Bagian 9

Sam mematikan televisinya dan mendesah gusar. Berita pernikahan Eros dan Selena membuat ia benar-benar takut untuk keluar dari apartemen. Ia juga mendapati ratusan pesan masuk dari beberapa paparazi. Sebagai seorang sahabat, Sam berulang kali mencoba menghubungi Selena dan sempat pergi ke apartemennya tadi pagi, tapi hasilnya nihil. Seorang wanita yang tinggal disebelah apartemen Selena mengatakan, bahwa wanita itu sudah tak terlihat sejak kemarin malam.

Semuanya pasti berhubungan dengan Eros. Pria itu pasti tahu bahwa Selena akan diserang oleh paparazi. Tapi ia tidak bisa mempercayai Eros begitu saja, apalagi setelah perlakuan pria itu beberapa tahun lalu.

Sam sangat merasa tidak berguna. Ia tidak bisa melakukan apa-apa kecuali berdoa untuk keselamatan Selena. Ia harap, apapun yang terjadi, wanita itu akan baik-baik saja.

"Percayalah, Sam. Selena adalah wanita yang kuat."

***

"Kau masih mencintainya?"

Mendengar Selena melontarkan pertanyaan yang seharusnya tak ia dengar, sang pelayan muda berusaha pergi dari tempat itu tanpa menimbulkan suara. Ia akan kembali untuk membereskan figura yang telah hancur setelah kedua orang itu menyelesaikan masalahnya.

"Perasaanku bukanlah urusanmu." Eros menjawab dingin setelah terdiam beberapa saat. "Kau boleh tinggal disini, tapi bukan berarti kau boleh menyentuh barangku sesuka hatimu."

Selena tersenyum pahit. Sebelah kakinya terkena pecahan kaca dari figura itu dan mengeluarkan darah. "Sesuka hatiku ya," katanya diselingi kekehan miris. "Kalau begitu apa yang kau lakukan selama ini padaku? Bukankah kau juga sama saja? Kau selalu bertindak sesuka hatimu."

Eros mendesah kasar. "Sudahlah, aku tidak ingin berdebat!" Ia pulang untuk mengambil beberapa dokumen yang sempat tertinggal. Namun ia benar-benar tak mengharapkan Selena berada disekitar kamarnya, apalagi menyentuh benda-benda yang seharusnya tidak boleh disentuh oleh siapapun.

Selena memejamkan matanya saat Eros melewati tubuhnya dan masuk ke dalam kamar. Namun tak lama, ketika Selena berlutut untuk memunguti pecahan kaca, Eros kembali dengan sesuatu di tangannya.

"Apa yang kau lakukan?!" Rahangnya kembali mengeras. Cepat-cepat ia meraih kedua lengan Selena dan menarik tubuh wanita itu untuk berdiri. "Sudah kubilang jangan menyentuh benda itu!"

"Kenapa?" tanya Selena tenang. "Kau masih sangat mencintainya bukan? Untuk seseorang yang mengaku membenci Emilia, bukankah kau lebih terlihat seperti pria yang patah hati karena tak bisa memilikinya?"

"Diam."

"Bukalah matamu. Semua yang kau lakukan saat ini hanya membuktikan bahwa kau tak bisa merelakannya."

"Kubilang diam!" Eros terengah. Cengkeraman di kedua lengan Selena begitu kuat, tapi wanita itu tak sedikitpun menunjukkan eskpresi kesakitan. "Bisakah kau tidak mengatakan sesuatu yang memancing amarahku?!"

Selena melepaskan tangan Eros dikedua lengan kanan dan kirinya. "Aku tidak pernah memintamu untuk menyeretku ke dalam masalahmu. Ingat itu." Sang wanita berbalik dan memasuki kamar setelah Eros baru menyadari bahwa sebelah kakinya terluka.

Pria itu terlihat ingin mengatakan sesuatu, namun pintu kamar segera ditutup oleh Selena.

"Kau masih mencintainya?"

Pertanyaan Selena berputar di kepalanya. Cinta? Eros yakin perasaan itu telah berganti menjadi benci. Tapi mengapa...ia masih menyimpan figura itu di rumahnya?

Ya. Mengapa?

***

Di sore hari, di tengah musim semi, hujan tiba-tiba turun. Selena memeluk lututnya di atas tempat tidur dan menatap kosong pada air hujan yang membasahi jendela.

Perasaannya kalut. Entah karena apa atau karena siapa, Selena tak mengerti.

Hatinya sempat kosong, bahkan nyaris mati rasa selama beberapa tahun ini. Tapi setelah Eros kembali, emosinya jadi kacau. Padahal seharusnya ia bisa mengontrol emosinya karena Eros sudah tak mempunyai arti apa-apa lagi baginya. Tapi seperti yang orang katakan, cinta pertama tak pernah semudah itu untuk dilupakan. Ada kalanya Selena berpikir bahwa mungkin saja perasaan itu masih ada, namun setiap kali mengingat bagaimana Eros memperlakukannya, Selena menjadi benci. Benci melihat bagaimana perangai pria itu sangat buruk terhadapnya.

Dan mungkin, seperti itulah Eros pada Emilia. Perasaan bencinya hanya topeng untuk menyembunyikan rasa kecewanya yang begitu besar. Seandainya Emilia tidak memilih Alex, mungkin saja Eros akan kembali bersatu dengan wanita itu dan Selena tak perlu ikut terseret dalam masalah ini. Pria itu menyeretnya tanpa alasan yang jelas dan pasti. Padahal pria itu pernah berkata bahwa banyak wanita yang mengemis cinta padanya.

Apakah Eros memilihnya karena ia adalah wanita yang mudah dimanfaatkan lalu dicampakkan setelahnya?

Selena pernah berjanji untuk tak memaafkan Eros. Jangan sampai untuk kedua kalinya ia terjebak dengan segala tipu muslihat pria itu atau ia akan hancur setelah sebelumnya telah menjadi kepingan.

Selena terkesiap. Jemarinya menyentuh setitik air yang mengalir di sudut matanya. Ia menangis. Lagi. Begitu lemah, begitu rapuh.

Tidak. Tidak. Cukup untuknya menjadi seorang wanita lemah. Ia sudah tak memiliki siapapun selain dirinya sendiri. Haruskah ia selalu menangis untuk segala masalah yang ia hadapi?

Selena menggeleng. Menghapus air mata yang berjatuhan dengan kasar. Matanya yang sendu berubah menjadi tatapan penuh tekad. Semua ketakutan ia singkirkan.

Mulai sekarang...ia akan mengikuti permainan pria itu.

***

Menyebalkan. Eros sangat membenci hujan, apalagi ditambah dengan terjebak dalam kemacetan yang menyita banyak waktu berharganya.

Sambil mengetuk-ngetukkan jemarinya pada kemudi, Eros sesekali melirik arloji yang melingkar di tangan kirinya. Setiap kali ia memejamkan mata, ia kembali teringat pada Selena dan ucapan wanita itu. Wanita bebal yang sangat sulit sekali dijinakkan, padahal dulu begitu lugu dan lemah.

Eros tersenyum kecut. Ia harus fokus pada bisnis yang baru ia kembangkan. Meskipun bisnis itu telah berdiri dibawah nama mendiang Ayahnya, Eros tak mau dicap sebagai seorang anak manja yang bergantung pada warisan keluarga. Ia tak akan menjadi Alex yang hanya bisa duduk di kursi bekas Ayahnya, meski itu adalah posisi direktur. Ia adalah pria bebas. Hidupnya adalah pilihannya.

"Ya?" katanya saat menerima panggilan. Tepat saat itu mobil di depannya kembali melaju. Baguslah, ia tak perlu mengumpat atau menekan klakson berulang-ulang. "Aku dijalan. Sekitar sepuluh menit lagi sampai."

Semua itu terjadi begitu cepat ketika Eros baru saja menginjak gas namun sedetik kemudian ia harus kembali menginjak rem mobilnya. Eros buru-buru melepas sabuk pengamannya dan membuka pintu mobil. Tubuhnya berjongkok untuk meraih seorang wanita yang terduduk akibat tertabrak mobilnya.

"Kau tidak apa-apa?"

Tercenung. Eros pucat pasi saat wanita itu menoleh dan meringis kesakitan sambil memegangi lututnya.

"E-Eros?"

Wanita itu...

"Emilia."

***

"Nona Selena?"

Pelayan itu mengernyitkan kening ketika Selena merebut foto Eros dan Emilia dari tangannya. Kedua matanya membulat saat Selena tanppa aba-aba merobek foto itu dengan eskpresi datar.

"N-Nona!" katanya histeris.

Selena merobeknya hingga menjadi serpihan kecil, lalu berucap dengan nada dingin, "aku adalah tunangan Eros, sudah sepantasnya tak ada potret wanita lain di rumah ini."

Pelayan itu tertunduk dan kehilangan kata-kata. Sungguh, seseorang bisa berubah secepat kedipan mata.

Terpopuler

Comments

Pe_fina

Pe_fina

selena keren..ga guna cengeng

2020-09-13

7

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!