Bagian 16

Cinta sepihak.

Setiap kali Selena mengingat perlakuan Eros padanya, saat itu juga ia mengingat bagaimana perlakuan Emilia pada sang pria.

Ia tidak percaya pada karma. Tapi orang bijak selalu berkata bahwa apa yang kita tanam itulah yang akan kita tuai. Darinya, untuknya. Hanya saja Eros lebih mengutamakan egonya daripada menerima apa yang terjadi dan mengikhlaskan segalanya. Dan semua luka itu tidak akan pernah berakhir. Nyatanya Eros bahkan tak sanggup menemui Emilia setelah kejadian itu. Semalaman ia hanya mendapati pria itu menghisap rokoknya.

Selena duduk di tepi jendela dengan tirai yang dibiarkan terbuka. Ia bisa mendengar suara deburan ombak dari kamarnya. Entah apa yang terjadi pada Alex dan Emilia setelah wanita itu tahu bahwa suaminya berbohong soal kecelakaan tadi sore. Soal Eros...pria itu pasti sedang menyesap minuman beralkohol di dalam kamarnya—mudah sekali ditebak.

Tiba-tiba ia teringat tentang ucapan Eros yang mengatakan bahwa Alex dan Emilia telah membunuh anaknya. Berbagai spekulasi muncul, namun hati kecilnya menjerit bahwa ia tidak mempercayai semua kata yang keluar dari mulut pria itu. Emilia mencintai Alex, tidak mungkin jika wanita itu mau melakukan hal yang begitu intim dengan Eros, kecuali jika didasarkan pada alasan lain.

Semua itu...tidak benar, kan?

Selena mendesah. Apalagi yang sebenarnya tidak ia ketahui? Ia benar-benar orang asing disini. Jelas tidak tahu apa-apa. Ia hanya tahu bahwa ia pernah mencintai Eros lalu kemudian patah hati.

Seandainya Eros dan Emilia benar-benar pernah mempunyai anak—tidak—bahkan membayangkannya saja Selena tak sanggup.

***

Suara bel berbunyi ketika Eros tengah duduk dipinggir jendela dan menikmati wiskinya. Tadinya ia pikir itu adalah Selena, tapi saat membuka pintu, sosok Alex lah yang muncul. Berdiri tegap dengan eskpresi dingin yang jarang sekali dilihatnya.

Eros melengos. Tak membiarkan Alex masuk atau mengusir pria itu secara terang-terangan.

"Apapun yang kau rencanakan kuharap kau menghentikan semuanya sekarang juga."

Eros kembali duduk di sofa dan melirik Alex yang berdiri di tengah keremangan kamarnya. Kakinya menyilang dengan gestur yang terlampau santai. "Wiski?" tawarnya sambil mengangkat gelas.

"Kau harus menghilangkan kebiasaan burukmu itu."

"Sudah lama," Eros menyahut, "kau tak menceramahiku seperti itu."

Alex maju satu langkah. "Aku mohon padamu, jangan usik pernikahan kami lagi. Lupakan semuanya Eros, jika kau ingin memukulku maka pukul aku sampai kau puas. Jangan seperti ini."

"Seperti apa?" Mata Eros berkilat dari balik gelas yang ia pegang.

"Kau bertingkah seolah masih mencintai Emilia, tapi aku tahu itu hanya trik untuk membuat Emilia merasa simpati padamu, lalu setelah ia jatuh cinta, kau akan mencampakkannya."

Eros terkekeh. "Ketahuan, ya?" Ia menyimpan gelasnya dan bertepuk tangan, mengejek. "Memang tidak salah kalau kau dipilih menjadi penerus Ayah."

"Suka atau tidak, kita adalah saudara," kata Alex tegas. "Aku mengenalmu sejak kau lahir. Tidak ada yang bisa kau sembunyikan dariku, Eros."

"Jika kau sangat mengenalku, mengapa kau tetap menikahinya?" sahut Eros cepat. "Kau selalu berlindung dibalik alasan perjodohan itu padahal kau juga mencintainya."

Alex menutup matanya sejenak, berpikir bahwa berdebat dengan Eros ibarat berdebat dengan anak kecil. Sampai kapanpun kau tidak akan dibiarkan untuk menang. "Ya. Aku salah," katanya kemudian.

"Benar." Eros mengangguk dengan cepat. "Kebohongan yang kalian lakukan sampai tidak bisa membuatku tidur berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, hingga saat ini, setiap aku tertidur bayangan kalian berdua selalu memenuhi kepalaku." Nadanya tenang namun setiap katanya begitu tajam. "Sampai aku tahu bahwa Emilia hamil dan keguguran, rasanya aku ingin membunuh kalian berdua untuk menggantikan nyawa anakku."

Alex menunduk, sesuatu terasa meninju ulu hatinya hingga ia merasa mual. Seminggu setelah Eros pergi ke Oxford, saat itulah Emilia tak sengaja terjatuh dan ia menemukan fakta lain bahwa wanita itu tengah mengandung. Hari dimana wanita itu mengetahuinya, hari itu juga ia kehilangan bayinya.

Emilia menangis di bawah kakinya, memohon ampun, sekaligus merasa terpukul karena kehilangan calon bayinya. Tapi Alex tak bisa menyalahkan siapapun karena semua yang terjadi akibat kesalahannya juga.

"Semua telah menjadi masa lalu," lirih Alex. "Jika kau tak bisa memaafkan aku dan Emilia, tak apa. Tapi jangan menyiksa dirimu sendiri dan...Selena."

Eros tertawa jengah. Ia bangkit dari kursi sambil meraih gelas dengan wiski yang masih tersisa sedikit, kemudian—

PYAR!

Gelas itu hancur berkeping-keping di bawah kaki Alex.

"Bisakah kau memungut pecahan gelas itu dan membuatnya utuh kembali?" Eros menyeringai, namun tak lama hingga ia berkata dengan nada dingin, "seperti itulah hatiku, bagaimana mungkin dengan mudahnya kau memintaku untuk melupakan semua yang telah kalian lakukan?"

"Eros!"

DEG!

"Keluar." Eros berbalik, tangannya berpegangan pada badan kursi karena dadanya tiba-tiba terasa sesak dan berdenyut nyeri.

"Tidak, Eros. Kita harus menyelesaikan ini—"

"KUBILANG KELUAR!"

***

Selena terperanjat. Suara pecahan benda dan teriakan yang berasal dari kamar Eros samar terdengar meski ia yakin kamar itu kedap suara. Ia tak ingin peduli, tapi matanya enggan untuk terpejam. Sambil berdecak ia menyibakkan selimut, lalu tanpa disuruh langkahnya menuntun untuk keluar dari dalam kamar menuju kamar Eros.

Selena otomatis bersembunyi dibalik tembok ketika pintu terbuka dan Alex keluar dari kamar Eros. Perasaannya semakin tak menentu. Setelah memastikan Alex masuk ke dalam kamarnya sendiri, Selena bergegas masuk. Yang ia dapati adalah kamar yang gelap dan pecahan kaca yang berserak tak jauh di bawah kakinya.

"Eros?" Selena melihat pria itu meringkuk di tepi ranjang. Ia dengan cepat membungkuk, mencoba memastikan keadaan pria itu.

"H-Hei, kau..." Matanya terbelalak. Eros tampak pucat pasi dengan keringat dingin yang membasahi wajah dan lehernya. "Apa...apa yang terjadi?"

Alex tidak mungkin melukai adiknya. Meskipun Selena menemukan pecahan kaca, tapi tak ada bagian tubuh Eros yang terluka, kecuali nafasnya yang tampak tersengal.

"Eros?" Seberapapun bencinya Selena pada pria itu, tapi ia tidak bisa melihat orang itu kesakitan. Setidaknya ia masih punya hati nurani.

Nafas Eros semakin memberat, sementara Selena semakin panik.

Apa yang harus ia lakukan?! Membiarkan Eros mati disini?!

Selena menggelengkan kepala. Ia membaringkan tubuh pria itu dan menampar dirinya sendiri sebelum menunduk untuk memberi nafas buatan.

Seperti yang ibunya bilang, Selena terlalu baik hati untuk dunia yang kejam ini.

***

"***Saat besar nanti, aku ingin menjadi seperti Kakak." Eros kecil tersenyum manis sambil berdiri di samping Alex yang terduduk dengan kuas dan cat warna-warni ditangannya.

Alex mengangkat sebelah alisnya. "Kenapa?"

Eros mengerucutkan bibir dengan tangan yang memegang dagu, sementara matanya berputar ke atas—berpikir.

Alex terkekeh. Eros terlihat sangat menggemaskan sehingga ia tak tahan untuk mengacak rambut bocah berusia lima tahun itu. "Kau manis sekali. Daripada ingin menjadi seperti kakak, lebih baik kau menjadi diri sendiri."

"Tapi Kakak itu hebat. Ayah saja selalu memuji-muji Kakak."

Alex menatap Eros dengan lembut dan penuh kasih sayang. "Ayah juga sering memuji Eros, kok. Bahkan dia menyayangi Eros melebihi kakak."

Eros menepis tangan Alex dari kepalanya. "Kakak berbohong lagi," tuduhnya sambil cemberut. Ayahnya selalu memuji Alex yang mempunyai bakat di segala bidang dan Eros hanya menjadi bayangan bagi Alex yang begitu bersinar.

"Kakak tidak berbohong." Alex meletakkan peralatan melukisnya dan membungkuk untuk menyamakan posisinya dengan Eros. "Kau ingin menjadi seperti kakak hanya untuk mendapatkan pujian dari Ayah, kan?"

Eros angkat bahu.

Alex terkekeh. Tangannya memegang kedua bahu bocah itu. "Bagi kakak, Eros adalah anak yang hebat dan adik yang paling kakak sayangi. Jadi jangan pernah berkecil hati, oke?"

Kedua mata besar Eros berbinar. "Benarkah?"

"Tentu saja." Alex mengangguk pasti.

Bocah itu tersenyum dan memeluk Alex dengan erat. "Aku sayang Kakak!"

"Aku juga menyayangimu, Eros***."

...ros!

...Eros!

"Eros!"

"Uhuk! Uhuk!"

Selena menghela napas lega. Tubuhnya bersandar di tepi ranjang dengan mata yang terpejam erat. Ia pikir pria itu akan mati.

Sesaat, ia kembali membuka matanya dan melirik Eros yang menatap langit-langit kamar dengan nafas yang masih berantakan. Tanpa pikir panjang, Selena berdiri dan meraih segelas air untuk ia berikan pada pria itu. "Minumlah," katanya sambil buang muka.

Eros melirik Selena yang ia sendiri tidak tahu sejak kapan atau bagaimana sang wanita bisa berada di dalam kamarnya. Yang terakhir kali ia ingat hanyalah Alex yang pergi meninggalkannya setelah ia membentak pria itu.

Selena menghela napas pelan. "Kau tidak bisa bangun?"

Namun Eros menepis tangannya ketika ia hendak membantu pria itu.

Selena mendengus pelan. "Dasar keras kepala."

Terpopuler

Comments

Vina SelviNia

Vina SelviNia

ayo thor buat selena pergi dari alex 👃👃👃👃👃

2020-09-07

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!