Hari bersejarah itu tiba. Selena menatap pantulan dirinya di cermin dan kembali menghela napas. Sesekali sempat mencuri pandang ke arah Emilia yang duduk dengan gaun pengantin dan meremas kedua tangannya gugup. Namun yang membuatnya iri adalah kehadiran dua wanita paruh baya di samping kiri kanan sang wanita. Itu ibunya Emilia dan Nyonya William yang coba menenangkan Emilia sebelum acara intinya dimulai.
Selena buang muka. Rasanya ia ingin merobek gaun mahal yang membungkus tubuhnya dan lari sejauh mungkin dari tempat sialan ini. Ia hanya alat. Ia tak mempunyai arti apa-apa disini. Selalu. Dari dulu selalu seperti itu.
Selena hampir menangis saat pintu terbuka dan menampilkan Eros yang masuk dengan eskpresi datar. Tatapan pria itu langsung tertuju padanya, sambil mengulas senyum palsu Eros berkata, "kau sudah siap, Sayang?"
Akting yang bagus. Jika saja mereka hanya berdua, Selena pasti sudah melesat ke kamar mandi dan memuntahkan semua isi perutnya. Menjijikan!
Selena mengangguk pelan, sementara Eros menghampirinya dan merangkul bahunya dengan mesra. "Kau sangat cantik." Dahinya dikecup pelan. Dan reaksi terkejut tak mampu disembunyikan dari ketiga orang yang berada di sudut ruangan.
Menyadari itu Eros menatap ke arah mereka dengan senyum congkak. Namun tetap menundukkan kepala sebentar sebelum meninggalkan ruangan.
Nyonya Swan mengerjap pelan. "Sebenarnya siapa wanita itu? Aku tidak pernah melihatnya bersamamu," katanya pada Nyonya William.
Yang ditanya hanya mendesah pelan sambil menggelengkan kepala. "Aku juga tidak tahu."
Sementara Emilia hanya terdiam sambil menundukkan kepala.
***
Semua seperti mimpi saat Eros menyematkan sebuah cincin di salah satu jemarinya. Cincin dengan tampilan sederhana, namun ia tak sanggup membayangkan harganya. Teksturnya sangat keras. Dan sepertinya membutuhkan waktu lama untuk menghancurkannya.
Selena tersenyum pahit. Mengapa untuk sebuah sandiwara ini Eros rela membuat cincin yang begitu bagus dan mahal? Tidakkah pria itu berlebihan?
Sepanjang acara, pria itu tersenyum seolah ia benar-benar mencintai Selena. Mencium bibirnya lembut sehingga membuat Selena hampir lupa diri. Hampir lupa bahwa pria itu juga yang telah menghancurkan hatinya.
***
Diakhir musim semi, beberapa tahun silam.
"*Aku tidak mungkin membolos..." Selena menggigit bibir bawahnya sambil menatap tembok di hadapannya dengan bimbang. "Tapi itu terlihat sangat tinggi." Ia kembali mendesah. Datang ke sekolah setelah berkunjung ke rumah sakit memang berisiko, sebab Selena harus mendapati gerbang sekolahnya ditutup rapat. Tapi jika ibunya tahu kalau ia membolos, pasti wanita itu akan kecewa.
"Tidak." Selena menggeleng cepat. "Ini bukan saatnya untuk mengeluh." Ia berjinjit untuk mencoba meraih ujung tembok yang begitu kontras dengan tinggi tubuhnya. Namun sayang, dalam beberapa kali percobaan, gadis itu tetap tak berhasil.
"Apa yang kau lakukan?"
Selena berjengit. Buru-buru berbalik dan mundur ketika pemuda dengan rambut berantakan itu mendekatinya.
"Kau bisu?" tanyanya ketus saat tak mendapat jawaban.
Selena menggeleng kaku. "A-aku...sedang mencoba m-memanjat t-tembok."
Pemuda itu mengernyit. Nada gagapnya benar-benar sangat mengganggu. "Kenapa tidak pulang saja? Dengan tubuh pendek seperti itu hanya akan menjadi pekerjaan yang sia-sia."
Selena menelan ludah. Ia tahu pemuda itu satu kelas dengannya. Dan ia juga tahu bahwa pemuda itu sering datang terlambat, bahkan sesekali kedapatan tidur di atap sekolah dan melewatkan beberapa pelajaran.
Pemuda itu—Eros—berdecak. Berbicara dengan gadis itu hanya membuang waktunya. Tapi melihat penampilannya membuat Eros sedikit iba. Lihatlah baju yang berantakan dan sepatu lusuh itu. Bagaimana mungkin orang sepertinya bisa sekolah di tempat elit seperti ini? Kecuali jika gadis itu memiliki otak encer dan mendapatkan beasiswa. Ya. Itu baru terdengar masuk akal.
Menarik napas panjang, Eros berjongkok di hadapan gadis itu dan menatapnya dengan ekspresi malas. "Naiklah ke punggungku sebelum aku berubah pikiran."
Selena gelagapan. "T-tapi..."
"Aku tidak akan mengatakannya dua kali. Cepat!"
Dengan tubuh gemetar Selena berpegangan pada tembok dan menginjakkan kakinya di kedua bahu Eros. Perlahan pemuda itu berdiri, sehingga Selena bisa meraih ujung tembok dan menaikinya. Setelah memastikan Selena aman, Eros hanya perlu sekali lompatan untuk bisa menaiki tembok dan melewatinya sekaligus.
"Kau bisa turun sendiri, kan?" Eros mendongak dan menepuk kedua tangannya.
Meski Selena tidak yakin, kepalanya tetap mengangguk. "Umm, y-ya."
"Baguslah." Eros berbalik sambil memungut tasnya yang tergeletak di tanah. Meski tahu bahwa pelajaran mungkin saja telah dimulai, pemuda itu tetap melangkah dengan santai.
Selena menghela napas lega. Ia memejamkan matanya saat melompat turun. Meski terjatuh dengan posisi terduduk dan lututnya lecet, Selena tetap bersyukur karena hari ini tak perlu membolos.
Semuanya karena Eros telah membantunya. Memikirkan pemuda itu tiba-tiba saja membuat pipinya bersemu. Tanpa disadarinya, Selena telah jatuh cinta pada sang pemuda sejak hari itu.
***
BRAK!
"Apa kau yang bernama Selena?"
Di sore itu. Di dekat gudang sekolah yang sepi Eros meninju dinding di belakangnya dengan ekspresi yang tak bersahabat.
"Jawab aku, culun!" Pemuda itu mengangkat dagunya dengan kasar. "Apa kau yang bernama Selena?!"
Tubuh Selena gemetar. Dengan takut ia mengangguk. Eros terlihat sangat berbeda dari pemuda yang ia lihat beberapa bulan lalu.
"Kau yang mengirimkan semua surat dan cokelat itu?"
Lagi, Selena mengangguk. "S-sebenarnya...aku m-menyukaimu."
Eros mengusap wajahnya dan tertawa remeh. "Menyukaiku? Daripada menyatakan cinta, lebih baik buat penampilanmu sedikit lebih menarik."
Mata Selena membulat. Bagaimana mungkin kata-kata seperti itu bisa keluar dari mulutnya? Apakah dirinya seburuk itu?
"Tidakkah kau lelah?" Dari nada bicaranya justru Eros lah yang terdengar sangat lelah. "Apa kau buta untuk melihat Emilia yang selalu berada di sampingku?"
Apa maksudnya?
Apakah pemuda itu...
"Karena perbuatanmu, Emilia mendiamiku selama beberapa hari ini."
Mata Selena berkaca-kaca. Air matanya tak bisa dibendung ketika ia mengangkat kepala dan menatap Eros yang terlihat begitu murka.
"Aku mencintaimu, Eros."
"Sayang sekali aku hanya mencintai Emilia."
Dan saat itu Selena tahu bahwa cintanya bertepuk sebelah tangan. Dan mungkin saja, Eros telah berkencan dengan Emilia. Selena sungguh tidak tahu, karena selama ini pemuda itu hanya dikabarkan berteman baik dengan Emilia karena mereka sama-sama berasal dari keluarga konglomerat.
Tunggu...Selena bukan gadis sempurna seperti Emilia juga bukan berasal dari keluarga kaya raya seperti mereka. Mana mungkin Eros mau meliriknya lebih lama seperti pemuda itu menatap Emilia?
Kenapa ia bodoh sekali? Kenapa ia terlalu percaya diri hanya karena pemuda itu telah membantunya saat itu?
"Leo, bawa benda itu kemari."
Selena tidak tahu bahwa ada dua orang pemuda lain yang bersembunyi di balik tembok. Steve dan Leo adalah dua orang yang selalu berada di samping Eros selain Emilia.
"Bukan kau saja yang menyatakan cinta padaku." Eros menepikan tubuhnya sehingga Selena bisa melihat Leo mengeluarkan isi tas Eros yang dipenuhi surat cinta darinya. "Biar ku ingatkan, perasaan cintamu itu hanya akan berakhir sia-sia..."
Steve mengeluarkan korek dari saku celananya, menyalakan api dan melemparnya tepat pada tumpukkan surat cinta yang ia tulis dengan segenap jiwa.
"...seperti kertas-kertas itu."
Api berkobar dan melalapnya dalam satu kedipan mata. Semuanya lenyap, hangus menjadi abu. Bukan hanya surat-surat cintanya tapi juga hatinya. Tubuhnya merosot ke tanah dengan air mata yang tak berhenti mengalir. Haruskah ia diperlakukan seperti ini hanya karena penampilan dan statusnya?
"Kurung dia di gudang. Pastikan tak ada orang yang melihat kejadian ini."
Tubuh Selena diseret dengan paksa. Ia hanya bisa menangis karena tak sanggup melawan kedua pemuda yang mencengkeram masing-masing sebelah lengannya. Lalu pintu gudang ditutup dengan cepat sebelum Selena sempat bangkit. Semalaman ia berteriak dan menangis meminta tolong. Tapi tak ada satupun orang yang mendengarnya.
Hingga keesokan paginya, saat seorang siswa kebetulan membuka pintu gudang untuk mengambil sesuatu, Selena buru-buru keluar dengan langkah tertatih. Tanpa memedulikan tatapan orang-orang karena bajunya yang lusuh, Selena pergi dari sekolah. Teringat ibunya yang sedang dirawat di rumah sakit.
Namun dunia memang tak pernah berpihak padanya. Sesampainya di rumah sakit, Selena malah mendapati tubuh ibunya yang sudah terbujur kaku. Sambil memeluk jasad ibunya yang sudah tak bernyawa, gadis itu menangis, meraung. Sejak hari itu ia berjanji tak akan pernah memaafkan Eros seumur hidupnya*.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Jro Sriyani
buat eros bertekuk lutut.. dihadapanmu.. helena....
2022-09-25
0
🌹Milea 🖤
oh ya ampun mewek nya aq thor
2020-09-23
2
Zhy Ok
Selena yg di sakiti tp aku ikutan mewek
2020-09-16
3