MENJADI SAUDARA

Alana kini berdiri di hadapan paviliun utama, tempat ayah dan dirinya biasa beristirahat. Angin pagi berembus lembut, membawa aroma bunga pinus yang masih basah oleh embun. Saat jemarinya mendorong daun pintu, suara berderit lirih menyambut kedatangannya dan begitu pula sosok King Kinzo yang langsung memeluknya dengan erat.

Pelukannya hangat, sehangat pelukan matahari pertama setelah badai panjang.

"Alana... Anakku," ucapnya dengan nada lega, namun tersirat kecemasan di balik matanya yang jernih.

"Sejak kapan ayah kembali? Bukankah seharusnya ayah masih menjalankan misi di wilayah selatan?" tanya Alana, menatap ayahnya dengan dahi berkerut.

King Kinzo menghela napas pelan. "Ayah sengaja menyelesaikannya lebih cepat... karena khawatir padamu. Tapi sudahlah, kita bicarakan ini di dalam. Ada beberapa hal yang ingin ayah tanyakan."

Tanpa menunggu jawaban, King Kinzo menggenggam tangan putrinya dan membawanya ke ruang tengah. Langkah mereka menyusuri lorong paviliun bagai dua bayangan yang menyatu dalam cahaya remang pagi.

Mereka duduk saling berhadapan di atas kursi kayu berukir. Di meja antara mereka, teh hangat mengepul dalam keheningan yang tegang.

"Apa yang ingin ayah tanyakan, Ayah?" tanya Alana perlahan.

King Kinzo menatap wajah putrinya dengan pandangan yang berubah serius. Pandangan seorang ayah yang bingung antara bangga dan khawatir.

"Sebenarnya ayah pulang bukan karena misi itu telah selesai… tapi karena tadi pagi, Ketua Keempat menghubungi ayah melalui telepati. dia mengatakan bahwa kau... membunuh pemimpin klan."

Wajah Alana membeku.

"Yang menjadi pertanyaan ayah bukan hanya itu. Tapi… bagaimana mungkin dalam waktu dua bulan, kau menjadi sekuat ini? Dan bagaimana mungkin akar spiritualmu terbuka… padahal dahulu, bahkan puluhan tabib terbaik menyerah sebelum menyentuh tubuhmu?"

Suara King Kinzo dalam dan pelan, namun mengandung badai pertanyaan yang mengguncang hati.

Alana terdiam. Hatinya seperti awan yang disambar petir bingung harus menjawab dari mana. dia tahu, tak semua kebenaran bisa diucapkan dengan ringan.

"Jadi... Ayah tidak marah karena saya membunuh pemimpin klan?" tanyanya ragu, mengira akan ada kekecewaan.

King Kinzo menghela napas. "Tidak, Alana. Ayah akan selalu mendukungmu. Ayah tahu, kau tidak akan membunuh kecuali karena alasan yang benar. Dan pemimpin klan itu... sudah melampaui batas. Kau hanya menjadi pedang bagi keadilan."

Alana tersenyum tipis, senyum yang mengandung luka dan keteguhan.

"Untuk pertanyaan kedua... saya tidak tahu pasti, Ayah. Ketika saya berlatih, akar spiritual itu... terbuka dengan sendirinya." Ucapannya adalah kebohongan yang dibungkus rapi, namun dia tak tega mengungkapkan kebenaran yang mungkin akan membuat sang ayah takut.

Untunglah, King Kinzo mempercayainya.

"Benarkah, putriku? Syukurlah... Ayah sempat berpikir kalau kau mungkin bersekutu dengan iblis demi kekuatan itu." dia menggeleng, lalu tersenyum sambil mengusap rambut Alana. "Maafkan ayah yang sempat berpikir buruk. Ayah seharusnya tahu… kau adalah cahaya dari darah dagingku yang terkuat, dan yang paling luar biasa."

"Tak apa, Ayah. Aku sudah memaafkan. Lagi pula… aku tidak pernah gila akan kekuatan. Aku hanya ingin cukup kuat… untuk tidak menjadi lemah."

"Bagus," ucap King Kinzo sambil berdiri. "Kalau begitu, ayah akan ke kamar untuk beristirahat. Kau juga, istirahatlah, putriku."

"Baik, Ayah."

Mereka pun berpisah menuju kamar masing-masing. Namun malam itu, tubuh Alana mungkin beristirahat, tetapi jiwanya tidak.

Saat dia duduk bersila di atas tempat tidurnya, alana memasuki alam bawah sadar sebuah dimensi sunyi tempat energi berkumpul seperti kabut di lembah mimpi. Di sanalah Alana kembali menyerap kekuatan dari Bunga Mawar Api dan Es. Energinya berkilau, menari di sekeliling tubuhnya, membentuk pusaran cahaya merah dan biru.

DIa bermeditasi hingga fajar menyingsing, menyatu dengan semesta dan melepaskan segala bentuk ketakutan. Saat membuka matanya, dunia telah disinari cahaya mentari yang tinggi, menandakan siang hampir tiba.

Alana bangkit, membasuh wajah, lalu mengganti pakaiannya. Gaun barunya berwarna putih bersih, dihiasi sulaman perak seperti es yang membeku di kelopak mawar.

DIa keluar dari kamar, lalu melihat Bibi Ming sedang menyusun sarapan di meja.

“Selamat pagi, Nona. Apakah ingin sarapan sekarang? Saya sudah menyimpannya,” sapa Bibi Ming hangat.

“Selamat pagi, Bibi. Ayah sudah bangun?” tanya Alana.

“Belum, Nona. Sepertinya beliau masih kelelahan setelah hampir dua bulan menjalankan misi.”

“Baiklah. Kalau beliau bangun dan mencariku, katakan saja aku pergi ke pasar untuk berjalan-jalan.”

“Baik, Nona.”

Alana berjalan santai menuju gerbang utama klan. Di sepanjang jalan, murid-murid menunduk hormat padanya. DIa tidak menanggapi, namun juga tak memarahinya. gadis itu melanjutkan langkah, seperti angin lembut yang menyapu dedaunan.

Namun, langkahnya terhenti saat seseorang berdiri di tengah jalan

King Yuna.

Gadis itu menunduk, tubuhnya kaku, tak berani menatap mata Alana. Namun saat Alana hendak melewatinya, Yuna tiba-tiba mengangkat tangan dan menahan lengannya.

Mata mereka bertemu.

Tatapan Alana dingin, menyiratkan kemarahan yang tersembunyi. Apakah ini waktu untuk membalas dendam? Apakah Yuna ingin membuat perhitungan... karena ayahnya kini mendekam dalam penjara atas perbuatannya sendiri?

Tapi bukankah itu memang kesalahannya?

Di dalam hati Alana, badai kecil mulai terbentuk.

“Iya, kenapa kau menahan saya?” tanya Alana dengan nada santai. dia enggan merusak suasana hatinya hanya untuk menghajar gadis yang berdiri di depannya.

Namun, tanpa diduga, King Yuna justru berlutut di hadapan Alana. Suaranya bergetar, seperti embun pagi yang jatuh di tengah badai, menahan tangis yang membendung di pelupuk matanya.

“Nona Alana... maafkan semua kesalahan saya. Saya menyadari semua keburukan yang pernah saya lakukan padamu. Bahkan jika saya dihukum mati, rasanya itu pun belum cukup menebus dosa saya. Tapi... saya mohon, berilah saya kesempatan untuk berubah. Saya bersumpah akan memperbaiki sikap saya, selamanya…”

Suara Yuna serak, terisak-isak seperti anak kecil yang menyesali kenakalannya. Sesekali ia berjuang menahan agar ingusnya tak jatuh, membuat Alana menahan tawa. Bukan karena mengejek, tapi karena pemandangan itu terlalu jujur dan lucu dalam kesedihannya.

Dengan lembut, Alana meraih tangan Yuna dan membantunya berdiri.

“Aku sudah memaafkanmu, Jeje. Jadi tak usah menangis lagi,” ucapnya menenangkan. Matanya menatap lurus ke dalam mata Yuna yang memerah, dan di sana ia bisa melihat penyesalan yang tulus, seputih salju pertama di ujung musim gugur. Alana tahu... setiap orang berhak mendapat kesempatan kedua. Lagi pula, ia sadar bahwa sampai detik ini, ia belum punya seorang pun yang bisa disebut sahabat.

Mendengar itu, King Yuna langsung memeluk Alana erat-erat. Dalam pelukan itu, terdengar suara-suara kecil... desahan lega, isakan bahagia, dan tentu saja, isapan ingus yang lucu.

“Terima kasih, Nona... karena telah memaafkan saya,” ucap Yuna sambil mengeratkan pelukannya.

“Baiklah, baiklah. Kalau Jeje tak segera melepaskan pelukanmu, aku cabut saja permintaan maaf tadi,” kata Alana pura-pura ngambek. Spontan Yuna langsung melepaskan pelukan itu, membuat Alana bisa bernapas lega.

“Jadi, Nona mau ke mana sekarang?” tanya Yuna, wajahnya penuh harap seperti anak kecil yang menunggu ajakan bermain.

“Aku mau jalan-jalan ke pasar. Dan satu hal lagi... aku tidak terlalu nyaman dipanggil 'Nona’,” jawab Alana, suaranya lembut tapi tegas.

Yuna mengerutkan dahi, bingung. “Lalu... aku harus memanggilmu apa?”

“Adik?” jawab Alana dengan senyum jahil.

Yuna terdiam, melongo sejenak, sebelum akhirnya tertawa kecil. “Jadi sekarang aku adikmu?”

Alana mengangguk semangat, lalu mencubit pipi Yuna hingga memerah.

“Aw, sakit Jeje…” Alana meringis sambil memelototi Yuna, yang hanya tertawa geli.

“Katamu mau ke pasar? Boleh aku ikut?” tanya Yuna penuh harap.

“Boleh saja. Akan lebih menyenangkan kalau kita pergi bersama,” jawab Alana.

Entah mengapa, meski ini pertama kalinya mereka berbincang, rasanya seperti dua sahabat yang telah bersama sejak kecil. Ada kehangatan yang baru tumbuh, seperti tunas muda setelah hujan pertama.

Mereka berjalan bersama menuju pasar yang tak jauh dari gerbang klan. Sepanjang perjalanan, murid-murid yang mereka lewati menunduk hormat, tapi Alana hanya membalas dengan senyuman tipis. Ia tak pernah menganggap itu penting. Baginya, hormat yang sejati bukan pada tunduknya kepala, melainkan pada tulusnya hati.

Sesampainya di pasar, udara dipenuhi aroma rempah dan tawa anak-anak. Suasana hiruk-pikuk itu entah bagaimana terasa hangat di hati Alana.

“Adik, apa yang ingin kau beli?” tanya Yuna sambil memperhatikan Alana yang tampak bingung memilih tujuan.

“Entahlah, Jeje. Tapi lebih baik kita jalan-jalan dulu... siapa tahu ada sesuatu yang menarik perhatian,” jawab Alana, matanya menatap kios-kios penuh warna yang memanggil seperti bintang-bintang kecil di tengah keramaian.

Tak lama, mereka tiba di sebuah toko pakaian yang menjual busana dari kain-kain mewah. Gaun-gaun bergantung anggun, seperti bunga-bunga langka yang hanya mekar di musim tertentu.

Alana menarik tangan Yuna. “Ayo masuk, aku ingin melihat-lihat gaun itu.”

Yuna menelan ludah. DIa tahu toko itu mahal. Walaupun klannya adalah klan terkuat nomor dua, dia hanya diberi uang seperlunya untuk kebutuhan sehari-hari.

Penyambut toko itu pun datang menghampiri dengan senyum ramah. “Selamat datang, Nona. Jika kalian mencari gaun berkualitas tinggi, kalian datang ke tempat yang tepat. Kami baru saja kedatangan koleksi terbaru dari para penjahit terbaik.”

“Baiklah, Bibi. Kami ingin melihat-lihat,” jawab Alana dengan sopan.

Mereka dibawa ke sebuah ruangan di mana berbagai gaun indah tersusun rapi. Yuna menatap kagum. Mata Yuna bersinar seperti anak kecil di toko permen, hanya saja kali ini yang membuatnya terpukau adalah sutra dan bordir keemasan.

“Jeje, pilihlah satu yang kau suka. Aku yang akan membayarnya,” kata Alana.

Yuna menoleh, terkejut. “Benarkah, Adik? Tapi... semua gaun ini pasti mahal…”

“Tenang saja. Adikmu ini mampu membayarnya,” jawab Alana sambil tersenyum menenangkan.

Dengan semangat, Yuna mulai memilih gaun. Senyumnya tak pernah hilang dari wajahnya. Sementara itu, Alana juga memilih satu gaun yang tadi mencuri perhatiannya gaun biru laut yang menjuntai seperti aliran sungai malam diterpa cahaya bulan.

Setelah selesai memilih, mereka menuju kasir.

“Jeje, kenapa hanya memilih satu gaun saja?” tanya Alana sambil menatap heran.

Yuna hanya melongo, belum menjawab...

“Ah, ini saja sudah cukup, Adik. Terima kasih atas gaunnya,” ucap Yuna sambil tersenyum, meski matanya tak lepas menatap tumpukan baju yang dipeluk Alana sampai hampir menutupi tubuh mungil gadis itu. “Kau mau membuka toko baju sendiri nanti di klan, ya?” godanya, geli melihat Alana seperti tumpukan pakaian berjalan.

Alana menoleh sambil tertawa kecil. Senyumnya selembut kelopak bunga yang terbuka oleh sinar mentari. “Karena semua bajuku yang lama sudah usang dan lusuh... aku memutuskan untuk membeli beberapa yang baru.”

Beberapa? Jika “beberapa” berarti hampir satu toko penuh.

Tak lama, pemilik toko kembali menghampiri mereka. DIa sempat terdiam, matanya melebar saat melihat Alana nyaris tenggelam di antara kain-kain mewah yang dibawanya.

“Apakah nona-nona ini sudah yakin dengan pilihan gaunnya?” tanyanya ramah, namun suaranya sedikit ragu, seakan khawatir mereka belum selesai mengosongkan tokonya.

“Sudah, Bibi,” jawab Alana lembut. Ia dan Yuna kemudian meletakkan semua baju pilihan mereka di atas meja kayu besar, hingga meja itu pun nyaris tak terlihat.

Pemilik toko menghitung cepat sambil sesekali mencatat, lalu akhirnya menatap mereka dengan mata berbinar. “Total semuanya... sepuluh ribu koin emas, Nona.”

Yuna membelalak, wajahnya seketika pucat seperti kain tanpa warna. “Sepuluh... sepuluh ribu?” ucapnya pelan, seperti tak percaya dengan angka sebesar itu. Ia menoleh pada Alana dengan tatapan penuh kecemasan, takut gadis itu keliru atau terlalu gegabah.

Namun Alana hanya tersenyum santai, seolah mendengar harga satu koin saja.

Tanpa berkata apa-apa, dia mengeluarkan sebuah kantong kulit dari dalam jubahnya. Kantong itu tampak biasa saja, tapi saat dibuka, isinya berkilauan ribuan koin emas menari di dalamnya, memantulkan cahaya seperti serpihan matahari yang tertangkap oleh air.

Dengan tenang, alana menyerahkannya kepada pemilik toko yang menerimanya dengan senyum penuh rasa syukur.

“Sungguh murah hati... terima kasih banyak, Nona,” ucap si pemilik toko sambil membungkuk dalam-dalam.

Setelah transaksi selesai, Alana segera menyimpan seluruh pakaian itu ke dalam cincin penguasa yang melingkar manis di jarinya. Cincin itu memancarkan cahaya halus, lalu semua pakaian lenyap ke dalamnya seperti disedot oleh kabut magis.

Ia lalu menarik tangan Yuna yang masih melongo tak percaya.

“Adik... aku sungguh tak menyangka kau sekaya itu,” ujar Yuna setelah akhirnya bisa berbicara.

Alana tertawa ringan, suara tawanya seperti denting lonceng kecil yang mengusir rasa canggung. “Aku tidak kaya, Jeje... hanya memiliki sedikit lebih banyak dari orang biasa.”

Yuna tertawa pelan. “Kalau itu sedikit, aku tidak bisa bayangkan seperti apa banyaknya.”

Langit mulai menggelap perlahan, semburat jingga melukis horizon seperti kanvas yang disapukan kuas senja. Pasar pun mulai sepi, dan angin petang membelai rambut mereka dengan lembut.

Setelah puas menjelajahi pasar dan melihat-lihat hampir semua sudutnya, mereka akhirnya memutuskan untuk kembali ke klan.

Di sepanjang perjalanan, keduanya tak henti berbincang. Terkadang mereka tertawa, terkadang hanya berbagi cerita kecil yang entah mengapa terasa hangat. Kebersamaan itu sederhana, namun tak ternilai.

Alana tersadar akan satu hal bahwa memiliki teman untuk sekadar berjalan di bawah senja, bercakap tanpa beban, adalah sebuah anugerah yang selama ini ia rindukan.

Dalam hatinya, ada benih bahagia yang tumbuh diam-diam. Tak besar, tapi cukup untuk membuat dunia yang semula sunyi... kini terasa lebih hidup.

Terpopuler

Comments

Chauli Maulidiah

Chauli Maulidiah

koq panggil alana adik? kan alana anaknya ketua klan pertama. lha yuna anak dr klan kedua. mhn diberi penjelasan Thor.

2025-04-13

1

lihat semua
Episodes
1 AWAL
2 IDENTITAS BARU
3 MULAI PELATIHAN
4 ORGANISASI KALAJENGKING HITAM
5 puncak bulan
6 SILUMAN API
7 NAGA HITAM PENGHUNI PUNCAK BULAN
8 BUKAN GADIS BIASA
9 kematian ketua sin kalajengking hitam
10 KEMBALI KE KLAN
11 PETARUNG DEWA TAHAP AWAL
12 TAK SEBANDING
13 PERTEMUAN KLAN kematian pemimpin klan
14 MENJADI SAUDARA
15 pendaftaran murid baru
16 LAGI LAGI BANDIT LAUT
17 PANGERAN YANG SOMBONG
18 UJIAN TAHAP 1 ( warna yang alana capai)
19 SILUMAN GORILLA
20 UJIAN TAHAP 2
21 pemuda dari alam neraka
22 orang aneh
23 PETUNJUK TENTANG IBU
24 KEKACAUAN
25 RENCANA KAISAR
26 JANGAN MACAM MACAM DENGAN KU
27 KEMARAHAN ALANA
28 KEMATIAN KAISAR LONG DAN IBLIS GRASELA
29 KEBENARAN
30 UJIAN TAHAP KE 3 bagian 1
31 ujian tahap 3 bagian 2
32 ujian tahap 3 bagian 3
33 Rencana weiheng ( kepala keluarga gong)
34 PEDANG SALJU
35 memulai rencana
36 BERSELISIH TEGANG
37 kalian ingin berperang dengan ku
38 keputusan alana
39 PEPERANGAN #1
40 PEPERANGAN #2
41 KEDATANGAN SEKUTU
42 kekalahan bangsawan gong dan kekaisaran
43 KEKOSONGAN POSISI
44 PENYUSUP
45 jalan jalan
46 pelantikan
47 dilema
48 rencana pemimpin klan fu
49 malaikat maut berwajah bidadari
50 Rencana yang tersembunyi
51 kehangatan keluarga
52 memulai aksi
53 keributan kecil
54 manusia iblis bertanduk
55 akhir dari pemimpin klan fu
Episodes

Updated 55 Episodes

1
AWAL
2
IDENTITAS BARU
3
MULAI PELATIHAN
4
ORGANISASI KALAJENGKING HITAM
5
puncak bulan
6
SILUMAN API
7
NAGA HITAM PENGHUNI PUNCAK BULAN
8
BUKAN GADIS BIASA
9
kematian ketua sin kalajengking hitam
10
KEMBALI KE KLAN
11
PETARUNG DEWA TAHAP AWAL
12
TAK SEBANDING
13
PERTEMUAN KLAN kematian pemimpin klan
14
MENJADI SAUDARA
15
pendaftaran murid baru
16
LAGI LAGI BANDIT LAUT
17
PANGERAN YANG SOMBONG
18
UJIAN TAHAP 1 ( warna yang alana capai)
19
SILUMAN GORILLA
20
UJIAN TAHAP 2
21
pemuda dari alam neraka
22
orang aneh
23
PETUNJUK TENTANG IBU
24
KEKACAUAN
25
RENCANA KAISAR
26
JANGAN MACAM MACAM DENGAN KU
27
KEMARAHAN ALANA
28
KEMATIAN KAISAR LONG DAN IBLIS GRASELA
29
KEBENARAN
30
UJIAN TAHAP KE 3 bagian 1
31
ujian tahap 3 bagian 2
32
ujian tahap 3 bagian 3
33
Rencana weiheng ( kepala keluarga gong)
34
PEDANG SALJU
35
memulai rencana
36
BERSELISIH TEGANG
37
kalian ingin berperang dengan ku
38
keputusan alana
39
PEPERANGAN #1
40
PEPERANGAN #2
41
KEDATANGAN SEKUTU
42
kekalahan bangsawan gong dan kekaisaran
43
KEKOSONGAN POSISI
44
PENYUSUP
45
jalan jalan
46
pelantikan
47
dilema
48
rencana pemimpin klan fu
49
malaikat maut berwajah bidadari
50
Rencana yang tersembunyi
51
kehangatan keluarga
52
memulai aksi
53
keributan kecil
54
manusia iblis bertanduk
55
akhir dari pemimpin klan fu

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!