Pagi itu, mentari kembali memanjat langit dengan penuh semangat, menyingkap kabut tipis yang menyelimuti bumi. Sinar keemasan menembus celah-celah jendela, membentuk lukisan cahaya di lantai batu yang dingin. Namun di balik selimut hangat, seorang gadis cantik masih meringkuk manja, enggan melepaskan pelukan pagi yang nyaman.
Denting waktu berlari pelan, hingga suara ketukan lembut memecah keheningan.
“Nona Alana… apakah Nona masih tidur? Bagaimana mungkin seorang gadis bisa tetap berbaring di ranjangnya sementara matahari sudah hampir tegak di atas kepala?” suara Bibi Ming terdengar dari balik pintu, disertai ketukan-ketukan pelan yang penuh kesabaran.
Alana, yang tengah terbuai dalam mimpi indah, menggeliat malas. Suaranya yang lembut dan lirih mengeluh pelan saat kenyataan menariknya dari pelukan mimpi. Dengan enggan, dia membuka mata, lalu menyeret kakinya ke arah pintu dan membukanya perlahan.
Sosok Bibi Ming langsung menyambutnya dengan raut khawatir.
“Apakah Nona Alana sakit? Tidak biasanya Nona bangun sepagi ini… maksud saya, siang,” tanya Bibi Ming dengan lembut.
Alana mengusap matanya yang masih terasa berat. “Saya baik-baik saja, Bibi. Hanya... tadi malam aku sulit tidur,” jawabnya lesu, suaranya bagai bisikan angin senja yang menimpa daun-daun layu.
“Ah, begitu rupanya. Maafkan saya sudah mengganggu. Oh iya, saya sudah menyiapkan sarapan dari tadi pagi,” ucap Bibi Ming, senyum tulus mengembang di wajahnya yang penuh kasih.
“Terima kasih, Bibi. Aku akan mandi dan berganti pakaian dulu,” ujar Alana. Ia kembali menutup pintu dan melangkah menuju kamar mandi.
Dalam hati, Alana menggerutu sambil berendam di air hangat yang menyentuh kulitnya seperti belaian lembut embun pagi.
“Tidak di kehidupanku yang dulu, tidak pula di kehidupanku sekarang… selalu saja ada yang mengganggu saat aku ingin bersantai. Bahkan pagi pun terasa iri akan ketenanganku,” bisiknya, sedikit kesal namun tetap menikmati kehangatan air yang menenangkan.
Waktu berlalu tanpa terasa. Setelah merasa cukup, Alana mengakhiri sesi mandinya dan berganti pakaian. Kali ini, ia memilih gaun hitam pekat dengan hiasan mutiara halus yang berkilau seperti bintang di malam kelam. Rambutnya dikuncir anggun dengan hiasan lonceng berbentuk angsa putih simbol kemurnian dan kekuatan tersembunyi.
Kecantikannya bukan hanya terpancar dari rupa, tapi juga dari aura lembut dan agung yang menyelimuti dirinya. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya, seperti bunga yang akhirnya mekar sempurna setelah lama berjuang melawan musim dingin.
Alana melangkah keluar dari kamarnya, perutnya sudah mulai mengeluh minta diisi. Namun saat tiba di ruang makan, ia tak menemukan Bibi Ming di sana. Ia pun melongok ke dapur, namun tetap tak menemukan sosok pelayannya itu.
“Ah… mungkin Bibi Ming pergi ke pasar,” batinnya santai.
Tak ingin memusingkan hal kecil, Alana duduk di kursi panjang yang menghadap ke taman kecil. DIa mulai menikmati sarapan yang telah disiapkan. Makanan itu masih hangat, penuh rasa, dan aroma yang menenangkan hati.
Bagi Alana, masakan Bibi Ming bukan sekadar makanan. Itu adalah bentuk cinta yang dituang dalam setiap potongan bahan, dalam setiap racikan bumbu. Tak terhitung berapa banyak makanan enak yang pernah ia coba, namun tidak ada yang mampu menggantikan rasa hangat dari tangan tua yang penuh kasih itu.
Setelah menyelesaikan sarapannya, Alana berdiri. Langkahnya ringan, namun hatinya dipenuhi keinginan untuk menjelajah.
“Sambil menunggu hari esok… sebaiknya aku berjalan-jalan dan melihat bagaimana klan King menyambut pagi,” gumamnya sambil tersenyum kecil. Ia lalu keluar dari paviliun ayahnya, menembus cahaya pagi yang menari-nari di antara dedaunan.
“Hm… udara luar memang terasa menyegarkan,” ucap Alana sambil merentangkan tangannya ke langit. Angin lembut membelai wajahnya, membawakan harum bunga-bunga yang bermekaran.
Namun tanpa ia sadari, setiap langkahnya telah menjadi pusat perhatian.
Di pelataran latihan, sekelompok murid muda tengah beristirahat. Tatapan mereka terpaku pada sosok Alana yang anggun berjalan melewati taman. Gaun hitamnya melambai-lambai pelan, seperti bayangan malam yang menari di bawah sinar pagi.
“Lihatlah Nona Alana… entah kenapa, makin hari dia makin mempesona,” ucap seorang murid dengan tatapan tak berkedip.
“Lihat pipinya… imut sekali. Andai saja dia mau menjadi pasanganku, rasanya dunia ini akan berubah jadi taman surga,” sahut yang lain, menghayal setinggi langit.
“Hey, kalau mau bermimpi, jangan siang bolong!” canda temannya, membuat yang lain tertawa. Namun di antara tawa mereka, rasa kagum tak bisa disembunyikan.
Ketua keempat, yang menjadi pembimbing lapangan mereka, hanya menggeleng pelan sambil menahan senyum.
“Sudah, sudah… istirahatnya cukup. Lanjutkan latihan kalian,” tegurnya lembut.
“Baik, Guru!” jawab mereka serempak sebelum kembali ke posisi masing-masing.
Ketua keempat menatap sosok Alana yang semakin jauh. Di matanya, gadis itu bukan lagi Alana kecil yang dulu tak berdaya, yang selalu menunduk setiap berjalan karena hinaan dan cemoohan dari klan. dia adalah bunga yang telah tumbuh dari tanah penuh luka mekar dengan indah, namun menyimpan duri tajam untuk melindungi dirinya.
“Entahlah… apakah firasatku benar. Tapi aku merasa, Nona Alana akan menjadi kultivator hebat. Mungkin suatu hari, dia akan dihormati oleh seluruh negeri ini…” gumamnya lirih.
Ia mengingat masa lalu, ketika Alana kecil selalu disisihkan, dianggap lemah karena tak bisa berkultivasi. Setiap hari, dia menerima hinaan seperti badai yang tak kunjung reda.
Tapi sekarang… badai itu telah berubah arah.
Dan Alana? DIa tak lagi bersembunyi di balik bayang-bayang. dia sedang berjalan menuju takdirnya.
Namun, saat matanya menatap sosok Alana yang kini berdiri anggun di kejauhan, sang ketua keempat merasa seperti melihat orang lain bukan gadis kecil yang dulu sering dihina, melainkan wanita muda dengan aura menakutkan dan karisma bak bintang yang jatuh ke bumi. DIa pun mulai bertanya-tanya dalam hati, apakah selama ini Alana menyembunyikan kekuatan aslinya? Apakah sejak kecil dia telah menguasai teknik ilusi untuk menyamarkan tingkat kultivasinya?
"Jika benar begitu… mungkin lebih baik aku pensiun dari dunia kultivasi," pikirnya getir. Ada rasa malu yang menyelinap, namun juga kekaguman yang tak bisa disangkal.
Sementara itu, Alana melangkah ringan seperti angin yang menari di pagi hari. Gaun hitam yang ia kenakan berkibar pelan diterpa hembusan udara, menyatu dengan aura putih yang samar-samar menyelimuti tubuhnya. Seolah alam pun menghormatinya, membiarkan dirinya melewati dunia dengan tenang namun berwibawa.
Langkahnya membawanya menuju sebuah lapangan luas. Di sana, para murid inti sedang berlatih termasuk King Xian dan King Yuna. Penasaran akan kemampuan mereka, Alana memutuskan untuk berhenti dan mengamati. Sosok guru pembimbing paruh baya yang sedang memberi instruksi pun tak luput dari pengamatannya.
Namun, begitu menyadari kehadiran Alana, para murid inti spontan menghentikan gerakan mereka. Pandangan mereka tertuju padanya, dan untuk sesaat, waktu seakan berhenti berdetak.
“Apakah dia seorang dewi yang turun dari langit?” bisik hati mereka serentak.
King Xian, yang biasanya tenang dan fokus, merasakan dadanya berdetak lebih kencang dari biasanya. Tatapan matanya terpaku, dan tanpa sadar ia bergumam, “Sejak kapan dia... secantik dan seanggun ini?”
Di sisi lain, King Yuna yang menyaksikan semua tatapan itu tertuju pada Alana, menggertakkan gigi dengan kesal. Api cemburu membakar hatinya.
“Kenapa begitu sulit membunuh gadis sialan itu?” gerutunya dalam hati, penuh amarah dan kecemburuan.
Ketika Alana melangkah semakin dekat, guru pembimbing yang bernama Yung Rogi segera menyambutnya dengan hormat.
"Salam, Nona Alana. Apakah Anda datang untuk menyaksikan latihan kami?" sapanya dengan suara lembut namun penuh kehormatan. dia telah diperingatkan oleh ketua keempat untuk tidak memandang remeh gadis ini. Dan kini ia mengerti alasannya.
"Salam, Senior. Aku hanya ingin melihat-lihat saja," jawab Alana sembari tersenyum. Senyumnya tak hanya memikat, tapi juga menenangkan bagai cahaya rembulan di tengah malam gelap.
Para murid laki-laki menahan napas. Beberapa dari mereka bahkan lupa bagaimana cara bernapas untuk sesaat.
Namun suasana damai itu segera dipecahkan oleh suara tajam milik King Yuna.
"Jika hanya ingin melihat-lihat, lebih baik kau pergi. Ini bukan tempat pertunjukan!"
Yung Rogi segera menegurnya, "King Yuna, jaga sikapmu. Tempat ini milik umum, dan siapa pun boleh datang."
King Yuna terdiam, menggertakkan gigi. DIa menunduk bukan karena menyesal, melainkan karena marah.
Alana menatapnya sejenak, lalu berkata dengan nada tenang,
"Kalau begitu... Senior, bolehkah aku menantang duel pedang dengan King Yuna?"
Kata-kata itu menggema di seluruh lapangan. Para murid langsung menyingkir ke pinggir dan membentuk barisan mengelilingi arena.
"Ayo, adik Yuna! Terima tantangan itu!" seru beberapa murid yang tampak sangat bersemangat.
Terpancing oleh semangat rekan-rekannya, Yuna pun mengangguk dan menerima tantangan tersebut.
Yung Rogi hanya menghela napas panjang. DIa tahu pertandingan ini akan berjalan tidak biasa. Ia lalu mempersilakan mereka memilih senjata. King Yuna mengambil pedang panjangnya yang biasa ia gunakan. Sementara Alana... memilih tombak.
"Tombak?" bisik beberapa murid tak percaya.
Seorang perempuan cantik dan anggun memilih senjata berat dan sulit seperti tombak. Ini bukan hal yang lazim.
Namun Alana hanya tersenyum kecil, seolah ingin mengatakan bahwa tombak bukan sekadar senjata ia adalah perpanjangan dari jiwa petarung sejati.
Pertarungan pun dimulai. King Yuna melesat cepat, menyerang dari berbagai arah. Namun Alana seperti daun gugur yang menari mengikuti irama angin. Gerakannya ringan, namun menghindar dengan sempurna.
Murid-murid terperangah.
“Cepat sekali... bahkan dia belum menggunakan tombaknya!” gumam salah satu dari mereka.
Yung Rogi memperhatikan dengan mata menyipit.
"Kecepatan itu... dia berada jauh di atas murid inti mana pun. Bahkan aku tak yakin bisa mengimbanginya."
King Yuna semakin frustrasi. dia mundur beberapa langkah, lalu mengaliri pedangnya dengan Qi. Cahaya biru kemerahan mulai menyelimuti pedangnya.
"Kau cepat, tapi dengan jurus ini, aku akan menang!" seru Yuna.
Namun Alana hanya tersenyum.
"Cepatlah... keluarkan jurus terbaikmu."
Yuna menggerakkan tubuhnya dengan formasi rumit. Pedangnya bergetar menyala, penuh aura yang menggigit.
Namun tak ingin kalah, Alana mengayunkan tombaknya pelan ke depan, samping, lalu belakang. Tubuhnya mulai diselimuti cahaya putih bersih. Aura ilahi mulai menyelimuti tempat itu. Samar, di belakangnya tampak bayangan bulan, menggantung di langit imajiner di atas kepalanya.
Murid-murid berseru kagum. Beberapa bahkan berlutut karena tidak tahan akan tekanan spiritual dari aura Alana.
Tombak Pembelah Bulan.
Seketika mata Yung Rogi membelalak, suaranya tercekat di tenggorokan.
"Jurus… Tombak Pembelah Bulan? Itu jurus andalan ketua Bandit Laut! Bagaimana bisa… bagaimana bisa Nona Alana menguasainya? Darimana dia mempelajarinya? Ini tidak masuk akal... Ini berbahaya!" gumamnya dengan wajah penuh kecemasan. Hatinya bergetar seperti ombak di tengah badai.
Namun belum sempat dia bergerak untuk menghentikan duel yang sudah di luar kendalinya, dua kekuatan besar telah saling berbenturan. Alana dan Yuna dua bintang yang saling bertabrakan di langit murid inti.
Ledakan besar mengguncang seluruh lapangan. Tanah bergemuruh, udara menggelegar, dan kilatan cahaya menari liar seperti petir yang menari di malam kelam.
King Yuna terpental jauh ke belakang, tubuhnya menghantam tanah dan terguling beberapa kali sebelum akhirnya terdiam. Dari bibirnya mengalir seteguk darah segar, mewarnai tanah seperti bunga merah yang gugur dalam perang. Sementara itu, Alana masih berdiri tegak di tengah lapangan, tombaknya menggurat udara, dan gaunnya berkibar pelan seperti kelopak bunga yang menari di tengah badai.
Matanya tenang, namun dalam kilatan matanya tampak kekaguman. "Jurus itu... sungguh luar biasa," bisiknya dalam hati. "Tak sia-sia aku mengingat dan mempelajarinya malam demi malam, di bawah cahaya rembulan yang menyaksikan diam-diam perjuanganku."
Seluruh lapangan senyap. Tak ada suara, bahkan angin pun seakan berhenti berembus.
Takjub. Tak percaya. Takut.
Tiga rasa itu menyatu dalam dada para murid, membuat mereka menahan napas seperti tengah menyaksikan legenda yang hidup di depan mata mereka. Hingga suara batuk lemah King Yuna memecah keheningan. Batuk itu terasa menyakitkan, seperti denting logam patah yang menghantam sukma.
King Xian segera berlari menghampiri saudarinya. Di wajahnya tergurat kecemasan yang dalam, tangannya meraih pundak Yuna dan membantunya berdiri perlahan.
“Yuna, kau baik-baik saja?” tanya Xian dengan suara bergetar.
Yung Rogi, yang telah kembali tersadar, segera memberi perintah.
"King Xian, tolong bawa adikmu ke ruang penyembuhan. Qi-nya nyaris habis meski tak mengalami luka serius."
King Xian mengangguk dan membawa saudaranya pergi dengan langkah hati-hati.
Sementara itu, Alana melangkah pelan ke arah Yung Rogi, wajahnya sedikit menunduk. Di balik ketegasannya, ada rasa tak enak yang mengendap di dadanya.
"Maaf, Senior. Sepertinya... saya agak berlebihan tadi," ucap Alana lembut. Senyumnya tipis, seperti cahaya fajar yang malu-malu menyapa dunia.
Yung Rogi hanya menghela napas dan menggeleng pelan.
"Bukan salahmu, Nona Alana. Justru muridku yang kurang berlatih. Pertarungan satu lawan satu memang sering membawa kejutan, tapi hari ini... kejutan itu begitu luar biasa."
Alana mengangguk pelan. "Kalau begitu, terima kasih sudah mengizinkan saya berlatih di sini. Dan... terima kasih juga untuk kalian semua," katanya sambil menoleh ke arah para murid yang masih terpana.
Tiba-tiba, sorak sorai meledak dari berbagai penjuru.
"Terima kasih, Nona Alana, sudah mampir kemari!"
"Sering-sering datang ke sini ya, agar kami semangat berlatih!"
"Jangan bosan lihat wajah kami yang kucel ini, haha!"
Alana tertawa kecil, rona merah menjalari pipinya. Ia tak menyangka dirinya akan diterima sehangat ini.
"Baiklah, aku akan sering datang dan berlatih bersama kalian. Sampai jumpa lagi." Dengan lambaian kecil, ia melesat ringan seperti angin musim semi yang membelai lembut dedaunan.
Yung Rogi memperhatikan sosok Alana yang kian menjauh, lalu bergumam dengan nada penuh kekaguman dan kewaspadaan, “Dia tadi belum serius… Tapi bahkan dalam keadaan itu, King Yuna babak belur. Bagaimana jika suatu hari dia mengeluarkan seluruh kekuatan penuhnya?"
Bayangan tentang Tombak Pembelah Bulan yang diluncurkan dengan kekuatan penuh menghantui benaknya. Ledakan energi, langit yang terbelah, dan tanah yang retak dalam sekejap semuanya bermain dalam imajinasi gelapnya.
Gemetar dalam hati, ia pun berbalik dan menyuruh para murid kembali melanjutkan latihan.
Namun setelah kejadian itu, hari-hari mereka tak lagi sama.
Setiap waktu istirahat, setiap makan bersama, bahkan saat malam menelusup sunyi nama Alana tak berhenti mengalir dari bibir para murid. Mereka membicarakan kehebatannya, keanggunannya, dan kekuatan magis yang entah kenapa begitu memesona.
Begitu sering hingga telinga King Yuna memanas setiap kali mendengarnya. Dalam hatinya yang terbakar, tumbuh bibit iri dan dendam, tak ubahnya bara dalam sekam yang menunggu untuk menyala kembali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments