Telinganya berdengung. Ia bisa merasakan nyeri di sekujur tubuhnya tapi tak sanggup untuk sekadar merintih. Saat ia membuka mata hanya ada cahaya putih di sekelilingnya. Lalu samar-samar ia bisa melihat sesosok wanita berambut panjang tengah menundukkan kepala, menatap ke arahnya. Wanita itu tampak mengucapkan sesuatu padanya, tapi semuanya kembali menjadi gelap dan rasa sakit itu mendadak lenyap.
***
Trak!
Telepon rumah meluncur mulus dari tangan Nyonya William, membentur lantai marmer di bawah kakinya.
Para pelayan yang berdiri disekitar sana tampak langsung menghampiri sang tuan rumah yang hampir ambruk menyusul telepon yang digenggamnya barusan.
Wanita paruh baya itu terbelalak dengan air mata yang bercucuran. "Tidak mungkin..."
"Nyonya, Anda tidak apa-apa?!" seru seorang pelayan panik.
Nyonya William menggeleng. "Eros..." Air matanya semakin deras. "Eros...anakku..."
***
"Apa Ibu akan menyukai oleh-olehnya?" tanya Emilia ketika Alex membukakan pintu mobil untuknya.
Pria itu melingkarkan tangannya di bahu Emilia sambil menuntun sang isteri untuk masuk ke dalam rumah. "Kau selalu memikirkan apa kesukaan Ibu atau apa yang tidak disukainya, ya?" Sebelah alisnya terangkat. "Jangan khawatir, Ibu pasti senang kok. Soalnya dia belum pernah ke Maldives."
"Kalau begitu kita harus pergi kesana bersama Ibu nanti."
Alex mengangguk. "Bisa diatur."
Saat pintu terbuka, kepala pelayan—Bibi Anna—segera menghampiri Alex dan Emilia dengan tergesa setelah mendengar suara mobil sepasang suami isteri itu.
"Kebetulan sekali, dimana Ib—"
"Tuan!" Wanita paruh baya itu buru-buru membungkuk hingga hampir terjungkang ke depan. "Maaf karena saya telah menyela ucapan Anda. Tapi..."
Ekspresi itu jelas-jelas bukan eskpresi yang menggambarkan kebahagiaan. Eros menyadari bahwa sesuatu mungkin telah terjadi.
"Tapi?" tanyanya setelah Bibi Anna tak melanjutkan ucapannya.
"Nyonya tidak ada di rumah."
Alex mengerjap. "Jangan berbasa-basi."
Bibi Anna tampak menggigit bibirnya sebelum menjawab, "Nyonya ke rumah sakit. Tuan Eros...kecelakaan."
Emilia terbelalak. Tanpa bertanya apapun lagi, Alex langsung berbalik dan berlari menuju mobil. Emilia menyusul dengan sedikit tertatih karena memakai heels.
"Alex!"
Emilia terengah ketika duduk di samping Alex yang sudah memakai sabuk pengaman dengan wajah panik. Pria itu mengumpat ketika mencoba meraih kunci mobil yang malah terjatuh di bawah kakinya.
"Alex, lihat aku!" Emilia menyentuh wajah pria itu dengan kedua tangannya. "Look at me!" katanya setengah berteriak.
Kedua bola mata Alex bergetar. Pria itu tampak gelisah dan ketakutan. Ini pertama kalinya Emilia melihat Alex yang seperti itu.
"Tenanglah," kata Emilia lembut. "Eros akan baik-baik saja. Kau tahu itu, kan?"
Alex menggeleng sambil menyentuh tangan Emilia. "Semua salahku." Pria itu menelan ludah. "Aku sudah kehilangan Ayah, aku tidak bisa—"
"Ssstt." Emilia meletakkan jari telunjuknya di depan bibir Alex. "Biar aku yang menyetir," katanya sambil membuka pintu mobil dan pindah ke bangku kemudi.
***
Selena lagi.
Eros mengalihkan perhatiannya pada langit-langit kamar. Cahaya lampu tampak begitu terang dan menyilaukan. Di sofa dekat pintu masuk, ada Selena yang menunduk dan sibuk dengan ponselnya. Wanita itu belum menyadari bahwa Eros sudah siuman sejak dua menit yang lalu.
Eros tidak ingin menegur atau mengatakan apapun untuk saat ini, tapi kerongkongannya benar-benar kering dan ia butuh minum dengan segera.
"Air."
Selena tersentak. Kepalanya mendongak setelah suara lemah Eros mengalihkan perhatiannya. Ia tergesa menghampiri pria itu. "Kau...sadar?"
"Air."
Selena mengerjap. Lekas meraih segelas air minum dan membantu pria itu untuk meneguknya. "Jangan keras kepala atau kau tak akan bisa minum sampai kapanpun," katanya setelah melihat tatapan Eros yang seolah enggan dibantu olehnya.
Eros menyerah. Pria itu membiarkan Selena menuntunnya hingga ia menghabiskan setengah air dari dalam gelas itu.
"Kadang kau harus mengurangi sifat keras kepalamu itu."
Eros buang muka saat Selena menyimpan gelasnya kembali di atas nakas. Sama seperti beberapa hari lalu, ia tidak mengerti mengapa Selena selalu ada disaat kejadian buruk menimpanya. Entah Eros harus memandangnya sebagai penyelamat atau pembawa sial, tapi wanita itu selalu hadir diwaktu yang tepat. Eros tidak pernah bergantung pada orang lain, tapi sudah dua kali ia membiarkan Selena melihat sisi lemahnya.
BRAK!
"EROS!"
Selena langsung mundur beberapa langkah ketika Nyonya William tergesa menghampiri Eros dengan wajah dipenuhi air mata.
"Kenapa bisa menjadi seperti ini?!" Nyonya Emilia terisak, Apalagi ketika melihat perban di lengan dan kepala putra bungsunya. "Oh Tuhan...ini pasti sakit sekali, kan?"
"Tidak usah berlebihan," kata Eros lemah.
"Ibu mengkhawatirkanmu, Nak!"
Selena tersenyum pahit. Entah mengapa tapi kedua matanya berkaca-kaca. Mungkin ia hanya terbawa suasana ketika melihat wajah panik Nyonya William dan tangisannya yang tak kunjung berhenti. Eros beruntung, meski ayahnya sudah meninggal, tapi pria itu masih mempunyai seorang ibu yang bisa merangkap menjadi ayah sekaligus. Pria itu hanya lupa untuk bersyukur.
Sudah lama sekali, Selena tak mendengar omelan ibunya atau dipandangi dengan wajah khawatir seperti itu. Ia ingin melewati masa-masa dimana sang ibu memarahinya karena terlampau khawatir. Membuat Selena merasa bahwa dirinya begitu berharga. Membuat Selena berpikir bahwa ia layak untuk hidup karena akan selalu ada ibu yang mencintainya. Membuat Selena merasa, keberadaannya...diakui.
Selena tahu hubungan Eros dan ibunya tidak terlalu baik, jadi ia rasa ini adalah kesempatan yang pas untuk meninggalkan mereka berdua. Terkadang musibah membuat seseorang menjadi lebih dekat—atau lebih jauh ketika orang itu meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Tapi nama seseorang akan selalu ada dalam hati, meskipun wujudnya akan musnah ditelan waktu.
Sama sepertinya, Eros hanya sosok yang kesepian. Tapi pria itu berlindung dibalik ego dan tak mau menunjukkan sisi lemahnya, karena ia adalah laki-laki.
Selena hanya berharap, bahwa musibah ini bisa membuat Eros memperbaiki ikatan yang pernah rusak antara ia dan ibunya.
Mencoba menutup pintu tanpa menimbulkan suara, Selena menghela napas lega dan mengusap setitik air mata yang tampak disudut matanya. Ketika berbalik ia melihat Sam berjalan di koridor dan melambai ke arahnya.
"Syukurlah." Pria itu langsung memeluknya dengan erat sambil mengucap syukur berkali-kali. "Aku senang kau baik-baik saja."
Selena tersenyum haru dan mengangguk. "Sebaiknya kita segera pergi dari sini."
Sam menghela napas pelan sambil merangkulnya dengan hati-hati. "Sebaiknya malam ini kau menginap di apartemenku."
Ketika Selena dan Sam sampai di kelokan, mereka berpapasan dengan Alex dan Emilia. Waktu seakan berjalan lambat, Emilia dan Selena saling menatap tanpa saling menyapa. Sementara Alex tampak tak peduli dan sedikit berlari dengan ekspresi khawatir yang tidak bisa disembunyikan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments