Selena membaringkan tubuhnya di sofa dan menghela napas lega. Akhirnya ia bisa kembali ke apartemennya. Rasanya seperti hidup kembali, seperti terbebas dari sebuah sangkar emas yang membuat setiap pergerakannya terkekang.
Sambil menatap langit-langit, Selena termenung. Semua ini memang terlalu mencurigakan, pasalnya Eros benar-benar tidak bertindak apapun—atau belum—entahlah. Tapi...masa bodoh, Selena tidak ingin terlibat lagi dengan cinta rumit yang terjalin antara kakak-beradik itu. Ia akan kembali membangun karirnya dan fokus pada dirinya sendiri. Selena tidak mempunyai niat untuk menikah, setidaknya dalam waktu dekat ini. Ia sudah terbiasa hidup dalam kesendirian.
Selena mengangkat tangannya ketika lampu di langit-langit menyorot langsung pada kedua matanya. Disaat itu ia sadar, bahwa di jari manisnya masih ada cincin yang tersemat.
***
"Ada perlu apa sampai Ibu berkunjung kemari?"
Nyonya William melirik Eros yang berdiri membelakanginya dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Tanpa disadarinya Eros telah tumbuh menjadi seorang pria dewasa. Bahunya tegap dan lebar. Tinggi tubuhnya bahkan mungkin sudah sejajar dengan Alex sekarang. Ia banyak melewatkan hal itu padahal Eros adalah darah dagingnya sendiri.
"Kenapa kau membawa Selena ke rumah?" tanya Nyonya William tanpa basa-basi. "Ibu dengar kau juga pergi ke Maldives bersamanya."
"Sudah kubilang jangan campuri urusanku, Bu." Eros menoleh dengan ekspresi datar. "Bagaimanapun, pada akhirnya tidak akan ada yang benar-benar peduli padaku."
Nyonya William tersenyum pahit. "Kenapa kau berbicara seperti itu, Nak?"
"Memang begitu kenyataannya," kata Eros sambil kembali duduk di kursi. "Pada akhirnya, anak kedua akan selalu dicampakkan."
Kata-kata Eros begitu menyayat hati Nyonya William. Harta dan segala kemewahan nyatanya tidak menjamin untuk kebahagiaan seseorang. Terlahir sebagai anak kedua sepertinya mempunyai beban tersendiri untuk Eros. Meski ia dan Alex terlahir dari ibu yang berbeda, tapi mereka tetaplah saudara kandung karena memiliki ayah yang sama. Alex terlahir dengan segala kelebihan yang membuat siapapun berdecak kagum saat melihatnya. Dan Eros tumbuh untuk mendapatkan perhatian orang-orang dengan menjadi anak yang nakal, karena ia tahu tak akan sanggup melebihi Alex yang selalu bersinar.
"Jangan berkata seperti itu," kata Nyonya William setelah beberapa saat. Pandangannya sendu. "Jika Ayah masih ada, ibu yakin dia akan sedih saat mendengarnya."
"Sedih?" Eros tersenyum miris. "Justru aku menyesal karena tak mengatakan hal itu langsung kepada Ayah."
"Eros..."
"Semua orang selalu mengatakan padaku bahwa mereka menyayangiku..." Eros menyela dengan cepat. "...tapi akhirnya mereka selalu meninggalkanku."
"Ibu tidak pernah meninggalkanmu."
Eros menggeleng. "Sejak awal...hanya punggung Ibu yang selalu kudapati. Ibu selalu sibuk mengurusi Ayah dan Alex."
"Mengapa kau tak percaya bahwa kami semua begitu mencintaimu?" Nyonya William berdiri dari tempat duduknya dengan mata berkaca-kaca.
"Bagaimana aku bisa percaya?" Eros mendongak, melirik ibu yang telah melahirkannya tanpa emosi. "Sementara kalian tidak pernah menunjukannya padaku."
Setitik air mata turun saat Eros melewati tubuh Nyonya William dan menutup pintu dengan keras. Tidak ada kata seandainya mengulang waktu, karena semuanya tak akan pernah kembali pada masa lalu.
***
Selena mendesah. Ia mondar-mandir di depan pintu kamarnya berulang kali. Ini buruk. Ia lupa kalau ponselnya masih ada di tangan Eros. Semua kontak penting ada di ponsel itu, terlalu sayang kalau harus beli yang baru.
"Bagus sekali, kau sampai melupakan hal terpenting." Selena memukul kepalanya berulang kali, meski itu tak berpengaruh apapun terhadap kinerja isi kepalanya. Yang ada ia malah semakin panik, terlalu bingung untuk memikirkan bagaimana cara membawa ponselnya kembali. Ia tidak ingin bertemu dengan Eros atau bahkan sekedar mendengar suara pria itu.
"Ah! Apa sebaiknya aku menemui Sam?"
Meski tak tahu keberadaan pria itu, Selena tetap meraih tas kecilnya dan pergi. Kalaupun harus menunggu seharian di depan apartemennya, ia tak akan keberatan.
***
"Ada yang ingin ku bicarakan," kata Eros ketika Leo diujung telepon baru saja menerima panggilannya. Ia meninggalkan kantor saat jam makan siang dan mengemudi seorang diri. "Hn. Kita bertemu di tempat biasa."
Tut.
Panggilan ditutup. Eros menghela napas pelan. Ia melirik ponsel dengan case polos berwarna merah tua yang terletak di samping kursi kemudinya. Itu bukan miliknya, tentu saja.
Ting!
Ponsel itu berbunyi. Sebuah pesan muncul dilayar dengan nama 'Sam', pria yang terus menghubungi Selena sejak wanita itu tinggal di rumahnya. Lalu kemudian ponsel Selena berbunyi lebih lama karena pria itu tampak melakukan panggilan. Wajar saja, selama beberapa hari, Eros tak mengaktifkan ponsel milik wanita itu.
Pria bebal. Tampaknya ia sangat peduli terhadap Selena.
"Cih, merepotkan." Eros mencoba meraih ponsel itu menggunakan sebelah tangannya. Namun saat ia kembali meluruskan pandangannya pada jalanan di depan, sebuah mobil menyalip dengan kecepatan tinggi. Eros dengan cepat memutar kemudi, menghindari gesekan. Tapi kejadian itu terlalu cepat, tubuh dan kepalanya terbentur dengan hebat dan semuanya menjadi gelap.
Inikah yang disebut...kematian?
***
"Kenapa berhenti, Pak?"
"Sepertinya ada kecelakaan."
Selena menurunkan kaca mobil dan menyembulkan kepalanya keluar. Beberapa orang tampak berkerumun dan lalu lintas mendadak macet. Namun ia belum melihat satupun polisi atau ambulan di sana.
"Nona mau menunggu? Sepertinya ini akan sedikit lama."
Selena tak mendengarkan ucapan sopir taksi itu, matanya menyipit saat ia melihat badan mobil yang rusak menabrak pagar pembatas. Lebih terkejut lagi ketika perhatiannya beralih pada plat mobil yang masih utuh.
Selena menutup mulutnya.
Tidak mungkin!
"Nona?" tanya sang supir heran ketika Selena dengan cepat membuka pintu dari berlari ke arah kerumunan itu. "Nona! Anda mau kemana?"
Teriakan itu diabaikan.
Selena membelah kerumunan itu dan mendapati sesosok pria yang bersimbah darah tengah dipangku seorang pria tak dikenal.
Lututnya lemas.
"Eros..." lirihnya membuat seorang pria tak dikenal itu mengangkat kepala.
"Anda mengenalnya, Nona?"
Selena mengerjap. Semua orang serempak memandangnya dengan ekspresi penasaran. Apa orang-orang itu tidak mengenal Eros?
Selena menelan ludah, kemudian mengangguk cepat. "Saya temannya." Padahal ia mengatakan bahwa ia bukan teman Eros beberapa waktu lalu.
"Syukurlah, Tuan ini masih bernapas," kata orang itu mendesah lega. "Saya sudah menelpon polisi dan ambulan. Mungkin Anda bisa menghubungi keluarganya."
"Saya tidak bisa—"
"Ambulannya sudah datang!"
Ucapan Selena terhenti ketika bunyi ambulan menginterupsi. Para petugas medis langsung mengevakuasi Eros dan memberikan pertolongan pertama baginya.
"Saran saya, sebaiknya Anda ikut, Nona." Orang itu kemudian menyerahkan sesuatu pada Selena. "Oh iya, saya juga menemukan ponsel ini."
Itu ponselnya!
Selena melirik tubuh Eros yang terbaring tak berdaya saat petugas medis memasukkannya ke dalam mobil. Sesuatu tampak berkilau diantara jemarinya yang bersimbah darah. Cincin itu...
...ternyata dia masih memakainya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments