Malam itu, angin berembus lembut, membelai pepohonan seperti ibu yang meninabobokan anaknya. Namun, di dalam kamar penginapan yang sunyi, Alana justru tak bisa memejamkan matanya.
Entah mengapa... hatinya gelisah. Ada sesuatu yang terasa tidak beres sebuah firasat aneh menyelinap ke dalam nuraninya, namun dia tidak tahu apa.
“Kenapa saya tidak bisa tidur... bahkan untuk satu menit saja,” gumamnya kesal, suaranya setenang desir angin namun mengandung kegelisahan yang dalam.
DIa melirik ke arah King Yuna yang telah terlelap, wajah gadis itu terlihat damai dalam pelukan malam. Alana pun kembali berbaring, memejamkan matanya, berharap keheningan malam membawa kantuk ke pelupuknya. Namun satu jam berlalu, dan tidur tak kunjung datang. Seolah malam itu menolak memberinya ketenangan.
Dengan napas panjang dan pundak berat oleh kegelisahan, Alana akhirnya bangkit. DIa melangkah keluar dari kamar dan meninggalkan penginapan yang mulai tenggelam dalam senyap. Mungkin, pikirnya, berjalan-jalan bisa meredakan gejolak aneh di dalam dadanya. Mungkin kelelahan akan membuatnya menyerah pada tidur.
Begitu keluar, ternyata suasana tidak sesepi yang ia bayangkan. Di bawah cahaya bulan purnama yang bergantung anggun di langit malam, beberapa penduduk masih duduk-duduk di pinggir jalan, bercengkerama sambil bermain catur dan menikmati semilir angin.
Bulan malam menggantung bagaikan lentera surga, memandikan bumi dengan sinar peraknya yang suci. Cahaya itu menyentuh wajah Alana, membuat kulitnya bersinar lembut seperti porselen dalam cahaya lilin.
DIa terus menyusuri jalanan, langkah-langkahnya bergema lembut di antara batu-batu jalan yang dingin. Hingga akhirnya matanya menangkap cahaya hangat dari sebuah kedai daging bakar yang masih buka. Asap tipis mengepul dari tungku, menyebarkan aroma gurih yang menggoda.
“Bibi, saya pesan daging bakarnya dua,” ucap Alana ramah.
“Baiklah, Nona. Akan segera saya siapkan,” jawab wanita penjual itu sambil tersenyum hangat, lalu segera berbalik menyiapkan pesanan.
Saat menunggu, Alana menatap api yang menari-nari di atas tungku. Api itu mengingatkannya pada dirinya sendiri liar, panas, dan penuh rahasia yang belum terungkap.
“Kalau boleh tahu, dari mana asal Nona? Sepertinya Nona bukan penduduk sini,” tanya si penjual sambil menoleh ke kiri dan kanan, seolah waspada akan sesuatu yang tak kasat mata.
“Saya dari Klan King. Datang kemari untuk mengikuti ujian penerimaan murid baru Akademi,” jawab Alana, suaranya tenang, namun setiap katanya mengandung ketegasan yang tak bisa diabaikan.
“Ah, pantes saja. Saya baru pertama kali melihat wajah secantik itu. Jadi, Nona menginap di sekitar sini?”
“Iya, bibi. Saya menginap di salah satu penginapan yang tak jauh dari Akademi,” balas Alana dengan sopan.
Wajah wanita penjual itu sejenak berubah serius. Tangan tuanya yang cekatan tak berhenti membolak-balik daging di atas panggangan, namun suaranya kini lebih rendah, nyaris seperti bisikan.
“Nona... sebaiknya setelah ini langsung kembali ke penginapan. Malam di kota ini kadang menyimpan bahaya. Terlebih untuk gadis secantik Nona. Tak semua yang bernafas di malam hari adalah manusia.”
Alana menaikkan satu alisnya. Hatinya bertanya-tanya, bukankah ini kota yang paling dekat dengan istana kekaisaran? Mengapa sang kaisar seolah membiarkan wilayah ini dipenuhi bahaya?
“Apakah pihak kekaisaran sudah mengetahui kondisi kota ini, Bibi?” tanyanya, matanya menatap tajam namun tetap menyiratkan rasa hormat.
“Sudah. Bahkan pernah mengirimkan seorang jenderal untuk menyelidiki,” jawab wanita itu. “Tapi hanya sekali. Setelah itu, tak pernah ada kabar atau tindakan lanjutan.”
Alana mengangguk pelan. Jawaban itu terasa seperti embusan angin dingin ke dalam hatinya. Begitu dekat dengan kekuasaan, tapi begitu jauh dari perlindungan.
Tak lama, dua bungkus daging bakar diserahkan padanya.
“Totalnya lima keping perak, Nona,” ucap wanita itu.
Alana membuka cincin penguasanya dan menelusuri isinya. Tak satu pun koin perak atau perunggu ia temukan. Ia pun mengeluarkan satu keping emas dan menyerahkannya tanpa ragu.
“Maaf, Bibi. Saya hanya punya koin emas. Sisanya untuk Bibi saja.”
Wajah si penjual berseri-seri, tangannya menerima koin itu dengan penuh rasa syukur.
“Terima kasih, Nona. Sering-sering mampir, ya.”
Alana mengangguk, lalu kembali melangkah. Malam telah semakin larut. Udara mulai berubah dingin dan lebih berat. Tanpa dia sadari, langkah kakinya telah membawanya ke ujung desa.
Tempat itu begitu sepi, bahkan suara angin pun terasa menggigit. Udara mengandung sesuatu yang tak terlihat sesuatu yang membuat bulu kuduk meremang.
Langit di atas sana masih diterangi bulan. Namun sinarnya kini terasa pucat, seperti diselimuti kabut tipis dari dunia lain. Desir angin membawa bisikan samar, seakan hutan dan bayangan malam tengah menonton gerak-geriknya.
Alana berhenti sejenak. Ia memandangi hamparan tanah sunyi di depannya.
“Suasana di sini sungguh menyenangkan… begitu tenang dan sejuk,” ucap Alana lirih sambil menarik napas panjang. Udara malam menusuk paru-parunya dengan kelembutan yang menenangkan, seperti pelukan alam yang ingin menghapus penat dari jiwanya.
“Dengan begini… mungkin aku bisa tertidur,” lanjutnya pelan.
Matanya menyapu kanan dan kiri, mencari tempat yang nyaman untuk merebahkan tubuh. Hening malam membalut sekeliling, hanya ditemani desiran daun dan cahaya bulan yang menyelinap lembut di sela ranting pepohonan. Tak lama kemudian, pandangannya jatuh pada sebuah pohon raksasa yang menjulang tinggi tak jauh darinya batangnya kokoh, akarnya menjalar ke segala arah, seolah telah berdiri sejak awal zaman.
Alana melompat ringan ke salah satu cabangnya yang lebar, lalu duduk bersandar. DIa menata tubuh agar senyaman mungkin. Ketika matanya hampir terpejam, tiba-tiba
BOOM!
Sebuah ledakan menggema dari arah hutan, mengguncang keheningan malam seperti guntur yang pecah di langit cerah.
“Sial… kenapa saat aku mau tidur, selalu saja ada yang mengganggu?” gerutunya kesal.
alana bangkit, dan secepat kilat melesat menuju sumber suara. Ada sesuatu yang mengusik perasaannya rasa penasaran yang menari-nari di dada, bercampur firasat buruk yang menusuk seperti duri halus dalam jantung malam.
Semakin dekat ia melangkah, semakin terasa aura gelap yang menyesakkan. Alana bisa merasakan dengan jelas hawa kegelapan yang mendominasi, disertai kilatan samar dari Qi murni yang bergetar pelan.
“Aku yakin... ini pertarungan antara siluman dan manusia. Tapi… kenapa ada siluman di Dunia Bawah? Siapa yang memanggil mereka ke sini?” gumamnya, matanya tajam menembus kegelapan.
Tak lama kemudian, Alana tiba di lokasi pertempuran. Pandangannya langsung membelalak melihat sosok yang tengah bertarung.
Seorang gadis, dengan pakaian terkoyak di kanan dan kiri, tengah menghadapi siluman raksasa berwujud seperti gorila. Tubuh makhluk itu menjulang lebih dari empat meter, dengan otot-otot sebesar batang pohon dan mata merah membara seperti bara neraka. Gadis itu jelas kewalahan, tubuhnya bergetar dan napasnya terengah.
“Bukankah itu… Nona Fu Lin? Kenapa dia bisa berada di hutan ini? Dan bagaimana bisa dia berhadapan langsung dengan siluman sekuat itu?” gumam Alana sambil memperhatikan situasi dengan saksama.
“Hei, gadis manis… menyerahlah dan ikutlah denganku. Aku jamin, kau tak akan pernah menyesal…” ucap siluman itu dengan suara rendah dan menjijikkan. Lidahnya menjulur, menjilat bibirnya dengan tatapan cabul ke arah Fu Lin.
Alana yang melihatnya merasakan rasa jijik menyelimuti dadanya, seperti lumpur kotor yang menempel di kulit jiwanya.
“Kau siluman rendahan… Lebih baik aku mati daripada ikut denganmu!” bentak Fu Lin, suaranya serak namun penuh keberanian. Tubuhnya gemetar, tapi tatapan matanya masih menyala.
“Tenang saja, Nona… aku bisa berubah jadi siapa pun yang kau inginkan… Hahahahah!” tawa siluman itu menggelegar, menggema hingga membuat ranting-ranting bergetar. Tertawanya begitu kasar, memuakkan, seperti cemooh dari kegelapan yang tak punya hati.
Alana mengepalkan tangannya. Dalam hati dia berkata, mungkin inilah maksud peringatan dari wanita penjual daging bakar itu... malam di kota ini tak pernah benar-benar tenang.
“Aku sangat tidak menyukai siapa pun… yang merendahkan perempuan,” ucap Alana tegas.
Dengan satu tarikan napas, dia mengalirkan energi Qi ke kepalan tangannya. Angin di sekitarnya berubah, udara menjadi berat, dan cahaya di matanya memancar seperti bintang jatuh yang membakar langit malam. Dalam sekejap, tubuhnya melesat seperti kilatan petir cepat, tenang, dan mematikan.
DUARRR!
Satu pukulan telak menghantam dada siluman itu. Makhluk itu terpental beberapa meter ke belakang, menghantam pohon hingga batangnya retak. Siluman itu meringis kesakitan, memegangi dadanya yang remuk. Darah mengalir dari hidung dan mulutnya, menghitam, panas, dan berbau busuk.
Fu Lin, yang sempat pasrah pada nasibnya, kini menatap punggung Alana dengan mata melebar.
“ nona Alana…” bisiknya dalam hati. “Dia… di sini?”
Dalam pandangan Fu Lin, sosok Alana berdiri tegak, dengan rambut tergerai ditiup angin, cahaya bulan menyinari tubuhnya seolah alam malam mengangkatnya sebagai penjaga keadilan.
Punggung itu… seperti benteng tak tergoyahkan.
“Uhuk... uhuk... Manusia sialan! Beraninya kau melukaiku!” bentak siluman gorila itu dengan suara parau, amarah membakar matanya seperti bara yang tak padam.
Namun Alana tetap berdiri tenang. Meskipun begitu, matanya memancarkan kilatan dingin, tajam seperti mata pedang yang telah melalui seribu pertempuran. dia menatap siluman cabul itu dengan sorot yang mengandung kemarahan mendalam, bukan sekadar karena pertempuran melainkan karena rasa jijik terhadap makhluk yang berani merendahkan derajat perempuan.
“Apa yang siluman seperti dirimu lakukan di Dunia Bawah ini? Apakah kau kabur dari Alam Kegelapan?” ucap Alana dengan nada sedingin angin malam di puncak salju. Suaranya seakan membawa kabut es yang menelusup ke dalam tulang.
Perkataan Alana membuat siluman itu terguncang. Matanya membelalak, tak percaya bahwa gadis di hadapannya tahu asal-usulnya. Ia mundur selangkah, ragu sebuah celah kecil dalam kesombongannya yang selama ini tak tergoyahkan.
“Kau… bagaimana bisa?” desisnya dengan suara berat. Tapi kegugupan itu hanya berlangsung sesaat.
Amarah kembali membuncah, dan dari kedua tangannya muncul cakar-cakar tajam yang berkilauan di bawah sinar rembulan. “Karena kau telah mengetahui identitasku... maka kau harus mati di sini juga!” geramnya, lalu melesat menerjang Alana dengan kecepatan tinggi.
“Berhati-hatilah, Nona! Dia sangat kuat!” seru Fu Lin cemas dari kejauhan. Luka di tubuhnya masih belum pulih sepenuhnya, tapi ia tak bisa menahan diri untuk khawatir.
Namun Alana tak bergeming. Sebuah senyum tipis menghiasi wajahnya. “Tenang saja, Nona Lin… Aku akan membunuhnya untukmu,” balasnya lembut namun penuh ketegasan.
Dalam satu gerakan anggun, dia menghunus pedang hitamnya. Pedang itu tampak seperti menyerap cahaya sekitarnya, bagaikan bayangan yang dibentuk dari malam itu sendiri. DIa menyambut serangan siluman dengan ayunan yang bertenaga.
Bommm!
Pedang hitam Alana bertemu dengan kuku tajam milik sang siluman. Tabrakan kekuatan itu memicu gelombang kejut yang mengguncang udara dan membuat daun-daun beterbangan. Fu Lin terdorong beberapa langkah ke belakang, tubuhnya terhuyung meski hanya oleh hempasan angin dari benturan itu.
“Gadis itu… sangat kuat,” gumam Fu Lin, matanya menyiratkan kekaguman.
“Hahaha! Pedangmu itu tak akan bisa mengalahkan kukuku!” ucap siluman dengan penuh kepercayaan diri. Suaranya menggema seperti guruh yang menyombongkan kekuatannya.
Namun Alana hanya tersenyum sinis. Ia mengalirkan Qi dalam jumlah besar ke dalam pedangnya. Aura hitam yang mengerikan menyelubungi bilah pedang itu, membuat udara bergetar. Tanah di bawahnya bergemuruh pelan, seolah bumi pun mengakui kekuatan yang dipanggilnya.
Cahaya berkilat dari pedang itu seperti retakan petir di langit malam. Perlahan tapi pasti, cakar-cakar siluman mulai terpotong, satu demi satu.
“Tidak mungkin... Kukuku... patah begitu saja…!” pekik siluman itu, suaranya diliputi ketidakpercayaan.
“Ini adalah hukumanmu... karena berani menghina dan merendahkan perempuan di hadapanku,” ucap Alana.
Tanpa ragu, tanpa ampun alana mengayunkan pedangnya satu kali. Bilah hitam itu menari di udara, memisahkan kepala sang siluman dari tubuhnya. Darah hitam menyembur, namun malam tak bersuara. Kematian datang dalam keheningan yang anggun dan mengerikan.
Alana mengembuskan napas kasar. DIa mengayunkan pedangnya perlahan, lalu memasukan nya kembali ke dalam cincin penguasanya . Langkahnya begitu tegap , anggun, saat dia berjalan menghampiri Fu Lin.
“Apakah Jeje baik-baik saja?” tanyanya dengan suara yang jauh lebih lembut. Di balik dinginnya perang, ada keteduhan dari seorang penjaga.
“Aku rasa… Jeje perlu sedikit perawatan,” lanjutnya.
alana mengeluarkan sebuah pil berwarna biru muda dari cincin penguasan nya , pil itu tampak berkilauan.
“Minumlah pil ini, Jeje. Pil pemulih ini akan mengembalikan staminamu.”
Fu Lin menerima pil itu tanpa ragu. Saat pil itu menyentuh lidahnya, keajaiban pun terjadi dalam hitungan detik, kekuatan kembali mengalir dalam tubuhnya. Luka-lukanya mereda, dan nafasnya menjadi stabil.
“Terima kasih, Nona… Karena telah menyelamatkanku. Aku, Fu Lin dari Klan Fu, bersumpah akan membalas kebaikanmu suatu hari nanti,” ucap Fu Lin penuh hormat. Matanya bersinar dengan rasa terima kasih yang tulus.
“Nama saya Alana, dari Klan King,” jawab Alana, membalas perkenalan itu dengan tenang.
Sebenarnya, mereka sudah mengetahui nama masing-masing. Saat seleksi tahap pertama, mereka sempat memperkenalkan diri secara singkat sebelum ujian dimulai. Namun malam ini adalah percakapan pertama mereka, dan dalam sebuah perkenalan sejati, menyebut nama adalah jembatan pertama menuju rasa percaya.
Malam semakin larut, namun hati mereka terasa lebih ringan. Di tengah gelapnya hutan dan ancaman siluman, dua jiwa muda bertemu dalam pertempuran dan saling menguatkan dalam keheningan yang penuh arti.
“Lalu… mengapa Jeje bisa sampai di tengah hutan ini dan bertemu dengan siluman cabul itu?” tanya Alana, nada suaranya datar, tapi sorot matanya menyiratkan rasa ingin tahu yang tulus.
Fu Lin sempat terdiam. Pertanyaan itu membuatnya berpikir. “Siluman cabul…? Apa benar siluman juga bisa bersikap cabul terhadap manusia?” pikirnya dalam hati, sedikit bingung sekaligus merinding saat mengingat kejadian tadi.
“Saya juga tidak tahu, Nona,” jawabnya akhirnya. “Saat saya keluar mencari makan… tanpa sadar, tahu-tahu saya sudah berada di tempat itu. Rasanya seperti ditarik oleh sesuatu… saya mencoba mengingat, tapi semuanya terasa samar.”
Alana menyimak, lalu tersenyum tipis, senyum yang tampak menenangkan tapi juga mengandung keusilan kecil. “Tapi untung saja aku datang tepat waktu. Dia itu siluman gorila berbeda dengan siluman lainnya. Siluman itu sangat… tertarik pada manusia. Terutama pada gadis-gadis cantik seperti Jeje,” ucapnya menggoda.
Fu Lin bergidik, bulu kuduknya meremang seketika. “A-Apakah benar, Nona? Kalau begitu… saya sangat bersyukur bisa selamat,” gumamnya pelan. Ada rasa takut yang belum hilang sepenuhnya dalam dirinya, tapi ada juga rasa syukur yang begitu dalam.
Jika malam tak membawa Alana padanya, entah kegelapan macam apa yang akan menelannya.
“Baiklah,” ujar Alana, menghela napas ringan. “Lebih baik kita kembali ke penginapan dan beristirahat. Besok adalah ujian kemampuan, dan pasti akan menguras stamina serta Qi kita. Tidur yang cukup adalah separuh kemenangan.”
Fu Lin mengangguk, lalu memberanikan diri berkata dengan nada penuh harap, “Kalau begitu… bisakah kau menginap di penginapan saya malam ini saja, Nona? Saya masih merasa takut…”
Alana terdiam sejenak, memandang wajah polos Fu Lin yang menyiratkan ketulusan dan kecemasan. Setelah beberapa detik, ia mengangguk. “Baiklah, aku temani.”
Fu Lin langsung berseri-seri. “Kalau begitu, Nona, ikuti saya!” serunya, lalu melesat memimpin jalan.
Udara malam terasa lebih hangat saat mereka berjalan berdampingan di bawah cahaya rembulan. Langit gelap dihiasi gugusan bintang, seolah ikut mengiringi langkah mereka yang menyatu dalam keheningan dan rasa saling percaya yang baru tumbuh.
Tak butuh waktu lama, mereka sampai di penginapan kecil tempat Fu Lin menginap. Bangunan itu sudah sepi, hanya diterangi lampu minyak yang temaram. Alana melangkah masuk, matanya menyapu sekeliling ruangan sederhana namun bersih itu.
“Apakah Jeje ke sini hanya sendirian?” tanya Alana heran. Biasanya, setiap klan atau sekte yang mengirim muridnya selalu didampingi salah satu ketua atau sesepuh. Namun Fu Lin tampak sendirian, tanpa penjaga atau pendamping.
“Iya, Nona. Para ketua klan sedang sibuk dengan urusan internal, tapi… tidak masalah bagi saya,” jawab Fu Lin sambil merapikan tempat tidur untuk mereka berdua.
Alana melangkah pelan ke arahnya, lalu menepuk punggung Fu Lin dengan lembut. “Tenang saja… sekarang Jeje tidak sendirian lagi,” ucapnya dengan suara hangat, seperti embusan angin musim semi yang membawa ketenangan.
Ucapan itu menusuk hati Fu Lin, tapi bukan karena sakit melainkan karena haru. Matanya berkaca-kaca, lalu tanpa sadar ia memeluk Alana dengan erat. Ia tak berkata apa-apa, hanya membiarkan rasa syukurnya mengalir lewat pelukan itu.
Andai saja aku punya adik seperti dia… pikir Fu Lin. Cantik, kuat, dan begitu perhatian
“Terima kasih, Nona…” ucapnya pelan sebelum melepaskan pelukan. DIa lalu tersenyum kecil dan menunjuk ke arah tempat tidur. “Lebih baik kita tidur sekarang… malam sudah terlalu larut.”
Alana mengangguk. Rasa kantuk mulai menyeretnya ke dunia mimpi. DIa pun berbaring di sisi tempat tidur, membiarkan tubuhnya beristirahat untuk menyambut hari yang baru.
Malam itu terasa lebih damai. Tak ada siluman, tak ada pertarungan. Hanya dua jiwa muda yang berteduh sejenak dari kerasnya dunia, berbagi ruang dalam keheningan yang tenang.
Dan di bawah langit yang tenang, Alana pun tertidur lelap—dibalut kehangatan persahabatan yang baru mekar, serta mimpi tentang esok yang entah akan membawa tantangan, atau harapan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments