Berulang kali, Selena menghembuskan napas. Matanya terpejam erat, lalu terbuka lagi, berharap bahwa semua itu hanya mimpi.
Sosok arogan itu duduk tegak di salah satu sofa kesayangannya dan sesekali melirik keadaan di sekelilingnya.
Sampai saat ini Selena masih tak mengerti. Lima tahun bukan waktu yang lama untuk melupakan Eros yang begitu bersinar pada masa sekolahnya dulu. Perubahan yang kentara dari pria itu adalah tubuhnya yang tinggi, potongan rambutnya yang lebih rapih dan garis wajahnya yang semakin tegas.
Eros tumbuh dengan baik. Tentu saja, pria itu terlahir di keluarga yang kaya raya. Bukan seperti Selena yang hanya mengandalkan tangannya sendiri untuk dapat bertahan hidup. Selena harus menelan pahitnya cemoohan orang tentang profesinya sebagai model majalah dewasa. SMA-nya terputus di tengah jalan ketika ibunya yang sakit-sakitan meninggal dunia.
Keberuntungan selalu ada di pihak Eros. Padahal seingatnya, pria itu hanya seorang manusia angkuh dan sombong. Bahkan terkadang...terlihat tak punya hati.
"Kenapa kau hanya berdiri di sana?"
Suara Eros kembali bergema di telinganya. Menyadarkan Selena dari kilas masa lalu tentang pria yang kini tengah menatap penuh tanya ke arahnya.
"Akan ku ambilkan teh." Selena hendak pergi ke dapur sebelum Eros kembali menginterupsi, "tidak usah."
Selena menghela napas. Ini buruk. Ia tidak bisa menghentikan debaran jantungnya yang menggila. Bahkan untuk sekadar membalikkan tubuh, ia tidak bisa.
Dan Selena tidak tahu bahwa Eros diam-diam memperhatikan setiap gerak-geriknya. Termasuk ketika wanita itu memainkan kedua tangannya di depan tubuh dan berkeringat meski AC berada ditemperatur yang cukup rendah.
"Kau terlihat tegang," bisik Eros tiba-tiba.
Selena terperanjat. Entah bagaimana Eros sudah berdiri belakang tubuhnya. Sangat dekat. Ia bisa merasakan bahwa punggungnya bersinggungan dengan dada bidang pria itu.
"Hei." Eros mencekal tangan Selena yang hendak menjauh dan tetap menahannya di tempat. "Stay still. Kau tak akan kemana-mana sebelum aku selesai berbicara."
"Lepaskan!" Selena berontak. Tak menyukai kontak fisik yang terjalin di antara mereka. "Kita tidak saling mengenal, jadi jangan—"
"Tidak saling mengenal?" Eros mengangkat sebelah alisnya dan terkekeh. "Sombong sekali." Ia melepaskan genggaman itu dengan cukup kasar sehingga membuat Selena sedikit terhuyung ke depan.
Wanita itu dengan cepat berbalik dan menatap Eros penuh waspada.
"Hermia Selena. Perlukah aku mengingatkanmu pada kejadian memalukan beberapa tahun lalu?" Eros tersenyum licik. Pria itu mengambil langkah lambat saat kembali mendekati Selena yang melangkah mundur. "Hanya karena penampilanmu berubah, bukan berarti aku tidak mengingatmu. Si gadis cupu yang gagap."
Selena panik. Tubuhnya menabrak dinding ketika Eros semakin mendekatkan tubuh dengan senyum penuh kemenangan.
"Apa pernyataan cintamu masih berlaku sampai sekarang?" Ada nada remeh di sana. Selena mengepalkan kedua tangannya hingga jemarinya memutih. Pria itu memang tak pernah berubah!
"Apa yang kau inginkan?" sahut Selena geram.
Eros berkedip, lalu memajukan tubuhnya ke depan. Menempelkan hidung mereka hingga Selena harus menahan napas. "Dulu kau bilang, demi cintamu itu kau akan melakukan segalanya untukku, kan?"
Selena bergeming.
Eros mengelus sisi wajah Selena dengan ibu jemarinya. "Jadilah kekasihku. Kita datang ke acara reuni nanti sebagai pasangan."
"Tidak," tolak Selena tegas. "Aku tidak akan pernah melakukan itu." Bahkan setelah bertahun-tahun tak bertemu, pria itu masih mencari celah untuk memanfaatkannya. Dasar b*jingan!
Eros menegakkan tubuhnya. Senyum kepuasan di wajahnya menghilang dan berganti menjadi ekspresi datar yang sering ditampilkan sejak rumor hubungan cintanya dengan sang primadona sekolah kandas.
Selena tidak pernah menyukai ekspresi itu. Atau apapun yang berhubungan dengan Eros sekarang.
"Aku tidak pernah meminta pendapatmu. Apapun yang kukatakan adalah perintah." Eros melirik dengan ekor matanya. "Suka atau tidak kau akan tetap menjadi kekasihku dan pergi ke acara reuni bersamaku."
Selena terengah. Dadanya sesak oleh amarah. "Dengar, kita tidak memiliki hubungan apapun dan kau tidak berhak memerintahku!"
"Kau yakin?" Eros tersenyum miring lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Kau lupa, aku bisa melakukan apapun untuk membuatmu hancur..."
"Dasar b*jingan! Kau pikir siapa dirimu, ha?!"
Sebelah tangan Eros dengan cepat menangkap tangan Selena yang melayang tepat ke arahnya. Matanya berkilat seolah siap mengoyak tubuh Selena kapanpun.
"Aku adalah Eros. Si b*jingan yang pernah mati-matian kau cintai."
***
"Kau yakin akan datang ke acara reuni nanti?"
Emilia meliriknya dan tersenyum tipis. "Kenapa? Kau terlihat khawatir." Wanita itu berjalan di antara deretan gaun milik rumah mode Valentino dan Alex mengekor di belakangnya dengan setia. "Aku akan menjadi wanita baik dan tak akan menyentuh alkohol sedikitpun."
Tentu bukan itu yang Alex khawatirkan. "Sayang sekali aku tidak bisa mendampingimu."
"Well. Meluangkan waktu untuk menemaniku memilih gaun saja sudah cukup." Mengingat bahwa Alex begitu sibuk. Untung saja untuk persiapan pesta pernikahan, Emilia dibantu oleh ibunya.
"Emilia."
Alex dan Emilia sontak mengangkat kepala. Menoleh ke arah pria berbaju kasual dengan rambut kecokelatan yang sedikit ikal. Steve.
"Oh, Alex juga ada di sini?" Steve tersenyum ramah sambil mengangkat sebelah tangannya. Sementara Alex hanya mengangguk singkat sebagai balasan.
"Senang melihatmu berada di sini, Steve." Emilia menyambutnya dengan hangat. Wanita itu tahu bahwa Steve bukan orang yang akan memilih pakaian di rumah mode seperti ini. Pria itu tak terlalu peduli dengan penampilan, tipe yang sangat cuek.
Steve mengangkat bahu. "Aku sedang memilih beberapa tuksedo."
"Untukmu?" tanya Emilia setengah tak percaya.
Alis Steve terangkat. Matanya melirik Alex yang tampak tenang sambil melemparkan pandangannya ke arah lain. Sungguh pria itu pandai menyembunyikan kegelisahannya. Sambil sedikit menyeringai, Steve menjawab, "sayang sekali bukan untukku."
Emilia mengerjap. Daripada melontarkan pertanyaan lebih lanjut, wanita itu hanya mengangguk pelan. Sadar bahwa berbincang lebih lanjut hanya akan membuang waktu Alex.
Seakan mengerti, Steve dengan suka rela undur diri dari hadapan dua pasangan itu. Sempat melambai sebentar ketika pelayan memberikan dua buah bingkisan dengan warna berbeda. Namun, kembali memanggil Emilia sebelum benar-benar menghilang di balik pintu. "Kau tahu, di antara kita berempat, hanya ada dua orang yang sering berkunjung kemari."
Emilia menatapnya dengan kening mengernyit. Apa yang sedang dibicarakan oleh Steve?
Pria itu tersenyum hambar sambil mengibas. "Jangan dipikirkan. Karena melihat Alex, aku jadi teringat seseorang."
***
Setiap lampu blitz menyala, Selena mengubah posenya berulang kali. Background hitam begitu kontras dengan kulit putihnya yang terekspos begitu banyak ketika ia hanya memakai sebuah mini dress tanpa lengan. Rambut putih keperakannya dibuat terurai dan bergelombang. Yang paling mencolok adalah lipstik berwarna hitam keunguan yang menghiasi bibir mungilnya.
"Kerja bagus, Selena." Kevin mengacungkan jempolnya di balik kamera.
Selena hanya tersenyum singkat, sementara Sam—asisten pribadinya—tampak buru-buru membungkus tubuhnya dengan jaket. "Aku tahu hari ini mood-mu tidak begitu baik. Tapi kuakui bahwa kau sangat profesional." Pria itu menuntunnya menuju ruang ganti dan memberikan sebotol air dingin.
Selena langsung meneguknya tanpa pikir panjang. Sam adalah sosok yang sangat berjasa dalam karir modelnya. Sahabatnya. Teman masa kecil yang begitu berharga. Seseorang yang selalu siap siaga di segala situasi. Selain ibunya, pria itu adalah orang yang mampu memahaminya dengan baik.
Namun, karena itulah Selena tidak ingin selalu bergantung pada Sam.
"Apa ini tidak ada hubungannya dengan Leo?"
Selena menaruh botol minumnya di meja terdekat dan menggeleng pasti. "Dia hanya mengantarku pulang. Itu saja."
"Dia teman SMA-mu."
"Ya. Tapi dia tidak mengenalku."
Sam mengangguk. Logikanya, sesuatu yang tak terlalu menarik perhatian memang kadang tersisihkan. Seperti itulah Selena di masa lalu.
"Baguslah," kata Sam berjalan ke arah meja rias dan meraih sesuatu. "Kalau begitu kau tahu siapa yang mengirimkan ini?"
Selena menatap kotak hitam dengan pita berwarna putih itu dengan tatapan bingung.
"Kurir itu menyebutkan namamu," tambah Sam.
Selena meraih kotak itu dengan cepat. Dan ia terperangah ketika sebuah gaun hitam dari brand ternama berada dalam genggamannya saat ini. Berbahan sutera. Begitu indah dan berkilauan. Bahkan Sam sampai maju beberapa langkah untuk memastikan.
"Kau yakin tidak terlibat hubungan dengan seorang konglomerat?" Sam menelan ludah. "Ini dari rumah mode Valentino. Gila. Aku bahkan tidak ingin menebak harganya."
Meski Sam berkata demikian, tapi Selena malah mencengkram gaun itu seolah ia adalah barang yang tidak berharga sama sekali.
"Eros." Hanya ada nama itu dalam benak Selena. "Bagaimanapun caranya, aku harus mengembalikkan gaun ini." Cepat-cepat ia menutup kotak itu, meraih tas dan kunci mobil.
"Hei, Selena! Kau mau kemana?"
Teriakan Sam ia abaikan.
***
Selena memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Tepat saat itu, ponselnya berdering.
"Halo?"
"Kau sudah menerima gaunnya?"
Si b*jingan itu!
"Kau dimana?!"
"Kedengarannya kau tidak senang."
"Katakan dimana kau sekarang!"
Selena mendengar Eros terkekeh, membuatnya semakin memegang kemudi dengan erat.
"Kelab malam. Kau pikir kau berani datang kesini?"
"Aku akan kesana," sahut Selena tanpa ragu. Dan Eros nampaknya tak berbohong karena ia bisa mendengar suara bising dari seberang telepon.
"Well, see. Akan ku kirim lokasinya."
Tut.
Selena menelan ludah. Ini seperti misi bunuh diri.
Satu dari seribu, mengapa harus selalu dirinya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Oreki Hotarou
hai Thor,sudah aku like,jangan lupa feedback ke karya aku
"Bestie"
"Beautiful Vengeful Ghost"
mari saling dukung!
2020-09-19
2
✨Susanti✨
critamu uuuapik Thor 😘 AQ baca Ampe bolak balik, nungguin qm up 👍 semangat thorr
2020-09-18
2
ranimna
bakalan seru ney,, tapi semoga aja karakter cwe nya jangan meye2 ya...
2020-09-16
1