Selena menatap para pelayan yang dengan sigap membukakan pintu sejak ia dan Eros turun dari mobil. Sepanjang jalan Selena mendebat tentang Eros yang seenaknya menyuruh pindah dari apartemen ke rumah yang telah pria itu siapkan.
Sebenarnya terlalu besar untuk dikatakan sebagai rumah, bangunan itu lebih mirip istana karena disangga dengan tiang-tiang besar dan tinggi. Secara keseluruhan didominasi oleh warna putih, namun ketika masuk ke dalam, Selena mendapati warna emas yang mendominasi. Mewah sekali.
Eros diam-diam mengamati setiap reaksi yang tanpa sadar ditunjukkan oleh Selena. Pada dasarnya, semua wanita suka dengan keindahan. Dan rumah ini hanya sebagian kecil dari kejutan yang Eros berikan untuk wanita itu. Ketika Alex memberi Emilia sebuah kondominium mewah yang berada di salah satu gedung pencakar langit, Eros lebih memilih menghadiahkan rumah lamanya kepada Selena. Sebuah tempat dimana ia lahir dan dibesarkan. Sebuah tempat bersejarah yang memiliki arti penting bagi Eros.
Lalu Eros teringat ketika Selena melayangkan satu kalimat saat menyematkan cincin di salah satu jarinya. "Untuk sebuah sandiwara ini, kau terlalu berlebihan..." Merujuk pada cincin dan pesta pernikahan yang memakan biaya fantastis.
Eros sempat termenung. Selena jelas tertekan. Apalagi semua tamu yang hadir adalah para konglomerat yang selalu mengangkat dagu mereka tinggi-tinggi. Wanita itu tidak terbiasa dengan kemewahan dan segala *****-bengeknya. Apalagi perasaan terintimidasi karena status sosialnya banyak dipertanyakan semua orang.
Sejenak, ia bertanya pada dirinya sendiri; mengapa ia harus menarik Selena ke dalam masalahnya?
"Aku sungguh tidak tahu bahwa Selena adalah orang yang sama dengan gadis yang kau tolak lima tahun lalu." Leo menghampirinya ketika pesta pertunangan belum dimulai. "Kau tahu? Hari dimana kita mengurungnya di gudang, hari itu juga Selena kehilangan ibunya."
Lalu setelah hari itu Eros tak pernah melihat Selena sekolah lagi, seperti permintaannya yang tidak ingin melihat wajah gadis itu. Mungkin saat itu ia tak peduli, karena kebahagiaannya hanya Emilia seorang.
Namun saat ia berdiri di rumah lamanya dan menatap mata Selena yang berbinar, Eros merasa ada sesuatu yang salah.
"Meskipun rumah ini bagus, tetap saja aku lebih menyukai apartemenku." Segala rasa itu lenyap ketika Selena menghampirinya dan berkata dengan nada angkuh. "Kau sudah memanfaatkanku dan aku tidak ingin tinggal bersamamu disini. Hanya malam ini dan besok aku akan kembali ke apartemen."
Eros mendengus. Tidak. Selena memang sudah berubah. Kini wanita itu hanya sesosok boneka berkepala batu dan suka sekali membangkang. "Pergilah jika kau bisa! Maka anjing-anjing peliharaanku akan mengejarmu dan menggigiti kakimu yang cantik itu!"
Selena hanya mengerling dengan sinis sebelum menaiki tangga bersama para pelayan.
***
Selena benar-benar tidak bisa memejamkan mata. Meski ranjangnya besar dan empuk, hal itu tak pelak membuatnya terlelap lebih awal. Menghela napas pelan, Selena menatap langit-langit kamar yang gelap. Pelayan bilang, kamar ini adalah kamar yang dulu ditempati oleh kedua orang tua Eros. Meskipun tak ingin mengambil kesimpulan, tapi Selena melihat ada sebuah keretakan dalam keluarga William dari apa yang ia perhatikan selama ini. Dibalik semua kemewahan dan nama besar yang selalu diagung-agungkan ternyata hidup seseorang tidak pernah sesempurna itu.
Tidak. Tidak. Mengapa kedengarannya Selena seolah peduli dengan Eros? Sepertinya ia memang butuh udara segar, meski udara malam memang tidak begitu baik untuk tubuh.
Selena bangkit dari ranjang, meraih jubah tidurnya dan keluar dari dalam kamar. Setelah menutup pintu, ia sempat terdiam dan menatap kamar milik Eros yang berada diseberang kamarnya.
***
"Tidak bisa tidur?"
Selena tersentak. Tubuhnya otomatis berbalik dan mendapati siluet Eros yang duduk disebuah kursi sambil menghadap balkon yang dibiarkan terbuka.
Pria itu masih terjaga dan itu bukanlah sesuatu yang baik.
Eros terkekeh, meski gelap, ia dapat melihat ekspresi terkejut dari sang wanita. "Anggur?" tawarnya sambil mengangkat sebuah gelas kristal berisi cairan merah pekat.
Selena memalingkan wajah sambil berjalan menuju balkon. "Tidak, terima kasih."
"Aku mengerti." Eros mengangguk pelan. "Seseorang sepertimu mungkin tak terbiasa dengan anggur."
"Dan orang seperti apa diriku ini?"
"Wanita yang...naif?"
Selena tersenyum hambar sambil menumpukan kedua tangannya pada pembatas balkon. "Sudah kubilang jangan berbicara seolah kita adalah teman akrab."
Eros menatap punggung sempit wanita itu dan menyimpan gelasnya pada sebuah meja kecil di samping kursi yang ia duduki. Kakinya menyilang serta tangannya bertaut. Menatap lurus pada Selena yang berdiri di tengah keremangan malam.
Selena sendiri tidak terlalu peduli apakah Eros akan tersinggung dengan ucapan itu atau tidak. Ia cukup terpana dengan pemandangan yang terhampar dikedua matanya. Rumah Eros terletak sedikit jauh dari keramaian kota. Dari tempatnya berdiri, Selena bisa melihat pemandangan sebuah danau yang memantulkan bayangan langit malam bertabur bintang. Mungkin ini adalah salah satu alasan mengapa pria itu tak memilih tinggal disebuah apartemen. Tipe pria seperti Eros memang membutuhkan tempat yang bisa membuatnya tenang dan menjernihkan pikiran. Bukan kepadatan kota dan segala hiruk pikuknya yang malah membuat penat.
Langkah kaki Eros menyadarkan Selena dari keterpanaannya. Meski ia tahu kemana langkah pria itu akan berakhir, tapi Selena tidak sanggup—bahkan—hanya untuk menolehkan kepala. Jadi pilihan terbaiknya adalah kembali ke kamar.
GREP!
"Kau mau kemana?"
Terlambat. Sebelah lengannya dicekal dengan erat. Tidak sakit, tapi pria itu menahannya begitu kuat. Hanya dengan satu tangan, Selena tak pernah bisa berkutik dari pria itu.
"Aku akan kembali ke kamar, jadi segera lepaskan tanganmu dariku."
Eros tersenyum miring. "Kau bahkan tidak pernah melihatku saat berbicara. Itu sangat menunjukkan betapa kau—"
"Mengapa kau jadi cerewet akhir-akhir ini?" Selena melirik Eros dengan eskpresi datar. Membuktikan bahwa apa yang dipikirkan pria itu tidak sama dengan apa yang ia rasakan. "Aku tidak pernah takut ataupun benci..." Kakinya maju selangkah, kepalanya mendongak menatap Eros yang menjulang tinggi dan kokoh. "...kau tidak perlu khawatir karena aku tidak merasakan apapun lagi padamu."
"Kau membenciku," kata Eros tenang. Tidak sedikitpun mengendurkan pegangannya pada Selena.
"Tidak lagi." Selena menyentakkan tangannya dengan keras. Rambutnya tampak berkibar ketika melewati Eros yang hanya terdiam sambil menatap helaian sewarna bulan itu.
"Bagaimana keadaan ibumu?"
Langkah Selena terhenti. Seluruh ototnya menegang ketika Eros menyinggung hal yang begitu sensitif baginya.
"Apa yang kau katakan?" tanya Selena dingin. Kedua tangannya mengepal disisi tubuh. "Kenapa tiba-tiba membahas Ibuku?" Nadanya naik satu oktaf. "Kau mencari semua informasi tentangku?"
Eros berhasil membuat wanita itu marah. Sudah ia duga, kelemahan Selena adalah keluarganya.
"Tidak sulit bagiku untuk bisa mengetahui segalanya." Eros menggerakkan tubuhnya untuk bisa menghadap pada Selena yang masih memunggunginya dengan tubuh gemetar. Bukan menangis, melainkan menahan amarah.
Selena mendelik, "kalau begitu kenapa kau masih bertanya?" Senyum sinis terbit di wajah sang wanita. "Apa kau...merasa bersalah?"
Untuk pertama kalinya Eros terbelalak. Merasa...bersalah?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Soraya🌞
seru
2020-09-15
1