahun. Trauma itu membekas seperti luka yang tak pernah sembuh. Tapi di kehidupan yang sekarang... Dia tidak akan membiarkan hal itu terulang. Tidak lagi. Ia harus menjadi lebih kuat lebih kuat dari siapa pun.
Bahkan jika keempat Kaisar bersatu sekalipun... mereka tidak akan bisa menjatuhkanku, batinnya penuh tekad.
Namun entah mengapa, di balik semua kekuatan yang telah ia peroleh, perasaan tak puas itu masih menghantui hatinya. Seolah kekuatan yang dia miliki belumlah cukup untuk melindungi semua yang ia cintai.
Tak lama kemudian, Bibi Ming kembali datang membawa nampan besar. Aroma harum dari makanan yang dibawanya membuat perut Alana berdesir.
“Ini makanannya, Nona. Kalau begitu, saya pamit dulu. Masih banyak yang harus saya kerjakan,” ucap Bibi Ming sembari meletakkan hidangan di meja.
“Terima kasih, Bibi,” balas Alana sambil tersenyum hangat.
Tanpa ragu, ia segera menyantap makanan itu dengan lahap. “Sudah tiga hari aku tidak memakan apa pun,” gumamnya sambil mengunyah, wajahnya penuh kenikmatan.
Setelah semua habis, Alana berdiri dan berjalan kembali ke kamarnya. Sebenarnya, ada keinginan dalam dirinya untuk keluar dan melihat-lihat sekitar klan melihat bagaimana dunia luar menyambut dirinya yang baru. Tapi tubuhnya masih terasa letih, sisa dari badai petir penguji yang nyaris menghancurkannya.
“Lebih baik aku beristirahat sejenak,” ucapnya pelan. Ia lalu membaringkan tubuhnya ke atas tempat tidur.
Kasur empuk itu menyambutnya seperti pelukan ibu yang lama dirindukan. Dengan perlahan, Alana memejamkan matanya. Detak jantungnya perlahan melambat. Nafasnya teratur, dan tubuhnya mulai tenggelam dalam kehangatan tidur.
Di balik kelopak matanya yang terpejam, langit yang tadi bergemuruh kini berubah menjadi lautan bintang membisikkan takdir baru yang tengah menantinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments